Wamenkumham: Jika RKUHP ‘Diketok’ Tak Ada Lagi Polemik UU ITE
Berita

Wamenkumham: Jika RKUHP ‘Diketok’ Tak Ada Lagi Polemik UU ITE

Karena ketentuan pidana dalam UU ITE sudah dimasukkan dalam KUHP. Tapi, Koalisi Masyarakat Sipil mengusulkan dalam Peraturan Peralihan RKUHP, pemerintah dan DPR dapat mengatur pencabutan delik-delik yang ada dalam UU ITE setelah direvisi nanti dan memindahkannya dalam KUHP yang baru.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi pembahasan RUU. Hol
Ilustrasi pembahasan RUU. Hol

Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Prof Edward Omar Sharif Hiarej, menegaskan pemerintah serius untuk merevisi UU ITE. Tim yang dibentuk untuk mengkaji revisi UU ITE masih bekerja menghimpun masukan dari masyarakat. Di sisi lain, kata Edward, saat ini pemerintah terus melakukan sosialisasi terkait materi muatan Revisi KUHP (RKUHP).

Menurutnya, polemik dan perdebatan tentang UU ITE tidak terjadi jika RKUHP sudah “diketok” (disahkan, red) karena ketentuan pidana dalam UU ITE sudah dipindahkan dalam RKUHP. “Maka tidak ada lagi perdebatan soal UU ITE karena semua ketentuan pidana dalam UU ITE sudah dimasukan dalam KUHP,” kata Edward dalam webinar bertajuk “Revisi UU ITE”, Rabu (10/3/2021) kemarin. (Baca Juga: Wamenkumham: Pemerintah Bersungguh-sungguh Mau Merevisi UU ITE)

Edward menerangkan ketika ketentuan pidana UU ITE masuk dalam KUHP, maka tidak ada lagi disparitas dan diskriminasi dalam pelaksanaannya. Selama ini pelaksanaan pidana UU ITE banyak dikeluhkan karena dianggap ada diskriminasi jika menggunakan ketentuan dalam KUHP yang berlaku saat ini karena dianggap sanksinya lebih ringan daripada UU ITE. Misalnya, dalam ketentuan UU ITE ada yang ancaman pidananya 6 tahun, sehingga bisa dilakukan penahanan.

“Maka ini ketika RKUHP disahkan tidak ada lagi terjadi polemik,” katanya.

Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus Napitupulu, menilai salah satu alasan pemerintah tidak memasukan revisi UU ITE dalam Prolegnas Prioritas 2021 karena pemerintah masih melakukan sosialisasi RKUHP. Erasmus menyebut Koalisi Masyarakat Sipil sepakat kodifikasi dalam konteks beberapa tindak pidana yang sifatnya konvensional (cyber-enable crimes) dalam UU ITE cukup diatur dalam KUHP, tidak perlu diatur kembali di UU ITE.

“Tapi dalam konteks urgensi perubahan UU ITE, Koalisi menilai langkah mundur jika menjadikan RKUHP sebagai alasan untuk tidak memasukan revisi UU ITE dalam Prolegnas,” kritiknya.  

Erasmus mencatat sedikitnya 2 hal penting terkait revisi UU ITE. Pertama, tidak ada kejelasan pembahasan RKUHP dan konsentrasi pembahasan bisa terpecah. Materi muatan RKUHP sangat luas tak hanya terkait transaksi dan informasi elektronik. Sementara materi muatan UU ITE hanya sebagian kecil dan sebelumnya tidak pernah terjangkau secara komprehensif dalam pembahasan RKUHP.

Kedua, mengingat pentingnya revisi UU ITE, pembahasan revisi UU ITE dan RKUHP bisa dilakukan beriringan seperti yang pernah dilakukan tahun 2016 dimana pemerintah dan DPR melakukan revisi ITE dan saat bersamaan membahas RKUHP. Ketika itu pemerintah tidak mencabut materi muatan tindak pidana dalam UU ITE yang diatur RKUHP. Pada tahun 2016 revisi UU ITE “diketok”, tapi RKUHP kandas pada 2019 karena substansinya dinilai masih bermasalah.

Untuk itu, Koalisi Masyarakat Sipil mengusulkan dalam Peraturan Peralihan RKUHP, pemerintah dan DPR dapat mengatur pencabutan delik-delik yang ada dalam UU ITE setelah direvisi nanti dan memindahkannya dalam RKUHP atau KUHP yang baru. “Ini adalah solusi yang sangat sederhana dan dapat dilakukan pemerintah tanpa perlu mengorbankan urgensi revisi UU ITE, mengingat korban UU ITE terus berjatuhan,” kata Erasmus ketika dikonfirmasi, Senin (15/3/2021).

Sebelumnya, Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan pentingnya resultante (kesepakatan) baru pada KUHP yang telah digunakan sejak masa kolonial Belanda. Dia menilai sudah saatnya KUHP yang sudah berumur lebih dari 100 tahun itu diubah. “Ketika terjadi proklamasi berarti terjadi perubahan masyarakat kolonial menjadi masyarakat merdeka. Masyarakat jajahan menjadi masyarakat yang tidak terjajah lagi. Nah, maka seharusnya hukumnya harus berubah,” ujarnya sebagaimana dikutip laman polkam.go.id, Kamis (4/3/2021) lalu.

Mahfud mencatat upaya melakukan perubahaan terhadap KUHP sudah mulai dilakukan sejak 60 tahun lalu, tapi sampai sekarang tak kunjung berhasil. Beberapa hal yang menjadi tantangan antara lain tidak mudah untuk membuat hukum yang sifatnya kodifikasi dan unifikasi karena masyarakat Indonesia sangat plural. Tapi dia yakin RKUHP bisa segera disahkan.

Tags:

Berita Terkait