Urgensi Pengambilalihan Kasus Pinangki
Kolom

Urgensi Pengambilalihan Kasus Pinangki

​​​​​​​Pengambilalihan dan/atau penyerahan kasus Jaksa Pinangki ke KPK malah meringankan beban Kejaksaan Agung apalagi saat ini Kejaksaan Agung tengah menangani beberapa kasus korupsi besar.

Bacaan 2 Menit

Ketiga, Kejaksaan Agung hingga kini masih berfokus soal dugaan penerimaan uang. Dari informasi yang ada, penyidik mengejar aliran uang (follow the money). Ini baik adanya. Tetapi jangan juga berkutat di situ saja. Semua informasi dan/atau petunjuk sekecil apapun yang timbul dalam pemberitaan skandal ini, patut digali. Jangan juga memberi rentang waktu terlalu lama. Kelengahan aparat adalah pintu keluar bagi pelaku kejahatan entah berlari, menghilang, atau melindungi diri.

Keempat, tertutupnya akses kepada Komisi Kejaksaan untuk memeriksa Jaksa Pinangki. Alasan Kejaksaan Agung bahwa yang bersangkutan telah diperiksa Bidang Pengawasan Kejaksaan Agung. Komisi Kejaksaan sejak awal mulai pro-aktif mengawal kasus ini. Menurut wewenang yang dimilikinya, Komisi Kejaksaan antara lain berwenang memanggil dan memintai keterangan kepada Jaksa dan pegawai Kejaksaan sehubungan dengan perilaku dan/atau dugaan pelanggaraan peraturan kedinasan Kejaksaan, atau melakukan pengawasan, pemantauan, dan penilaian terhadap sikap dan perilaku Jaksa dan pegawai Kejaksaan baik di dalam maupun di luar tugas kedinasan.

Mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung ini disebut-sebut telah melakukan 50 kali perjalanan ke luar negeri selama 2019–2020 tanpa izin atasan. Dengan indikasi ini sudah menjadi alasan yang cukup bagi Komisi Kejaksaan memeriksanya atau turut membongkar masalah ini sesuai area kewenangannya. Peranan ini sejalan dengan gagasan terbentuknya Komisi Kejaksaan.

Terbentuknya Komisi Kejaksaan tidak luput dari kondisi empiris institusi Kejaksaan dalam menjalankan tugas dan fungsi penegakan hukum. Di sisi yang lain lembaga ini masih diliputi berbagai permasalahan internal yang mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat. Abuse of power seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses penegakan hukum. Komisi Kejaksaan hadir dan dibentuk dengan harapan dapat mengawal proses penegakan hukum secara profesional dan berkeadilan, sekaligus mendorong pembenahan kelembagaan menjadi lebih akuntabel, transparan, dan sejalan dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik (lihat, Pultoni: 2017).

KPK Bisa Masuk

Dari penjabaran di atas, Penulis memandang kondisi saat ini membelenggu Kejaksaan Agung. Hal-hal di atas, bila ditelaah bersifat substansial. Kasus ini bukan tentang institusi Kejaksaan semata, tetapi nama penegakan hukum. Pengambilalihan dan/atau penyerahan kepada KPK adalah pilihan yang tepat.

Wewenang pengambilalihan kasus oleh KPK diatur dalam Pasal 10A ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurut Penulis, KPK bisa masuk dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam huruf d dan e. Ketentuan tersebut berbunyi: huruf d “penanganan Tindak Pidana Korupsi mengandung unsur Tindak Pidana Korupsi”; huruf e “hambatan penanganan Tindak Pidana Korupsi karena campur tangan dari pemegang kekuasaan eksekutif, yudikatif, atau legislatif.”

Pengambilalihan dan/atau penyerahan kasus Jaksa Pinangki ke KPK malah meringankan beban Kejaksaan Agung apalagi saat ini Kejaksaan Agung tengah menangani beberapa kasus korupsi besar. Lagi pula, KPK juga berwenang menangani perkara yang melibatkan Jaksa karena sebagai penegak hukum memang menjadi subyek penanganan KPK (vide, Pasal 11 ayat (1) huruf (a)). Sebaiknya, justru KPK yang tidak perlu menunggu alias pro-aktif saja mengambilalih.

Penulis kira dalil-dalil pengambilalihan sudah cukup. Dalam optik penegakan hukum obyektif, norma yang hendak ditegakkan mencakup pengertian formal dan materiil. Sederhananya, tidak hanya karena melanggar peraturan tertulis, tetapi juga nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat. Mudah-mudahan dengan mengambilalih, penyelesaian lebih menyeluruh, signifikan, dan mampu membersihkan semua yang terlibat.

*)Korneles Materay, peneliti hukum

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait