Urgensi Peraturan Daerah dalam Pengelolaan Zakat
Muhtar Sadili*

Urgensi Peraturan Daerah dalam Pengelolaan Zakat

Salah satu kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap orang muslim adalah mengeluarkan sebagian harta yang digunakan untuk membantu golongan ekonomi lemah.

Bacaan 2 Menit
Urgensi Peraturan Daerah dalam Pengelolaan Zakat
Hukumonline
Paradigma ini dibangun dari keberadaan syari'at Islam, yang menempatkan basis teosentris-humanisme -meminjam bahasa Kuntowijoyo-dalam setiap penentuan formulasi hukumnya. Hal ini telah mempertegas, bahwa penunaian zakat tidak semata wujud ketaatan seorang muslim terhadap perintah Allah SWT. Akan tetapi secara inhern, terkandung misi pengentasan kemiskinan untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur.
 
Fungsi zakat pada awal kerasulan lebih ditekankan pada kepedulian atas kesejahteraan masyarakat dalam tingkat regional. Dalam satu hadits diceritakan, ketika Muadz bin Jabal diutus ke Yaman, Nabi Muhammad SAW bersabda: "Ambillah sebagian harta orang-orang kaya dalam wilayah tersebut untuk dijadikan dana bantuan untuk orang-orang miskin dalam wilayahnya, selanjutnya (jika telah terpenuhi) bisa diberikan kepada orang miskin di wilayah lain". Hadits ini, menggambarkan tentang perhatian Islam terhadap upaya peningkatan taraf  hidup masyarakat berdasarakan asas teritorialnya. Sepanjang satu wilayah telah terbangun sistem ekonominya, maka yang perlu dilakukan pada waktu itu adalah upaya pemenuhan kebutuhan kelas dhu'afa  di wilayah tersebut.
 
Nampaknya, azas desentralisasi dalam paradigma zakat tersebut erat kaitannya dengan upaya pemberlakuan otonomi daerah belakangan ini. Pembangunan sentralistik yang terjadi pada masa Orde Baru, telah membidani lahirnya alternatif strategi pembangunan, menuju desentralisasi atas sumber daya ekonomi yang pada gilirannya akan melahirkan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Relasi paradigmatik ini, dalam sistem hukum nasional dipetakan dengan pemberlakuan UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Keduanya merupakan realisasi penataan sistem peraturan perundangan yang berbasiskan kesejahteraan rakyat, dan menjadi trade mark  rezim demokratis pasca rontoknya Orde Baru.
 
Relasi zakat dan Otonomi Daerah.
Integrasi zakat ke dalam otonomi daerah, sebenarnya merupakan pembumian Syari'at Islam terhadap realitas sosial yang berada dalam lingkungan masyarakat muslim. Adalah Kuntowijoyo yang membagi zakat ke dalam dua eskalasi (Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, Mizan 1998). Bagi dia, pemberlakuan zakat dalam konteks masyarakat modern bukan semata tuntutan basis subyektif-normatif syariat Islam yang menentukan kewajiban zakat, akan tetapi merupakan reaktualisasi dari basis obyektif-empiris. Karenanya, semua elemen masyarakat muslim  harus berusaha menjadikan zakat sebagai donasi pembangunan yang ditata dengan legislasi peraturan perundangan.
 
Sementara pada saat bersamaan telah lahir UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai regulasi untuk meningkatkan pemerataan ekonomi dan keadilan bagi rakyat Indonesia. Nah, dengan demikian pengelolaan zakat yang diatur dalam UU No. 38 tahun 1999 tidak bisa luput dari trade mark  arah  pembangunan dalam masa reformasi ini. Benang merah antara zakat dan  penyelenggaraan Otonomi Daerah meliputi proses demokratisasi, peran serta masyarakat, pemerataan keadilan, serta petensi keanekaragaman daerah.
 
Runutan proses tersebut dapat kita temukan pijakannya dalam UU No.38/1999 tentang Pengelolaan Zakat (UU Zakat), yang meliputi, Pertama : dalam pasal 6 dan 7 UU Zakat, ditentukan kewenangan Lembaga Pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah yang disebut dengan Badan Amil Zakat, sedangkan yang dibentuk atas prakarsa masyarakat dikenal dengan Lembaga Amil Zakat. Hal ini menyiratkan proses demokratisasi dalam pengelolaan zakat dengan melibatkan masyarakat dan pemerintah untuk mendayagunakan dana zakat.
 
Kedua, Peran serta masyarakat dalam pengelolaan zakat yang tadinya liar karena tidak diatur dengan peraturan perundangan, sekarang sudah tertata secara yuridis berdasarkan pasal 7 UU Zakat.
 
Ketiga, Dalam pasal 5 dijelaskan bahwa tujuan dari UU Zakat adalah upaya peningkatan fungsi dan peranan pranata keagamaan untuk  meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
 
Keempat, Dalam Keputusan Menteri Agama No. 581 Tahun 1999 (seterusya ditulis KMA) tentang pelaksanaan UU zakat, telah dijabarkan tentang fungsi Lembaga Pengelola Zakat (BAZ/LAZ) dalam tingkatan propinsi, kabupaten, dan kecamatan. Pengelolaan zakat seperti ini merupakan akomodasi dari keanekaragaman daerah dengan pembentukan LPZ dalam semua tingkatannya.
 
