Saldi Isra: Lembaga Yudikatif, Pengawas Legislatif dan Eksekutif
Berita

Saldi Isra: Lembaga Yudikatif, Pengawas Legislatif dan Eksekutif

Pemegang kekuasaan yudisial secara mendasar memang didesain menjadi lembaga yang mengawasi hasil pekerjaan dua institusi itu.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Hakim Konstitusi Saldi Isra menjadi pembicara kunci sekaligus membuka diskusi buku berjudul 'Pengujian Undang-Undang' karya Panitera Pengganti MK, Achmad Edi Subiyanto, Sabtu, (17/4/2021). Foto: Humas MK
Hakim Konstitusi Saldi Isra menjadi pembicara kunci sekaligus membuka diskusi buku berjudul 'Pengujian Undang-Undang' karya Panitera Pengganti MK, Achmad Edi Subiyanto, Sabtu, (17/4/2021). Foto: Humas MK

Hakim Konstitusi Saldi Isra menjadi pembicara kunci sekaligus membuka kegiatan kajian buku Pengujian Undang-Undang karya Achmad Edi Subiyanto pada Sabtu (17/4/2021) siang. Kegiatan ini merupakan kerja sama Universitas Esa Unggul, Advokat Konstitusi, dan Penerbit Rajagrafindo Persada.

Dalam kesempatan itu, Saldi mengatakan topik yang paling sering dikaji dan ditelaah yaitu mengenai tarik-menarik kepentingan antara legislatif dan yudikatif dalam pembahasan Undang-Undang. “Mengapa dua lembaga ini menjadi yang paling sering ditelaah? Karena dua lembaga ini pada pokoknya satu menciptakan aturan, satu lagi adalah menjalankan aturan,” kata Saldi.

Saldi menjelaskan di Indonesia aturan merupakan hasil dari kewenangan pembentuk UU dan dieksekusi oleh eksekutif sebagai pelaksana undang-undang. Ia melanjutkan jika mekanisme check and balances berjalan, maka akan terdapat keseimbangan. Namun jika tidak, dibutuhkan lembaga yudikatif (MK dan MA, red) sebagai penyeimbang antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif.

“Sangat mungkin dan sudah banyak terjadi dalam praktik pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif berada dalam satu partai yang sama, sehingga pembentukan produk UU menegasikan kepentingan-kepentingan masyarakat yang lebih luas. Kalau itu terjadi, kemudian tidak bisa tidak ada lembaga lain yang memang harus dimasukan dalam konteks check and balances itu yaitu pemegang kekuasaan yudisial secara mendasar memang didesain menjadi lembaga yang mengawasi hasil pekerjaan dua institusi ini,” kata Saldi seperti dikutip laman resmi MK.

Jika melihat konteks di Amerika Serikat, sering terjadi legislatif dan eksekutif dikuasai partai yang sama. Hal ini berdampak pada produk peraturan perundang-undangan yang dihasilkan kerap mengabaikan kepentingan masyarakat. Karena itu, perlu adanya lembaga negara ketiga yang mengontrol eksekutif dan legislatif. “Kalaupun, misalnya terjadi keseimbangan antara legislatif dan yudikatif, tetap tidak menghilangkan (fungsi, red) kontrol kekuasaan yudikatif,” ujar Saldi.

Dia melanjutkan jika melihat dari sejarah kasus Marbury vs Madison yang terjadi di Amerika Serikat (AS) yang melatarbelakangi adanya pengujian undang-undang (judicial review). Ide awalnya berasal dari Mahkamah Agung AS hendak mengoreksi kasus yang terjadi di wilayah eksekutif. Dalam konteks itu, munculnya gagasan pengujian undang-undang di AS berbeda dengan pengujian undang-undang di Indonesia.

“Praktik pengujian undang-undang di Amerika Serikat muncul karena hakim aktif menafsirkan konstitusi, sementara pengujian UU di Indonesia muncul karena perintah Undang-Undang Dasar (UUD 1945),” sebut Saldi.

Tags:

Berita Terkait