UU Pemberantasan Tindak Korupsi Dinilai Banci
Berita

UU Pemberantasan Tindak Korupsi Dinilai Banci

Jakarta Hukumonline. Indonesia mendapat predikat sebagai negara terkorup di Asia (nomor tiga di dunia). Namun upaya pemberantasan korupsi tidak sungguh-sungguh. Bahkan, UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinilai ‘banci'!

Oleh:
Inay/APr
Bacaan 2 Menit
UU Pemberantasan Tindak Korupsi Dinilai Banci
Hukumonline
Teten Masduki, dari Indonesian Corruption Watch (ICW) menilai UU No.31 Tahun 1999 itu ‘banci'. Pasalnya, masyarakat harus hadir dalam proses penyidikan dan penyelidikan. Padahal masyarakat tidak mempunyai akses untuk membuktikan, cetusnya pada sebuah seminar tentang korupsi di Jakarta pada 26 Juli 2000.

Pada pasal 41 (1) disebutkan bahwa masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.. Hal ini, dinyatakan dalam Pasal 41 (2), diwujudkan dalam bentuk hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi.

Masyarakat (seperti dimaksud dalam Ayat 1 Pasal 41) mempunyai hak tanggung jawab dalm upaya mencegah dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Teten melihat masyarakat masih takut untuk membongkar korupsi tanpa ada bukti yang jelas. Apatisme masyarakat terhadap korupsi harus dihilangkan, katanya. Oleh karena itu masih diperlukan lembaga seperti ICW.

Menurut Teten, pembuktian korupsi mestinya dilakukan secara terbalik. Pejabat kaya harus membuktikan dari mana mendapatkan kekayaaanya. Ia memberi contoh mantan Jaksa Agung Andi Ghalib. Dalam lima bulan pendapatan Rp15 miliar, padahal gajinya hanya Rp7,5 juta sebulan.

Sangat parah

Teten melihat korupsi di Indonesia sangat parah karena ada di tiga tempat: korupsi di birokrasi, korusi di politik, dan korupsi di lembaga peradilan. Korupsi di Indonesia sulit diberantas karena kejaksaan dan peradilan yang seharusnya mengontrol juga korup.

Di zaman Orde Baru, korupsi dibungkus dengan aturan-aturan seperti Keppres dan Kepmen. Selama ini tidak ada konglomerat tanpa dukungan pemerintah. Perusahaan multinasional juga harus menggandeng Cendana untuk mendapatkan kontrak yang besar.

Sayangnya, menurut Teten,. Gus Dur tidak melakukan langkah radikal intuk mereformasi peradilan karena rezim lama masih kukuh di parlemen dan partai politik (parpol). Partai besar mendapat uang dari pengusaha yang ingin dilindungi kejahatannya.

Teten berpendapat, Gus Dur seharusnya melakukan dua langkah untuk memberantas korupsi. Pertama mengadili pemimpin lama yang korupsi. Ini untuk memutus rezim sekarang dengan rezim dulu. Kedua, kebijakan cuci gudang, pejabat yang lama harus diganti.

Sosiolog dari Universitas Indonesia, Sartono Jatiman, malah berpendapat tidak ada ada kosa kata korupsi dalam bahasa Indonesia. Pasalnya, kata corrupt berasal dari bahasa asing. Jika dalam masyarakat tidak ada kosa kata berarti tidak ada konsep. Barangkali itu akar masalahnya, kata sartono.

Menurut Sartono, selama ini banyak orang tidak bisa membedakan antara hadiah dan korupsi. Padahal orang tidak akan memberi hadiah kalau bukan pejabat. Korupsi belum menjadi gerakan sosial, kita baru sampai pada tahap diskusi-diskusi., tandasnya.

Di mata Sartono, secara sosilologis korupsi belum dianggap sebagai kejahatan dan malah bila perlu dibagi-bagi. Korupsi masih dinilai dari jumlah yang dikorupsi, bukan dari perbuatan korupsinya. Kita harus membuat agar korupsi menjadi public enemy.

Kepastian hukum

Hendardi, Ketua Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), menyatakan bahwa Indonesia bukan hanya menduduki nomor tiga negara paling korupsi. Lebih dari itu, Hendardi melihat korupsi di Indonesia tanpa pelaku. Karena di penjara tidak ada koruptor, ujarnya..

Menurut Hendardi, sumber dari segala sumber korupsi adalah Orde Baru. Orde Baru secara sengaja membangun sistem untuk kepentingan mereka. Orde Baru merupakan mesin penggerak korupsi, katanya. Orde Baru mengelola perekonomian internasional dengan pola patronase bisnis. Pengusaha sangat bergantung kepada patron politik dan bisnis besar yang berkerumun di Cendana.

Hendardi berpendapat, persoalannya adalah karena kepastian hukum belum ada di Indonesia. Sementara kepastian hukum bersumber pada kepastian politik. Jika transisi demokrasi tidak dilanjutkan, kepastian hukum tidak pernah ada. katanya. Kontrol publik tidak hanya pada pemerintah melainkann juga pada parlemen dan partai politik.
Tags: