Sejumlah Catatan Kritis atas RUU Pertanahan
Berita

Sejumlah Catatan Kritis atas RUU Pertanahan

Mulai belum menjamin pemenuhan hak atas tanah bagi masyarakat tertentu, belum mengatur reforma agraria sebagai bagian penyelesaian sengketa tanah, pengaturan bank tanah bertentangan dengan prinsip reforma agraria, hingga pendanaan bank tanah dari berbagai sumber.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Dalam menyelesaikan konflik, Andi menjelaskan RUU Pertanahan mengatur kelembagaan penyelesaiannya dimulai dengan musyawarah. Jika tidak selesai, penyelesaian bisa dilakukan lewat pengadilan pertanahan. “Masyarakat bisa memperjuangkan lahan garapannya melalui pengadilan tanah,” kata dia.

 

Inkonsisten

Sekjen KPA Dewi Kartika menilai sejumlah ketentuan dalam RUU Pertanahan saling bertentangan dan inkonsisten. Misalnya, dalam konsideran RUU Pertanahan mengakui pentingnya reforma agraria. Tapi dalam substansinya, tidak ada ketentuan yang menjamin pemenuhan atas tanah bagi petani, buruh tani, nelayan, masyarakat hukum adat, dan masyarakat miskin.

 

Reforma agraria yang diatur dalam RUU Pertanahan, menurut Kartika belum jelas tujuannya. Dia khawatir praktiknya nanti menyimpang dari reforma agraria sejati sebagaimana diamanatkan UU No.5 Tahun 1960. “Tidak ada ketentuan dalam RUU Pertanahan yang menjelaskan reforma agraria sebagai bagian penyelesaian konflik agraria,” tegasnya.

 

Bagi Kartika, penting untuk memposisikan reforma agraria sebagai bagian penyelesaian sengketa pertanahan. Pengaduan yang masuk ke KPA sampai saat ini ada sekitar 2.700 kasus. Penyelesaian konflik ini harus menjadi perhatian utama sebelum menggulirkan wacana pembentukan pengadilan pertanahan. Kartika yakin masyarakat dalam posisi lemah jika sengketa ini diselesaikan melalui mekanisme peradilan.

 

Kartika juga melihat banyak pasal dalam RUU Pertanahan yang mengatur tentang pengadilan pertanahan. Berbeda dengan reforma agraria yang mendapat porsi pengaturan yang sedikit dan sangat umum. Sebelum menggelar pengadilan pertanahan semua konflik agraria harus diselesaikan dan pemerintah harus meregistrasi semua bidang tanah, termasuk yang statusnya sengketa.

 

“Melalui registrasi ini pemerintah bisa melihat mana bidang tanah yang tumpang tindih,” jelasnya.

 

Mengenai bank tanah, Kartika secara tegas menolak karena berpotensi bertentangan dengan prinsip reforma agraria. Menurut Kartika, obyek tanah reforma agraria dan bank tanah hakikatnya sama, misalnya tanah terlantar. Jika ketentuan bank tanah ini berlaku, Kartika khawatir agenda reforma agraria kalah dengan agenda lain, misalnya pembangunan infrastruktur.

 

Selain itu Kartika mengkritik pendanaan untuk bank tanah karena berasal dari banyak sumber tidak hanya dari APBN, tapi juga dari sumber/pihak lain. “Ketentuan ini membuka peluang bagi kepentingan bisnis (korporasi besar) untuk memperluas penguasaan tanah,” kritiknya.

Tags:

Berita Terkait