​​​​​​​Tatanan New Normal dan Kewarasan Baru Berdemokrasi Oleh: Fajar Laksono Suroso*)
Kolom

​​​​​​​Tatanan New Normal dan Kewarasan Baru Berdemokrasi Oleh: Fajar Laksono Suroso*)

​​​​​​​‘Kewarasan’ baru dibutuhkan demi memproteksi demokrasi dari manuver berbahaya para pemimpin politik.

Bacaan 2 Menit

Dalam temuan disertasi Pramono Anung (2013:285), biaya ‘komunikasi politik’ yang dihabiskan seorang calon legislator (pada pemilu 2004-2019) mencapai 300 juta hingga Rp6 miliar. Belum lagi pilkada. Seorang cawagub dalam pilkada DKI Jakarta mengaku menghabiskan dana Rp400 miliar. Joko Widodo (waktu itu belum Presiden) mengamini riset Pramono dengan mengatakan, “Kita saat ini hidup dalam era “demokrasi perduitan”, yang segalanya diukur dengan uang. Orientasinya berkaitan dengan uang, sehingga mendidik rakyat untuk menjadi seperti itu...” (2013:293).

Pendeknya, proses politik kita membutuhkan uang besar, bukannya gagasan yang cerdas dan pribadi yang berintegritas (2013:298). Tembok demokrasi nampaknya dipenuhi plakat “In money we trust”. Tetapi, muncul pembenaran: berjudi saja butuh modal, apalagi berpolitik (2010:7).

Saat tiba memegang kuasa, para pemimpin politik cenderung mengidap in-power syndrome. Aji mumpung diunggulkan. Mumpung jadi ini, jadi itu. Tak sedikit yang bermain citra. Melakukan sesuatu yang populis, direkam, dan disebarkan melalui medsos agar viral, lalu berharap pujian. Belum lagi yang (berniat) korupsi karena ingin segera balik modal. Die Nicht-Korrupt sind die Dumme (yang tidak korup adalah orang tolol).

Di saat berkuasa, para pemimpin politik secara aneh ‘dihantui’ bayangan post-power syndrome. Perasaan pedih kelak kehilangan kekuasaan mencipta semangat elang (hawkish) untuk mempertahankannya dengan jalan apapun. Tak jarang, langkah yang ditempuh menimbulkan kegaduhan politik. Berkedok legalitas tapi sesungguhnya  menerkam konstitusi. Menurut Jack M. Balkin (2017:151), itu yang dinamakan ‘constitutional rot’ atau pembusukan sistem konstitusional. Para pemimpin politik mengabaikan norma-norma persaingan yang adil, merusak kepercayaan publik, mencurangi sistem, dengan menggunakan alibi konstitusional semata-mata untuk mempertahankan kekuasaan.

Di sisi lain, ‘main kasar konstitusional’ yang oleh Mark Tushnet (2004:523) disebut ‘constitutional hardball’ juga dimainkan. Dibungkus prosedur, norma-norma konstitusi diakali dan dilanggar guna memperoleh keuntungan politik. Perilaku  ini yang membuat sulit dibantah bahwa para pemimpin politik sesungguhnya mengalami apa yang disebut Keith Witthington (2002:2109) sebagai ‘crises of constitutional fidelity’ atau krisis kesetiaan pada konstitusi. Komitmen konstitusional dikalahkan untuk lebih mengedepankan prioritas politiknya.

Walau tak semua, kebanyakan mereka cuma berpikir tentang kekuasaan dan kekuasaan. Yang berlaku semboyan kaum hedonis: tangkaplah hari ini dan jangan terlalu percaya pada hari esok! Kebajikan dan keutamaan (virtus) bernegara terpukul jatuh. Tekanan pragmatisme politik menggusur moral dan etika. Mindset para pemimpin politik lebih person-oriented ketimbang system-oriented. Intinya, tampilan demokrasi dipertahankan, namun substansinya dienyahkan.

‘Kewarasan’ Baru sebagaiAntitesis

Tatanan ‘new normal’ harus menjadi titik krusial para pemimpin politik untuk mempurifikasi perilaku dengan ‘kewarasan’ baru. Hal itu diawali dengan menyadari kesementaraan kekuasaan (the transience of power). Ingat, hanya orang berumur pendek yang mungkin berkuasa seumur hidup (2004: 267). Untuk itu, dalam tatanan ‘new  normal’, abnormalitas harus diruntuhkan. Di atas puingnya, dibangun tonggak ‘kewarasan’ baru untuk memulangkan demokrasi kepada logika kesemestiannya.

Tags:

Berita Terkait