Telaah Implementasi Denda Damai dalam Perspektif Dominus Litis
Kolom

Telaah Implementasi Denda Damai dalam Perspektif Dominus Litis

Telaah implementasi denda damai dalam perspektif dominus litis dapat dicermati dalam konteks normatif maupun pro-kontra pemaknaan restorative justice.

Bacaan 9 Menit

Dapat dicermati bahwa penerapan restorative justice saat ini mendapatkan tempat yang istimewa oleh Kejaksaan terhadap tindak pidana umum. Hal demikian ditandai dengan terbitnya Peraturan Kejaksaan (Perja) No.15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai aturan internal kejaksaan dalam penegakan hukum terhadap suatu perkara. Namun demikian, semangat penerapan restorative justice tersebut, belakangan ini terus melaju tidak hanya terhadap tindak pidana umum, akan tetapi diwacanakan menyasar pula terhadap tindak pidana khusus, tidak terkecuali untuk tindak pidana korupsi. Sebagaimana diketahui, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengatakan bahwa paradigma penegakan hukum telah mengalami pergeseran dari keadilan retributif berupa pembalasan menjadi keadilan restoratif. Keadilan restoratif memberi keseimbangan dalam proses peradilan pidana. Oleh karenanya, keadilan akan muncul saat perdamaian dan harmoni di masyarakat serta pelaku kejahatan dapat diterima masyarakat.

Pada poin ini, dapat dipahami bahwa argumentasi Jaksa Agung ketika mewacanakan pengimplementasian restorative justice untuk berbagai tindak pidana, didasari oleh pemikiran teori hukum pidana modern. Dapat dikemukakan bahwa teori hukum pidana modern lebih bersifat abolisionist yang merupakan anti-tesis dari pemikiran teori hukum pidana klasik yang bersifat lestasionist.

Pada konteks demikian, Jaksa Agung memberikan kritik terhadap paradigma lama yang mengemukakan bahwa upaya menekan tingkat kejahatan adalah dengan cara memidanakan pelaku tindak pidana, utamanya dengan pidana penjara. Upaya pemidanaan seorang dengan pembatasan akses bermasyarakat dengan pidana penjara justru dipandang tidak jarang menimbulkan suatu persoalan baru. Pada kulminasi demikian, penjara dianggap bukan sebagai solusi pemecahan masalah kejahatan. Bahkan penjara dianggap sebagai The Graduate School of Crime (sekolah tinggi tindak kriminal).

Penempatan orang dalam penjara pada hakikatnya merupakan upaya pengekangan kebebasan seseorang dalam memenuhi segala kebutuhannya. Oleh karena itulah para penghuni penjara (lembaga pemasyarakatan) mengalami ‘kesakitan’ akibat berbagai kehilangan, baik kehilangan akan rasa aman, relasi, seksual, otonomi, maupun kehilangan kekuasaan atas barang yang dimilikinya. Oleh karenanya dilihat dari sisi humanisme, pemenjaraan seseorang dapat dikatakan melanggar Hak Asasi Manusia. Bahkan Hazairin dalam tulisannya “negara tanpa penjara” menyebutkan bahwa “masyarakat tanpa penjara adalah suatu kondisi ideal yang sangat tinggi mutu filsafatnya dan sangat besar keuntungannya, baik spiritual dan materiil”. Bahwa sebenarnya pandangan Hazairin tersebut berdasarkan pada pola pemikiran abolisionisme. Paham abolisionisme menghendaki adanya penghapusan hukuman mati hingga reformasi terhadap sistem pemenjaraan yang digantikan dengan jenis hukuman lainnya.

Pola pemikiran hukum pidana modern dan konsep keadilan restoratif inilah yang menurut Jaksa Agung sudah seharusnya menyentuh seluruh lapisan masyarakat yang berkonflik dengan hukum tanpa pembedaan (diskriminasi). Masyarakat berhak mendapatkan keadilan tanpa memandang golongan dengan tetap memperhatikan berat dan ringannya perkara. Namun harus disadari bahwa untuk kondisi kekinian, yang menjadi payung hukum hanyalah Perja 15 Tahun 2020 yang masih sebatas pada jenis tindak pidana ringan yang melibatkan masyarakat kecil. Maka ketika sejatinya tujuan yang hendak dicapai menghadirkan kemanfaatan hukum dalam skala yang lebih luas untuk tercapainya keadilan restoratif, ketentuan pada level undang-undang sebagai rule of the game penegakan hukum, tentu saja harus diupayakan.

Pemikiran yang pro dan senada dengan gagasan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dalam konteks kejahatan keuangan, tidak terkecuali korupsi, optimasi penanggulangannya dapat menggunakan instrumen keuangan yang saat ini ada. Langkah perampasan aset atau acapkali disebut ‘pemiskinan koruptor’ maupun gugatan keperdataan guna memulihkan kerugian keuangan negara, merupakan bentuk pemidanaan yang tidak hanya sekadar berwujud pemidanaan badan (pemenjaraan). Pendekatan finansial dengan transactioncost demikian merupakan proses penegakan hukum terhadap kejahatan keuangan termasuk tindak pidana korupsi, yang mempertimbangkan beban ekonomi negara dalam proses penanganan perkara maupun biaya bagi narapidana selama menjalani pidananya.

Lalu bagaimana jika ditemukan jenis korupsi kecil-kecilan (petty corruption)? Pada kondisi demikian, Jaksa Agung pernah mengajukan gagasan bahwa korupsi di bawah Rp50 juta tidak dipidana atau cukup mengembalikan hasil korupsinya. Konsekuensi yuridis gagasan demikian tentu saja untuk tindak pidana korupsi kecil-kecilan, penyelesaiannya menggunakan hukum acara pidana yang bersifat ringan atau bahkan diselesaikan di luar persidangan dengan mekanisme denda damai yang disetorkan ke kas negara atau kas daerah. Namun harus diingat bahwa hukum acara pidana khusus, utamamnya berkait tipikor di Indonesia belum mengatur mekanisme demikian.

Tags:

Berita Terkait