Menurut Hikmahanto, secara sosiologis, bargaining position konsumen sangat lemah jika berhadapan dengan produsen. Untuk meningkatkannya, perlu berbagai upaya, seperti yang telah dilakukan YLKI. Atau, bisa juga pemerintah melakukan intervensi dengan membuat peraturan-peraturan yang bertujuan untuk meningkatkan bargaining position konsumen terhadap produsen. Inilah salah satu sebab dibuatnya UU No. 5 Tahun 1999.
Menurut Hikmahanto, prinsip larangan yang dikandung UU No. 5 Tahun 1999 adalah larangan terhadap perilaku (restrictive business practices) dari pelaku usaha. UU itu sama sekali tak bertujuan menggunakan prinsip larangan terhadap struktur pasar (market structure restraint). Meski harus diakui ada ketentuan yang seolah-oleh dapat diinterpretasikan sebagai larangan terhadap struktur pasar.
Ketentuan dimaksud terkandung dalam Pasal 4 ayat (2), Pasal 13 ayat (2), dan Pasal 17 ayat (2) huruf c. Pasal-pasal itu secara tegas menyebut angka 75% dan 50% dalam penguasaan pasar untuk dikategorikan sebagai telah melakukan monopoli.
Menurut Hikmahanto, persentase yang ada dalam ketentuan itu hanya merupakan "pemicu" (triggering event) bahwa pelaku usaha diduga atau dianggap melakukan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.