Sejumlah Argumen Polemik RUU KPK
Utama

Sejumlah Argumen Polemik RUU KPK

DPR mengklaim RUU KPK telah disetujui pemerintah dan tak ada niatan untuk melemahkan KPK. Justru awalnya Plt Ketua KPK yang dituding/diduga mengawali munculnya RUU KPK.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Terkait substansi yang dikritisi dalam Revisi UU KPK itu, Nasir mengatakan soal Dewan Pengawas dan kewenangan SP-3, pada intinya orang (yang ditetapkan sebagai tersangka) tidak boleh terkatung-katung nasibnya. Selain UU No.30 Tahun 2002, Nasir berpendapat UU No.31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi juga perlu direvisi.

 

Usul Plt Ketua KPK?

Ketua KPK periode 2011-2015, Abraham Samad, mengatakan di era kepemimpinannya KPK tidak pernah mengusulkan Revisi UU No.30 Tahun 2002 ke DPR. Terkait pernyataan Arteria yang menyebut Ketua KPK mengusulkan revisi itu, Samad menduga usulan itu dilakukan oleh Plt Ketua KPK yang menggantikan posisinya ketika dirinya mengalami kriminalisasi.

 

“KPK di masa kepemimpinan saya tidak pernah mengusulkan itu (revisi UU KPK). Tapi apakah itu datang dari Plt Ketua KPK? Jika itu benar, maka menyalahi aturan karena Plt Ketua KPK tidak boleh mengeluarkan kebijakan strategis,” kata Abraham Samad. Baca Juga: Trisula ‘Pembunuh’ KPK

 

Samad berpendapat polemik Revisi UU KPK, masalahnya bukan melemahkan atau memperkuat KPK, tapi melihat substansinya. Jika substansi UU No.30 Tahun 2002 masih relevan dengan perkembangan saat ini, tapi ada yang mendorong revisi, maka ini mengandung unsur pelemahan KPK.

 

Salah satu alasan revisi yang menyinggung budaya kerja di internal KPK yang “saling curiga,” menurut Samad itu tidak tepat karena KPK punya kode etik yang wajib dipatuhi. Bahkan, dia mengklaim budaya kerja KPK tergolong paling ideal dibandingkan kementerian dan lembaga pemerintahan lain di Indonesia.

 

Mengenai Revisi UU KPK yang mengatur SP-3 untuk kasus yang tidak selesai selama 1 tahun, Samad menerangkan KPK butuh waktu lebih lama mengusut kasus korupsi karena alat bukti yang dibutuhkan minimal 3. Berbeda dengan aturan KUHAP dimana alat bukti yang dibutuhkan hanya 2. Kemudian proses penyelidikan bisa meningkat jadi penyidikan. Selain itu, jumlah petugas KPK yang menangani penindakan tergolong sedikit sekitar 200 orang.

 

Dia juga menilai tidak tepat jika pegawai KPK akan diubah statusnya menjadi aparatur sipil negara (ASN). Jika ini terjadi, maka status pegawai KPK sama seperti kejaksaan dan kepolisian sehingga berpotensi melemahkan atau mengganggu independensi KPK. Begitu pula dengan usulan menempatkan KPK sebagai lembaga pemerintah pusat. Dia yakin aturan ini akan membuat tupoksi KPK tumpang tindih dengan kejaksaan dan kepolisian.

Tags:

Berita Terkait