Saksi Ahli atau Ahli Bersaksi dalam Perkara Pidana?
Kolom

Saksi Ahli atau Ahli Bersaksi dalam Perkara Pidana?

Beberapa pelajaran penting dapat diambil dari pengaturan saksi ahli di Belanda untuk memperbaiki situasi di Indonesia.

Bacaan 6 Menit

Untuk kepentingan tersebut, baik penuntut umum, maupun terdakwa (biasanya melalui pengacara) akan menjajaki para ahli yang diperlukan guna memberikan keterangan di persidangan. Penjajakan tersebut akan mencakup perihal apakah pendapat ahli sejalan dan menguatkan dalil pihak yang membutuhkan keterangannya, dan berapa biaya yang harus dibayarkan untuk mendapatkan keterangan tersebut.

Tidak ada aturan berapa biaya yang harus dibayarkan kepada ahli untuk memberikan keterangannya. Pasal 229 ayat (1) KUHAP hanya mengatur bahwa ahli yang memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan mendapat penggantian biaya sesuai peraturan perundang-undangan, tapi peraturan yang mana? tidak begitu jelas.

Permasalahan ini pernah jadi polemik, pada tahun 2002 dr. Abdul Mun’im Idries yang ahli forensik menolak menjadi ahli dalam persidangan PK Mochamad Sirajuddin alias Pak De. Ia keberatan dengan pembayaran biaya ahli yang dianggap tidak jelas (hukumonline.com; 2002). Tak bisa dihindari, tanpa standarisasi, biaya keterangan ahli akan mengikuti mekanisme pasar dan dilaksanakan berdasarkan konsensualitas. Konsekuensinya, sulit membayangkan bagaimana seorang ahli dapat memberikan keterangan secara objektif dan independen, meskipun bagi sebagian ahli yang memegang teguh integritas dan profesionalitas mungkin akan tetap mengusahakannya.

Persoalannya, jika ahli yang dihadirkan bersikap sebaliknya, bersedia memberikan keterangan apapun sepanjang mendapatkan bayaran sepadan. Jadinya, ahli yang sama dengan subyek persoalan yang sama pada perkara yang berbeda, mungkin menghasilkan keterangan yang berbeda bahkan berlawanan, tergantung kepentingannya. Bahkan lebih parah lagi, ahli yang dihadirkan tidak relevan dengan persoalan hukum yang harus dijelaskan. Misalnya, ahli keuangan menjelaskan mengenai digital forensic. Alih-alih menolong hakim dalam menemukan hukum, praktik semacam itu justru berpotensi menyesatkan pencarian kebenaran. Sayangnya, hukum di Indonesia belum mengantisipasi persoalan tersebut.

Saksi Ahli di Belanda

Berbeda dengan Indonesia, KUHAP Belanda (Wetboek van Strafvordering (WSv)) menggunakan terminologi “saksi ahli” (The “expert witness”) dalam pemeriksaan pidana (WSv Part III C). KUHAP Belanda bahkan memberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan keterangan saksi ahli sebagai informasi yang diberikan di pengadilan berdasarkan pemahaman yang didapatkan dari keahlian dan pengetahuan mengenai subjek di mana ia dimintakan pendapat, baik dengan atau tanpa disertai laporan yang dibuat oleh saksi ahli, berdasarkan permintaan pengadilan (WSv. 343).

Kualitas dan validitas (admissibility) keterangan saksi ahli telah lama jadi perdebatan serius di Belanda, terutama karena dalam beberapa kasus telah terjadi kekeliruan hukum (miscarriages of justice) yang dipengaruhi oleh keterangan saksi ahli. Kasus “Lucia de Berk”, seorang perawat yang dijatuhi hukuman penjara seumur hidup karena tujuh pembunuhan dan tiga percobaan pembunuhan kemudian dibebaskan pada proses peninjauan. Kasus fenomenal lainnya adalah “Schiedamse Parkmoord”, dipidana penjara selama delapan belas tahun atas tuduhan pembunuhan dan pemerkosaan yang kemudian dibebaskan setelah adanya pengakuan dari pelaku yang sebenarnya.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, terutama setelah kasus “Schiedamse Parkmoord”, Belanda membuat pengaturan terperinci mengenai saksi ahli (Wet deskundige in strafzaken) yang kemudian diatur dalam KUHAP Belanda (WSv). Lebih spesifik, ketentuan 51i WSv bahkan mendelegasikan pengaturan mengenai register saksi ahli dan kualifiasinya dalam suatu keputusan pemerintah.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait