Tarif Bea Keluar Mineral Sudah Disusun
Berita

Tarif Bea Keluar Mineral Sudah Disusun

Selain insentif, pemerintah harus menyiapkan infrastruktur.

KAR
Bacaan 2 Menit
Gedung Kementerian ESDM. Foto: RES
Gedung Kementerian ESDM. Foto: RES
Pemerintah memastikan tarif bea keluar (BK) ekspor mineral konsetrat telah selesai disusun. Menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), R. Sukhyar, nantinya besaran BK akan berbeda bagi setiap perusahaan.

Sukhyar menjelaskan, tarif BK akan bergantung dari progress kemajuan realisasi pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter). Sayangnya, Sukhyar enggan menjelaskan lebih detail.

“Angkanya di bawah 10%. Pokoknya subject to progres smelter. Segala bentuk besaran BK yang bakal dikenakan ke pelaku usaha akan diserahkan sepenuhnya kepada Kementerian Keuangan,” ujar Sukhyar di Jakarta, Jumat (20/6).

Dia menjelaskan, kewenangan pihaknya hanya terbatas untuk mengurusi perkembangan pembangunan smelter. Menurut Sukhyar, nantinya setiap enam bulan akan ada evaluasi kemajuan smelter tersebut. Pihaknya yang akan menguji perkembangan pembangunan smelter itu.

“Kami yang menguji di lapangan progresnya berapa," ujarnya.

Sebelumnya, besaran tarif BK ekspor mineral telah diatur di dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6 Tahun 2014. Namun, peraturan tersebut hanya mengenakan BK bagi perusahaan pertambangan yang tidak membangun smelter. Besaran yang ditetapkan untuk tembaga adalah sebesar 25%. Tarif tersebut akan naik pada semester pertama tahun 2015 mendatang menjadi sebesar 35%. Kemudian, di semeseter kedua tahun 2015 akan menjadi 40%.

Sementara itu, untuk mineral lainnya tarif yang dikenakan sebesar 20%. Besaran itu juga akan mengalami kenaikan pada tahun depan. Pada semester pertama, akan naik menjadi 30% dan kembali naik pada semester kedua menjadi 40%. Selanjutnya, semu komoditas mineral akan kembali mengalami kenaikan tarif di 2016, yakni di semester pertama menjadi 50% dan di semester kedua sebesar 60%.

“Tetapi Peraturan Menteri Keuangan tentang bea keluar mineral ini bukan revisi dari PMK Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6 Tahun 2014 tentang Penetapan Barang Ekspor. Ini merupakan bentuk insentif yang diberikan pemerintah kepada perusahaan yang berkomitmen membangun smelter,” ujar Sukhyar.

Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI, Pramono Anung menyatakan bahwa pihaknya mendukung konsistensi Pemerintah untuk melaksanakan kebijakan hilirasi tambang. Sebab, menurut Pramono hal itu merupakan amanat Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Ia yakin, kebijakan itu akan meningkatkan pendapatan negara sekaligus membuka lapangan kerja baru.

“Sebagai implikasi dari larangan ekspor mineral dalam bentuk mentah, pengusaha mineral dan batubara wajib membangun smelter untuk melakukan pemurnian hasil pertambangan,” tegasnya.

Ia melihat, memang kebijakan itu saat ini banyak mendapat tantangan dari kalangan pengusaha. Menurutnya, hal itu karena kalangan pengusaha merasa harus menambah beban perusahaan. Namun demikian, Anung meminta agar pemerintah tetap tegas.

Hanya saja, Anung meminta agar pemerintah tetap dapat menjaga iklim investasi di sektor pertambangan. Ia menilai, pemerintah dapat melakukannya dengan memberikan berbagai insentif dan kemudahan bagi perusahaan tambang yang berniat membangun smelter di dalam negeri. Sebab, Anung menyadari bahwa pembangunan smelter memerlukan persiapan yang cukup lama.

“Pembangunan smelter kan memerlukan waktu persiapan tiga sampai empat tahun dan biaya yang sangat besar, apalagi bisnis pertambangan memiliki resiko ketidakpastian yang tinggi,” ujarnya.

Selain insentif seperti besaran BK ekspor mineral, Anung mengingatkan pemerintah untuk menyiapkan infrastruktur yang baik di lokasi pabrik smelter. Infrastruktur itu termasuk kecukupan ketenagalistrikan, ketersediaan pelabuhan, jaringan jalan raya atau kereta api serta jaringan telekomunikasi yang dapat diandalkan. Semua itu menurut Anung penting bagi perusahaan pertambangan untuk menekan biaya produksi.
Tags:

Berita Terkait