Simak! Tafsir MK Terhadap Ketentuan Pengampuan dalam KUHPerdata
Utama

Simak! Tafsir MK Terhadap Ketentuan Pengampuan dalam KUHPerdata

Perubahan makna Pasal 433 KUHPerdata mengandung makna bahwa pengadilan negeri dalam mengadili permohonan penetapan pengampuan mempunyai pilihan yang lebih leluasa manakala berhadapan dengan fakta hukum adanya disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual pada seseorang. MK menganggap lembaga pengampuan tetap diperlukan.

Agus Sahbani
Bacaan 5 Menit

Dalam amar putusannya, MK menyatakan kata “dungu, sakit otak atau mata gelap” dan kata “harus” dalam Pasal 433 KUHPerdata bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang kata “dungu, sakit otak atau mata gelap” tidak dimaknai “adalah bagian dari penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual”, dan sepanjang kata “harus” tidak dimaknai “dapat”.

Dengan demikian, ketentuan Pasal 433 KUHPerdata selengkapnya menjadi berbunyi “Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap, adalah bagian dari penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, dapat ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.”

Mahkamah berpendapat Pasal 433 KUHPerdata harus diberikan penafsiran ulang dengan menyelaraskannya dengan semangat dalam Pasal 32 UU No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Penafsiran ulang demikian bertujuan agar dapat dipastikan terwujudnya efek atau dampak upaya perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dengan tetap mempertahankan lembaga pengampuan yang ada dalam Pasal 433 KUH Perdata.

“Oleh karena Mahkamah berkesimpulan Pasal 433 KUHPerdata telah ternyata terdapat persoalan inkonstitusionalitas norma pada bagian-bagian tertentu, Mahkamah menyatakan norma Pasal 433 KUHPerdata inkonstitusional secara bersyarat, dan pemaknaan demikian tidak sebagaimana yang dimohonkan para pemohon dalam petitumnya, maka Mahkamah berpendapat permohonan beralasan menurut hukum untuk sebagian,” ujar Hakim Konstitusi Suhartoyo saat membacakan pertimbangan putusan.

Pengadilan harus cermat-hati-hati 

Dalam pertimbangan lainnya, menurut Mahkamah, penghilangan atau penghapusan lembaga pengampuan dari Pasal 433 KUHPerdata justru dapat menjadi penyebab berkurangnya perlindungan hukum bagi orang atau subjek hukum yang mengalami kondisi "dungu", "sakit otak", dan "mata gelap" yang merupakan bagian dari penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual.

“Meskipun KUHPerdata merupakan hukum peninggalan era kolonial, yang citranya lekat dengan penjajahan dan penindasan hak asasi manusia. Mahkamah tidak memungkiri bahwa semangat pengampuan yang diusung KUHPerdata dalam keadaan-keadaan tertentu masih relevan dimplementasikan guna melindungi hak-hak keperdataan,” kata Suhartoyo.

Namun, penerapan lembaga pengampuan demikian secara berkesinambungan perlu dilakukan evaluasi. Mahkamah memberi catatan bahwa penerapan pengampuan secara longgar/mudah tanpa disertai pedoman jelas, berpotensi semakin memberatkan beban penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual. Untuk itu, pengadilan negeri sebagai lembaga yang berwenang menetapkan pengampuan harus benar-benar cermat dan hati-hati di dalam memberikan putusan/ketetapan atas permohonan pengampuan. 

Tags:

Berita Terkait