Satgas Temukan 105 Fintech dan 99 Investasi Bodong di Tengah Pandemi
Berita

Satgas Temukan 105 Fintech dan 99 Investasi Bodong di Tengah Pandemi

Maraknya fintech dan investasi ilegal itu sengaja memanfaatkan kondisi melemahnya perekonomian masyarakat akibat pandemi Covid 19.

Mochammad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit

Dari 99 entitas tersebut di antaranya melakukan kegiatan seperti 87 Perdagangan Berjangka/Forex Ilegal, 2 Penjualan Langsung (Direct Selling) Ilegal, 3 Investasi Cryptocurrency Ilegal, 3 Investasi uang dan 4 lainnya.

Tongam mengimbau agar masyarakat mewaspadai tawaran fintech dan investasi ilegal tersebut sebelum melakukan investasi. Dia menjelaskan masyarakat harus memastikan pihak yang menawarkan investasi tersebut memiliki perizinan dari otoritas yang berwenang sesuai dengan kegiatan usaha yang dijalankan.

Kemudian, masyarakat juga harus memastikan pihak yang menawarkan produk investasi, memiliki izin dalam menawarkan produk investasi atau tercatat sebagai mitra pemasar. Terakhir, perlu juga memastikan jika terdapat pencantuman logo instansi atau lembaga pemerintah dalam media penawarannya telah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Data Pribadi Rawan Bocor

Sekadar catatan, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Ditjen Dukcapil Kemendagri) telah memberi akses data kependudukan kepada sejumlah perusahaan yang memberi layanan pinjaman online. Terhadap hal ini, sebagian kalangan menilai terdapat kerawanan penyalahgunaan data kependudukan. 

Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PKS, Sukamta, menilai jika ditinjau dari aspek perlindungan data, hal ini menimbulkan kerawanan terhadap data penduduk yang diserahkan kepada penyedia jasa pinjaman online. Sukamta menyinggung regulasi perlindungan data pribadi yang saat ini baru akan dibahas oleh Komisi I DPR RI. Menurut Sukamta, harusnya hal ini menunggu setelah adanya UU Perlindungan Data Pribadi sehingga terdapat pengaturan di dalamnya. 

“Menurut saya sepertinya sekarang ini belum tepat memberikan akses data kependudukan kepada Badan Hukum Indonesia (BHI) termasuk swasta di dalamnya,” ujar Sukamta melalui keterangannya kepada hukumonline, beberapa waktu lalu.

Menurut Sukamta, meskipun UU Adminduk tahun 2006 yang sudah direvisi tahun 2013 memperbolehkan pengguna termasuk swasta untuk mengakses data kependudukan, namun undang-undang yang mengatur khusus perlindungan data pribadi hingga saat ini belum ada. Ia menilai, regulasi PDP berupa Peraturan Pemerintah yang telah ada saat ini power-nya tidak sekuat undang-undang. Karena itu Sukamta menilai wajar jika publik perlu menaruh kekhawatiran terkait adanya potensi penyalahgunaan data. 

Tags:

Berita Terkait