Akhirnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengagendakan jadwal pembacaan putusan pengujian Pasal 169 huruf q UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait syarat usia minimal 40 tahun sebagai calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) pada Senin 16 Oktober 2023. Artinya, pembacaan putusan ini telah diupayakan sebelum masa pendaftaran capres-cawapres yang ditetapkan KPU RI mulai tanggal 19 Oktober hingga 25 Oktober 2023 mendatang.
Sebagaimana dikutip laman MK, MK telah menetapkan jadwal pembacaan putusan pada Senin (16/10/2023) untuk perkara No. 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan Dedek Prayudi (kader PSI); perkara No. 51/PUU-XXI/2023 yang diajukan Ahmad Ridha Sabana dan Yohanna Murtika (Ketum dan Sekjen Partai Garuda); dan perkara No.55/PUU-XXI/2023 yang diajukan Walikota Bukittinggi Erman Safar (36 tahun) dan Wakil Bupati Lampung Selatan Pandu Kesuma Dewangsa (34 tahun).
Baca Juga:
- MK Sebut Putusan Uji Syarat Usia Capres-Cawapres dalam Proses Pembahasan
- Menebak Arah Putusan Pengujian Baras Usia Capres-Cawapres
Sebelumnya, Kepala Biro Hukum dan Administrasi Kepaniteraan MK Fajar Laksono mengatakan jadwal pembacaan putusan pengujian UU Pemilu terkait syarat usia capres-cawapres bisa dipantau di kanal Jadwal Sidang dalam laman resmi MK. “Silakan pantau jadwal sidang di mkri.id ya,” ujar Fajar Laksono saat dikonfirmasi Hukumonline, Jum’at (6/10/2023) kemarin.
Seperti diketahui, tiga permohonan itu untuk menurunkan batas usia minimal 40 tahun sebagai capres-cawapres menjadi 35 tahun dengan dalih moralitas dan rasionalitas serta diskriminasi. Dalam petitum permohonannya, MK diminta menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun.”
Selain itu, memohon agar MK menyatakan frasa "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara.”
Banyak pertanyaan
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani melihat putusan perkara ini hanya berujung pada dua kesimpulan tanpa perlu menggali dari informan. Pertama, jika terkait hak asasi, MK berdalih sebagai open legal policy pembentuk UU. Kedua, jika terkait kepentingan politik maka sarat akan kejanggalan.