Peran Serta Pemda dan Masyarakat
Hanya saja, yang perlu diperhatikan sekarang ini adalah peran serta Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam melakukan pemberdayaan UU Zakat dan UU Pemerintahan Daerah. Artinya, keberadaan pasal 7 UU Zakat yang menentukan peran pemerintah berupa perlindungan, pembinaan, dan pengukuhan  harus difungsikan secara matang dan terorganisir. Keberadaan Lembaga Amil Zakat dan Badan Amil Zakat dalam tingkatan propinsi dan kabupaten terlihat belum menemukan pijakan yuridisnya berupa Peraturan Daerah.
 
Kebutuhan Regulasi Perda akan menjadi penting, mengingat potensi dana zakat, infaq, dan shadaqah (ZIS) dalam setiap daerah berbeda-beda. Karakteristik potensi dana ZIS tersebut harus mendapat pengaturan agar menjadikan sistem pengelolaan yang tepat sasaran. Idealnya,  pengelolaan zakat dapat menunjang kemandirian ekonomi daerah muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) untuk didistribusikan kepada mustahik (orang yang berhak menerima zakat) dalam wilayahnya. Inilah kata kunci dari integrasi zakat dalam era penerapan otonomi daerah yang sedianya diterapkan oleh pemerintahan daerah. Karena konsep zakat pada masa awal kerasulan merupakan tonggak pembangunan ekonomi kedaerahan yang utuh.
 
Basis subyek-normatif Hadits Nabi di atas adalah, menciptakan sistem ekonomi yang otonom, kalaupun ingin membantu masyarakat di luar daerahnya harus tetap mempertimbangkan batas maksimum kesejahteraan masyarakat. Nantinya, pendayagunaan zakat akan mendorong sebuah peningkatan taraf hidup sesuai dengan tingkat kebutuhan masyarakat tanpa menggantungkan pada sistem setoran dan bantuan dari pusat.
 
Jurang Pemisah
Ketimpangan kesiapan pemerintah daerah dan pemberlakuan UU Zakat yang terjadi pasca tahun 2001 ini, terasa getarannya dalam Lokakarya Nasional tentang "Pemberdayaan UU No. 38 Tahun 1999 Untuk Meningkatkan Ekonomi Dalam Kerangka Otonomi Daerah". Acara ini diselenggarakan oleh Forum Zakat Nasional pada tanggal 18-20 September 2001 bersama Dompet Dhu'afa Republika, Bazis DKI Jakarta, Depag RI dan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) di Hotel Indonesia Jakarta. Sebagian besar peserta dari daerah, mempresentasikan tentang keberadaan pemerintah daerah yang belum bisa mengakomodir tentang keberadaan LPZ.
 
Jurang pemisah antara pelaksanaan UU Zakat dan realisasasi kewenangan pemerintahan daerah untuk mengatur kehidupan sosial keagamaannya, dikwatirkan akan menghambat fungsi LPZ yang diproyeksikan dalam UU Zakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Satu sisi LPZ telah diberikan kewenangan oleh pasal 8 UU Zakat untuk mendayagunakan dana Zakat, sementara pada sisi lain Pemda belum  mengatur hal tersebut. Padahal pada pasal 21 KMA No. 581  tahun 1999 telah menentukan Gubernur dan Bupati sebagai pihak yang bertanggungjawab atas perlindungan, pembinaan, dan pengukuhan atas LPZ yang telah dan atau akan muncul dalam wilayahnya.
 
Kondisi ini, pada satu sisi akan berdampak pada pelestarian peraturan perundangan Pemerintahan Daerah dan Zakat sebagai kumpulan pasal yang tumpul, dan pada sisi lain akan menghambat peningkatan pengelolaan zakat untuk menunjang kesejahteraan ekonomi di daerah. Jadinya, reformasi hukum yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat akan terhambat oleh pihak Pemda sendiri yang sedianya mem-back up implementasi peraturan perundangan tentang Pemerintahan daerah dan Zakat. Kemandegan regulasi Paraturan Daerah dalam menyongsong grand opening desentralisasi pembangunan berkaitan dengan optimalisasi dana zakat harus diselesaikan oleh kalangan DPRD bersama pemerintah dan masyarakat.
 
Pemda Cilegon bisa dijadikan contoh bagi Pemda lainya dengan Perdanya No. 4 Tahun 2001 Tentang zakat, Infaq, dan Shadaqah. Isinya cukup sistematis yang terdiri dari tujuan pengelolaan zakat menurut Syari'at Islam, sebagai peraturan lebih lanjut dari UU Zakat dan Pemerintahan Daerah, penjelasan tentang kewenangan LPZ untuk  menerima zakat serta menyalurkannya kepada orang miskin di wilayah Cilegon, dan mekanisme pengawasan LPZ oleh satu komisi yang dibentuk oleh Pemda bersama masyarakat.
 
Sebagai catatan akhir, korelasi paradigma zakat dan Otonomi Daerah secara telaah normatif (law in book) sebenarnya telah menemukan bentuknya yang sempurna, akan tetapi dalam realitas empiris (law in action) peran Pemerintahan Daerah terhadap pengelolaan zakat masih menyiratkan ketimpatan yuridisnya. Hal ini, harus menjadi agenda pemerintahan daerah tingkat I dan II yang diberikan kewenangan oleh KMA No. 581 tahun 1999 dalam menyongsong era otonomi daerah yang diproyeksikan oleh UU No. 22 Tahun 1999. Nantinya, orang miskin dalam wilayah propinsi dan kabupaten akan dibantu penanganannya oleh setiap LPZ yang berada dalam wilayahanya. Wa Allahu 'alam bi al-shawab
Tags: