Sindrom Kuasa Mengatur
Tajuk

Sindrom Kuasa Mengatur

Diktator biasanya bertindak memaksakan kemauan politiknya. Ia tidak membutuhkan dasar hukum, tidak mengupayakan dukungan parlemen sebagai representasi demokrasi, dan tidak juga melibatkan keinginan pemangku kepentingan (stakeholders).

Oleh:
ATS
Bacaan 2 Menit
Sindrom Kuasa Mengatur
Hukumonline

 

Sejak masa kemerdekaan Indonesia, tak pelak sistim hukum yang dianut lebih cenderung pada sistim hukum Eropa kontinental yang di adopsi dari bekas hukum pemerintah jajahan Belanda yang diberlakukan di Hindia Belanda. UUD 1945 dalam aturan peralihannya tegas menyatakan bahwa hukum yang berlaku pada waktu UUD 1945 dilahirkan, termasuk sebagian besarnya hukum kolonial Belanda, tetap diberlakukan untuk mencegah kevakuman hukum. Suatu pilihan yang realistis, yang diduga merupakan sodoran pilihan dari para juris yang juga merupakan sebagian dari bapak-bapak konstitusi kita.

 

Agak mengherankan memang, bahwa dalam suasana revolusioner pada waktu itu, dimana semangat anti kolonialisme dan imperialisme masih menggebu, dengan kepala dingin para pemimpin bangsa bisa memutuskan untuk tetap mengutamakan kepastian hukum. Termasuk menggunakan hukum kolonial, padahal sebagian dari undang-undang Belanda justru diciptakan untuk menindas bangsa Indonesia. Tetapi memang bisa dibayangkan bagaimana sulitnya Indonesia pada waktu itu - yang masih baru ibarat bayi belajar merangkak, infrastruktur politik, hukum, ekonomi dan sosial masih langka, orang terdidik masih sedikit, hubungan dengan dunia luar masih terbatas - kalau diharuskan untuk membentuk hukum nasional yang kompleks, terdiri dari hukum keluarga, perdata, pidana, dagang, administrasi, sistim keuangan, dan sebagainya.

 

Pengadopsian sistim hukum kontinental merupakan salah satu alasan kecenderungan tinggi penguasa Indonesia setelah kemerdekaan untuk mengatur semua kebijakan publik dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Kecenderungan ini juga yang mematikan kreativitas badan yudisial untuk menafsirkan hukum dan keadilan dalam bentuk yurisprudensi, yang bila dijalankan oleh suatu sistim yudisial yang bersih dan berintegritas tinggi, bisa efektif memotong jalur panjang proses legislasi dan kecenderungan penguasa diktator untuk membuat kebijakan publik secara sewenang-wenang.  Ini juga mematikan inisiatif masyarakat untuk mengatur dan menyelesaikan sendiri kehidupan dan konflik-konflik yang timbul dengan dialog terbuka, keputusan dari hasil proses politik yang sehat, maupun dengan konsultasi antar anggota masyarakat dengan menggunakan kebijaksanaan lokal yang kerap dipakai dalam sistim hukum adat, atau dengan etika dan budaya politik, bisnis maupun sosial yang sering digunakan dalam masyarakat modern sekalipun. Semua jadi serba diatur dalam ketentuan hukum positif.

 

Setelah reformasi, kecenderungan ini makin meningkat dengan proaktifnya parlemen dalam mengajukan rancangan peraturan perundang-undangan berbasis hak inisiatif. Bukan hal yang jelek memang karena itulah tugas parlemen yang utama. Akan tetapi dengan terpecahnya parlemen dalam begitu banyak fraksi parpol dan dengan muatan kepentingan yang beragam, ditambah lagi dengan masih minimnya kemampuan perancangan perundang-undangan dari parlemen sendiri,  sulit kiranya dapat disodorkan suatu rancangan undang-undang yang bisa secara konstruktif mempercepat reformasi di segala bidang dan pengentasan Indonesia dari krisis multi dimensi.

 

Jawaban yang paling manjur untuk mengatasi soal-soal itu tentu tidak seketika tersedia, karena membutuhkan banyak diskusi dan perdebatan terbuka secara nasional dalam  berbagai forum dan melibatkan banyak elemen bangsa. Pemecahan masalah ini membutuhkan suatu perubahan besar dalam budaya dan sikap politik kita bangsa Indonesia untuk melihat dan menyelesaikan tantangan-tantangan ke depan. Pada intinya tidak semua hal bisa diselesaikan dengan peraturan perundang-undangan. Lihat saja, seorang pejabat tinggi di masa pemerintahan Habibie pernah dengan bangga menyatakan bahwa masa pemerintahan Habibie yang begitu singkat melahirkan begitu banyak Undang-undang, dan mengkikis tumpukan antrian RUU yang ditinggalkan oleh pemerintahan Soeharto. Tetapi apakah produktifitas tinggi  dari pemerintah dan DPR tersebut dalam melahirkan Undang-undang banyak mengubah kehidupan bangsa? Pemerintahan Habibie dan pemerintahan-pemerintahan berikutnya sampai saat ini masih tidak bisa menunjukkan pencapaian yang diharapkan. Tata kelola pemerintahan (governance) masih lemah, korupsi masih tinggi, peradilan masih rendah integritasnya, kehidupan politik masih di dominasi praktek-praktek kotor, konflik-konflik horizontal masih terjadi, bisnis masih belum bangkit dan masih di dominasi oleh tangan-tangan para pemain lama, ekonomi dan perbankan belum mencapai sektor riil, pengaruh modal asing masih sangat mendominasi pasar dalam negeri, dan sebagainya.

