Sofyan Djalil, Disangka ‘Obral’ Sertifikat Tanah Padahal Mandat UU Pokok Agraria
Utama

Sofyan Djalil, Disangka ‘Obral’ Sertifikat Tanah Padahal Mandat UU Pokok Agraria

Sesuai mandat UU Pokok Agraria, mewujudkan kepastian hukum tentang hak atas tanah sekaligus meningkatkan keterbukaan akses finansial (financial inclusion).

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

 

Selama 73 tahun Republik Indonesia berdiri, apa yang menghambat penuntasan pendaftaran tanah?

Menurut saya political will. Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria sudah mewajibkan pemerintah melakukan pendaftaran seluruh bidang tanah di Indonesia. Ternyata kemudian tidak dilaksanakan sepenuhnya sesuai amanat undang-undang. Kita memang melakukannya namun tidak secara masif. Baru pada masa pemerintahan Pak Jokowi melakukannya secara masif. Dan masyarakat sangat berterima kasih. Apa yang dianggap sebagai bagi-bagi sertifikat saat ini adalah melegalkan hak masyarakat atas tanahnya secara hukum. Kami datang, ukur, memeriksa dokumen pendukung kepemilikannya, lalu menerbitkan sertifikatnya.

 

Masalah kami saat ini untuk yang akan datang kembali bergantung political will. Kalau Jokowi sudah punya komitmen soal itu. Berkaitan dengan anggaran yang disediakan. Seandainya Pak Jokowi tidak minta target 5 juta bidang tanah, kami tidak bisa lakukan juga. Sekian puluh tahun kita enjoy saja dengan cara pendaftaran tanah sebelumnya. Begitu ada target, kami ajukan anggaran dan kerjakan. Alhamdulillah orang-orang BPN bisa kerja keras, disediakan insentif, diberikan dukungan. Dulu kekurangan juru ukur, lalu kami sediakan juru ukur independen. Sekarang ini ada sekira 10 ribu juru ukur swasta. Siapa saja yang punya kemampuan mengukur lalu kami uji dan berikan sertifikat. Kami mempercepat pengerjaan, juga dengan sistem komputer sehingga dari jarak jauh bisa memantau laporan apapun yang sedang dikerjakan.

 

Apakah UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UU Pokok Agraria) masih memenuhi kebutuhan kita saat ini mengenai kebijakan di bidang agraria?

Undang-undang ini cukup bagus untuk beberapa hal. Dibuat secara totalitas pada tahun 1960. Namun cocok dan sesuai sekali dengan zamannya. Waktu itu kita masih menjalankan ekonomi agraris sehingga diberi nama Undang-undang Pokok Agraria. Ekonomi kita saat itu masih didominasi pertanian. Sebagai landasan hukum untuk pendaftaran tanah masih OK.

 

Tetapi, banyak sekali hal-hal baru yang tidak dikenal pada saat itu. Misalnya hak untuk di bawah tanah, seperti yang digunakan untuk transportasi bawah tanah. Lalu pembatasan hak di atas tanah berkaitan tinggi bangunan, atau pengelolaan bank tanah. Berbagai adopsi teknologi mengenai tata ruang juga perlu diatur. Oleh karena itu, kami sedang menyiapkan revisi beberapa pasal yang sudah tidak cocok lagi.

 

Hukumonline.com

 

Apa saja poin-poin penting yang menjadi prioritas dalam rancangan revisi tersebut?

Misalnya soal kepemilikan tanah oleh pihak asing. Selama ini hanya membolehkan hak pakai untuk pihak asing dengan batas waktu 15 tahun. Ada berbagai wacana soal kepemilikan hak atas tanah oleh pihak asing saat ini. Dulu tahun 1960 kita baru keluar dari masa penjajahan. Orang asing hanya diberikan hak pakai, tidak boleh memiliki properti. Sekarang masalahnya ada apartemen di atas hak guna bangunan. Sementara hak guna bangunan tidak boleh dimiliki orang asing. Di sisi lain pemerintah mengundang investor asing untuk terlibat investasi di bidang properti. Saat ini kepemilikan pihak asing di suatu tempat lebih untuk global portofolio, bukan untuk tinggal di sana. Investasi aset di berbagai negara. Itu menjadi bahasan kami.

 

Selanjutnya tentang Bank Tanah. Belum ada pengaturan penguasaan tanah di bawah milik negara yang bisa leluasa dikelola pemerintah. Istilah tanah negara itu bukan berarti aset milik negara. Kami akan membuat konsep Bank Tanah untuk mengambil alih tanah-tanah telantar agar bisa dibagikan kembali demi kepentingan masyarakat seperti rumah rakyat, taman, atau fasilitas umum.

Tags:

Berita Terkait