Sejumlah Alasan Keppres Remisi Mesti Direvisi
Utama

Sejumlah Alasan Keppres Remisi Mesti Direvisi

Karena dianggap mengubah konsep remisi dari pengurangan masa menjalani pidana menjadi perubahan pidana yang bertentangan dengan tiga peraturan yakni UU Pemasyarakatan; PP No.32 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi PP No.99 Tahun 2012; dan UU No.22 Tahun 2002 tentang Grasi.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Hukum menggelar diskusi bertajuk 'Menyoal Kebijakan Remisi dalam Sistem Hukum Indonesia' di Jakarta, Kamis (7/2). Foto: RES
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Hukum menggelar diskusi bertajuk 'Menyoal Kebijakan Remisi dalam Sistem Hukum Indonesia' di Jakarta, Kamis (7/2). Foto: RES

Remisi merupakan salah satu hak narapidana yang diatur Pasal 14 ayat (1) huruf i UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarkatan. Ketentuan ini lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah diubah menjadi PP No.99 Tahun 2012. Beleid ini menyebut remisi yakni pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang memenuhi syarat. Lalu, pelaksanaan remisi ini diatur lebih teknis dalam Keputusan Presiden (Keppres) No.174 tahun 1999 tentang Remisi.

 

Direktur Pukat UGM, Oce Madril menjelaskan Keppres Remisi mengatur jenis remisi menjadi khusus dan umum. Remisi umum diberikan pada hari proklamasi kemerdekaan Indonesia setiap 17 Agustus dan remisi khusus diberikan pada hari besar keagamaan. Namun, Pasal 9 Keppres Remisi itu mengandung persoalan karena mengartikan remisi bukan sebagai pengurangan masa menjalani pidana, tapi mengubah jenis pidana menjadi pidana penjara sementara. Perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi penjara sementara ini ditetapkan melalui Keppres dengan mekanisme permohonan diajukan kepada Presiden lewat Menteri Hukum dan HAM.

 

Pasal 9 ayat (1) Keppres Remisi menyebutkan Narapidana yang dikenakan pidana penjara seumur hidup dan telah menjalani pidana paling sedikit 5 (lima) tahun berturut-turut serta berkelakuan baik, dapat diubah pidananya menjadi pidana penjara sementara, dengan lama sisa pidana yang masih harus dijalani paling lama 15 (lima belas) tahun”. Ayat (2)-nya menyebutkan, “Perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.”

 

Menurut Oce, ketentuan ini menjadi acuan/dasar pemerintah menerbitkan Keppres No.29 Tahun 2018 tentang Pemberian Remisi Berupa Perubahan Dari Pidana Seumur Hidup Menjadi Pidana Penjara Sementara. Keppres yang ditetapkan 7 Desember 2018 ini memuat lampiran berupa 115 narapidana yang mendapat remisi. Dari ratusan narapidana yang mendapat remisi itu, salah satunya I Nyoman Susrama, yang terlibat dalam perkara pembunuhan berencana terhadap jurnalis Harian Radar Bali, AA Bagus Narendra Prabangsa.

 

Oce menilai Keppres No.174 Tahun 1999 yang menjadi acuan terbitnya Keppres No.29 Tahun 2018 bertentangan sedikitnya dengan 3 peraturan yakni UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan; PP No.32 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi PP No.99 Tahun 2012; dan UU No.22 Tahun 2002 tentang Grasi.

 

Bagi Oce, perubahan pidana merupakan konsep grasi, bukan remisi. Dia merujuk UU No.22 Tahun 2002 tentang Grasi yang menyebutkan grasi yaitu pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Putusan pidana yang dapat dimohonkan grasi meliputi pidana mati, penjara seumur hidup, dan penjara paling rendah 2 tahun.

 

“Keppres No.174 Tahun 1999 ini harus direvisi, diganti dengan Peraturan Presiden (Perpres),” usulnya dalam acara diskusi di Jakarta, Kamis (7/2/2019). Baca Juga: Mendudukkan Polemik Hukum Abu Bakar Ba’asyir

Tags:

Berita Terkait