 

Jadi bangsa ini perlu memikirkan kembali apa yang terbaik dalam mengatur dirinya sendiri tanpa harus selalu mengandalkan peraturan dengan segala bentuknya. Opsi-opsinya bisa saja dengan: Pertama, membuat kesepakatan-kesepakatan politik dari berbagai elemen bangsa yang melibatkan para pemangku kepentingan, yang di negara lain bisa berhasil (Afrika Selatan misalnya). Kedua, mengupayakan agar kalaupun suatu peraturan perlu dibentuk, ada suatu korelasi antara kemampuan membentuk kebijakan publik yang baik, keterlibatan pemangku kepentingan, dan kesiapan pelaksanaan dari peraturan tersebut. Ketiga, memberdayakan peradilan untuk mampu menafsirkan peraturan perundangan yang ada untuk kepentingan terbaik bangsa ini. Keempat, membentuk sel-sel kecil di masyarakat birokrasi, politik, sosial dan bisnis untuk menjalankan suatu proses partnering, dimana setiap gejala konflik sekecil apapun dalam setiap aspek kehidupan cepat dapat di identifikasi, didiskusikan terbuka di antara pihak-pihak terkait, dan diselesaikan dengan cepat dan adil, sehingga tidak membuka kemungkinan konflik menjadi meluas dan menjadi luka yang tak tersembuhkan.

 

Opsi-opsi tadi mudah dibicarakan, sulit diwujudkan, dan seakan menggiring negara ini menjadi bukan lagi negara hukum. Tetapi kalau dipikir lebih dalam lagi, hukum pada prinsipnya adalah kesepakatan-kesepakatan politik, ekonomi dan sosial yang diambil dari opsi-opsi tadi. Bentuk dan caranya bisa lain, tetapi hasil yang ingin dicapai bisa sama, yaitu masyarakat yang harmonis, damai atau hanya mentolerir sedikit konflik, semua terwakili kepentingannya secara berimbang, dan karenanya tidak selalu bergantung kepada negara dan alat perlengkapannya.

Dalam banyak langkah diktator, cukup dibutuhkan kegilaan, sikap ego-sentris atau kepentingan diri atau golongan sendiri, kekuatan militer, dan semua alat pemaksa dan pembungkam mulut lain. Dalam banyak hal, celakanya, tindakan diktator kerap kali justru bisa efektif menjalankan suatu program. Kita mengenal diktator militer, diktator proletariat, diktator berbasis religi, diktator berbungkus demokrasi dan sebagainya di berbagai belahan bumi. Dan semua bertingkah laku sama, menghalalkan cara mencapai tujuan.

 

Penguasa atau pemerintahan berbasis demokrasi membutuhkan dasar hukum untuk semua tindakannya. Pembuatan legislasi melibatkan parlemen, dan parlemen yang muncul dari pemilu demokratis melambangkan kedaulatan rakyat, setidaknya begitulah dasar filosofisnya.  Pembentukan produk legislasi, apalagi di masyarakat dalam transisi seperti masyarakat Indonesia sekarang ini, melibatkan proses dan pendalaman substansi yang kompleks, serta melibatkan semua unsur pemangku kepentingan yang tidak mudah untuk disatukan maunya. Prosesnya bisa tarik ulur berlama-lama, painful, dan jauh dari kesan efektif. Sementara obyek pengaturan, untuk keperluan kepastian hukum dan keadilan, sudah sangat mendesak untuk diberlakukan. Contoh mudahnya adalah RUU Amandemen UU Ketenagakerjaan, RUU Amandemen UU Pajak, RUU Amandemen UU KPK dan sebagainya.

 

Begitu banyak kepentingan yang sifatnya sangat berpendar, sehingga pemerintahan yang lemah akan sulit untuk berani mengambil keputusan yang efektif dalam soal-soal dilematis seperti itu. Kritik atas kondisi ini tentu tidak sekedar genit, karena pada dasarnya muncul dari kenyataan-kenyataan. Tetapi membiarkan kritik begini menjadi alasan pembenaran untuk melemahkan pendewasaan proses demokrasi juga sikap berbahaya, dan mengundang munculnya diktator dengan bungkus baru.

 

Penguasa atau pemerintahan diktator yang berbaju demokrasi juga melandasi tindakan-tindakannya berdasarkan hukum yang dibuat dengan kerjasama parlemen yang sangat bisa dikendalikan. Dalih proses legislasi yang rumit tadi memberi pembenaran bagi diktator macam itu untuk membentuk peraturan perundangan dibawah undang-undang, semisal Perpres, Kepres, Permen dan sebagainya, sekalipun materi yang diatur seharusnya dibuat dalam bentuk undang-undang. Tidak menjadi penting karenanya apakah ada atau tidak dukungan dari pemangku kepentingan dalam proses pembentukan kebijakan publik. Yang ada hanya pembentukan kebijakan publik secara sewenang-wenang dengan bungkus legitimasi dari parlemen yang dilemahkan.

 

Pemerintahan macam ini bisa saja berteriak telah berjalan di rel konstitusi, dan mendapat dukungan pemerintah barat dan lembaga-lembaga dunia seperti Bank Dunia, IMF, PBB dan lain-lain. Sepak terjang pemerintahan Soeharto merupakan contoh klasik dalam sejarah legislasi kita yang penuh dengan sandiwara demokrasi, dengan kebanyakan kita, kelas menengah Indonesia, menjadi penonton pasif yang depresif, sekaligus penikmat manfaat yang timbul dari sistim yang koruptif dan meninabobokan.

Tags: