Sengketa Keuangan di Luar Pengadilan, Ini 3 Hal Wajib Konsumen Ketahui
Utama

Sengketa Keuangan di Luar Pengadilan, Ini 3 Hal Wajib Konsumen Ketahui

Mulai dari keberadaan lembaga alternatif penyelesaian sengketa sebagai lapis kedua, penegasan dalam kontrak, hingga karakter yang berbeda antara mediasi, ajudikasi, dan arbitrase.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Seminar pengenalan lembaga alternatif penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan. Foto: RES
Seminar pengenalan lembaga alternatif penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan. Foto: RES

Hingga saat ini tercatat telah ada enam Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) di sektor jasa keuangan yang dimuat dalam daftar lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). LAPS sendiri merupakan lembaga yang melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

Deputi Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK, Anggar B Nuraini mengatakan, keberadaan LAPS sendiri nantinya menjadi pilihan bagi konsumen dengan Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi. “LAPS ini diharapkan menjadi choice of forum dalam perjanjian nanti,” katanya di Jakarta (22/3).

Namun, ada beberapa catatan yang mesti diperhatikan oleh konsumen terkait dengan penggunaan LAPS sebagai pilihan penyelesaian sengketanya. Pertama, penggunaan LAPS antara konsumen dengan PUJK tak bisa semerta-merta langsung ditempuh. Konsumen mesti terlebih dahulu menyelesaikan penyelesaian sengketa lewat mekanisme internal dispute resolution (IDR) sebagai lapis pertama.

Jika konsumen tidak puas atas penanganan IDR oleh PUJK tersebut, barulah terbuka pilihan untuk menyelesaikan sengketa melalui LAPS atau external dispute resolution (EDR) sebagai lapis kedua. Hal itu, kata Anggar, ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) Peraturan OJK (POJK) Nomor 1/POJK.07/2014 Tahun 2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan. “Jadi harus lalui dulu industrinya (PUJK) baru lewat layer kedua, yakni LAPS,” tegasnya.

Kedua, mesti ditegaskan dalam kontrak atau perjanjian. Kontrak atau perjanjian antara konsumen dengan PUJK wajib menyebut secara tegas klausul yang menyatakan bahwa jika di kemudian hari terjadi sengketa, maka sengketa tersebut dalam diselesaikan lewat LAPS OJK. Tanpa klausul seperti itu, konsumen yang tidak puas dengan penanganan PUJK saat IDR di lapis pertama tidak bisa melanjutkan ke lapis dua, yakni LAPS.

Untuk meminimalisir hal itu, lanjut Anggar, pihak OJK sendiri saat ini tengah merancang POJK terkait kewajiban mencantumkan klausul penyelesaian lewat LAPS terhadap kontrak atau perjanjian yang dibuat antara konsumen dengan PUJK. “OJK saat ini sedang menyusun ketentuan untuk atur dalam kontrak atau perjanjian tentang pilihan penyelesaian sengketa LAPS atau yang lainnya,” tambahnya. 

Ketiga, mesti jeli memilih layanan penyelesaian sengketa. Pasal 4 huruf a POJK Nomor 1/POJK.07/2014 Tahun 2014 menyebutkan ada tiga layanan penyelesaian sengketa lewat LAPS OJK, yakni mediasi, ajudikasi, dan arbitrase. Ketiganya, kata Anggar, punya karakteristrik yang berbeda meski sama-sama sebagai jalur penyelesaian di luar pengadilan. Mesti diingat, antara mediasi, ajudikasi, dan arbitrase punya akibat hukum yang berbeda terhadap konsumen dan PUJK.

Ia menambahkan, apabila sengketa tidak mencapai kesepakatan pada tahap mediasi, para pihak dapat melanjutkan penyelesaian sengketa melalui ajudikasi atau arbitrase. Sementara itu terhadap putusan ajudikasi, konsumen punya hak untuk menerima atau menolak putusan tersebut. Sedangkan untuk arbitrase, putusan itu bersifat final and binding sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Di tempat yang sama, Partner Firma Hukum Ricardo Simanjuntak & Partners, Ricardo Simanjuntak mengapresiasi langkah OJK terkait dengan pembentukan LAPS. Namun, Ricardo mengingatkan sejumlah hal yang mesti diperhatikan baik oleh konsumen atau PUJK khususnya terkait dengan konteks penyelesaian lewat jalur arbitrase. Pertama, klausul penyelesaian sengketa lewat jalur arbitrase tak bisa dilaksanakan dalam praktik jika hanya disebut dalam kontrak “Diselesaikan melalui LAPS OJK”.

Menurutnya, jika hanya disebut “Diselesaikan melalui LAPS OJK” secara otomatis hanya jalur mediasi dan ajudikasi saja yang bisa dilaksanakan. Sehingga, khusus untuk penyelesaian jalur arbitrase disarankan agar disebut tegas dalam klausul bahwa jika terjadi sengketa dapat juga diselesaikan lewat “Arbitrase dan LAPS OJK”.

“Perlu ditegaskan disebut penyelesaian lewat arbitrase. Kalau hanya disebut LAPS OJK, yang otomatis termasuk hanya soal mediasi dan ajudikasi,” kata alumni Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara itu.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan, bahwa pendapatnya itu berangkat dari argumentasi dimana dalam putusan arbitrase, baik konsumen dengan PUJK keduanya terikat oleh kesepakatan dalam putusan. Sementara itu, kesepakatan pada mediasi dan putusan pada ajudikasi, pihak konsumen punya hak untuk ingkar terhadap kesepakatan dan putusan itu. Sedangkan pihak PUJK terikat dengan kesepakatan dan putusan tersebut.

Dikatakan Ricardo, sekilas terlihat terjadi ketidakadilan antara konsumen dengan PUJK jika memilih melakukan penyelesaian lewat mediasi dan ajudikasi. Pasalnya, pihak konsumen bisa melepaskan diri terhadap kesepakatan atau putusan. Sedangkan pihak PUJK mau tidak mau dan dalam kondisi yang merugikannya sekalipun tetap terikat dalam kesepakatan atau putusan itu.

“Putusan pada tahap ajudikasi tidak mengikat konsumen namun mengikat PUJK. Pihak konsumen tidak terikat di ajudikasi ini.  Fairness? Terlihat pada tahap konsumen tidak bisa bawa dispute ini ke LAPS sebelum lewat IDR terlebih dahulu. IDR dipertaruhkan, kalau dia baik tidak masalah karena pada tahap LAPS pasti juga tidak akan masalah. IDR yang harus dikembangkan,” terang Ricardo.

Hukum Acara Belum Seragam
Pasal 4 huruf b POJK Nomor 1/POJK.07/2014 Tahun 2014 menyebutkan bahwa LAPS mesti mempunyai peraturan terkait dengan prosedur, biaya, jangka waktu, serta kode etik bagi mediator, ajudikator, dan arbiter. Artinya, keenam LAPS OJK tersebut masing-masing memiliki prosedur semacam ‘hukum acara’ yang menjadi pedoman yang dipakai saat penanganan perkarara.

Bagi Ricardo, keadaan yang seperti itu menjadi tantangan tersendiri bagi LAPS OJK. Pasalnya, dalam rangka penegakan hukum, mutlak diperlukan hukum acara yang seragam antara satu dan lainnya. Tak hanya hukum acara yang ‘seragam’, diperlukan juga kode etik, dewan kehormatan, serta dewan pengawas. Sayangnya, LAPS OJK masih terpisah-pisah. Dalam arti, masing-masing sektor belum berada dalam payung lembaga yang sama.

“Perlu standarisasi business process dan code of conduct. Tanpa hukum acara yang seragam, akan ada celah untuk pelaku yang ingin melakukan tindakan koruptif,” usul Ricardo.

Kepala Departemen Perlindungan Konsumen OJK Anto Prabowo mengatakan, sejatinya sejak awal LAPS OJK dirancang untuk dijadikan dalam satu wadah (singlebar). Akan tetapi, untuk sementara waktu keadaan LAPS OJK yang masih terpisah-pisah dibiarkan sambil menunggu konsep yang tepat dan semua LAPS OJK bisa terpenuhi untuk semua sektor. “Tapi di Road Map OJK sudah ditegaskan akan disatukan. Menuju ke sana, kita bikin working group untuk menuju ke penyatuan LAPS OJK,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait