Tiga Indikasi State Capture Corruption dalam RUU Cipta Kerja
Utama

Tiga Indikasi State Capture Corruption dalam RUU Cipta Kerja

Beberapa persoalan RUU Cipta Kerja sektor lingkungan hidup diantaranya penyederhanaan tidak rasional dari naskah akademik, kompleksitas pengaturan, penghapusan izin lingkungan, pelemahan aspek pengawasan dan penegakan hukum, pelemahan peran pemerintah daerah.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

“Kalangan akademisi menolak RUU Cipta Kerja, bahkan lembaga negara seperti Komnas HAM meminta pembahasannya ditunda,” kata dia.  

Meski tidak menyebut secara tegas RUU Cipta Kerja sebagai bentuk state capture corruption, tapi Laode menjelaskan sedikitnya ada tiga indikasi ke arah itu. Pertama, pemerintah dan DPR “memfasilitasi” perusakan/penyelewengan/penumpukan kekuasaan melalui kebijakan/regulasi. Kedua, membiarkan kejahatan lingkungan di depan mata. Ketiga, mendapatkan keuntungan pribadi/kelompok dari perusakan lingkungan hidup dan SDA.

“Perlindungan lingkungan hidup dan SDA itu mandat konstitusi. Kita tolak RUU Cipta Kerja karena keburukannya lebih banyak daripada manfaatnya,” tegasnya.

Seperti diketahui, istilah state capture corruption pernah disampaikan Peneliti ICW Donald Fariz dalam sebuah pemberitaan media. Menurut Donald, state capture corruption merupakan modus baru koruptor yang tidak lagi menggunakan cara-cara konvensional dalam melakukan korupsi.
 
"Salah satu modus koruptor jenis baru adalah menguasai partai politik tertentu. Dengan demikian yang bersangkutan memiliki anggota yang berada di parlemen yang bisa mengakomodir kepentingan bisnisnya. Modus ini dinamai state capture corruption,” kata Donald beberapa waktu lalu.

Memunculkan persoalan

Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Wahyu Yun Santoso, mencatat sedikitnya ada 6 persoalan RUU Cipta Kerja terkait sektor lingkungan hidup. Pertama, penyederhanaan yang tidak rasional mulai dari naskah akademik. Kedua, kompleksitas adaptasi pengaturan. Ketiga, penghapusan izin lingkungan atas nama “kemudahan berusaha.” Keempat, pelemahan substansi dampak lingkungan. Kelima, pelemahan aspek pengawasan dan penegakan hukum. Keenam, pelemahan peran pemerintah daerah.

Wahyu menilai perizinan yang diatur dalam UU No.32 Tahun 2009 sudah relatif baik karena izin lingkungan mengintegrasikan berbagai izin. Izin lingkungan berfungsi sebagai penapisan awal terhadap dampak lingkungan. Karena itu, sebelum mengantongi izin usaha, perusahaan harus terlebih dulu mengurus amdal dan izin lingkungan. “Izin lingkungan itu sebagai pengunci sebelum terbit izin usaha,” paparnya.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung, Nadia Astriani, berpendapat melalui RUU Cipta Kerja pemerintah akan menerbitkan banyak diskresi untuk memuluskan jalannya investasi. Tapi pandangan pemerintah terhadap pembangunan menjadi sangat sempit karena fokusnya hanya ekonomi.

Tags:

Berita Terkait