Warga NTB Gugat Menkeu Soal Newmont
Berita

Warga NTB Gugat Menkeu Soal Newmont

Pembelian divestasi saham oleh Pemerintah Pusat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum.

Oleh:
MVT/IHW
Bacaan 2 Menit
Warga NTB gugat Menkeu soal Newmont. Foto: Sgp
Warga NTB gugat Menkeu soal Newmont. Foto: Sgp

Sekelompok orang dari Masyarakat Sipil untuk Kesejahteraan Rakyat (MSKR) NTB mengajukan gugatan warga negara (Citizen Law Suit) atas pembelian divestasi saham PT Newmont oleh pemerintah pusat.  Mereka meminta pembelian itu dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Pemerintah membeli tujuh persen saham PT Newmont Nusa Tenggara. Pembelian ini merupakan tahap akhir dari kewajiban divestasi saham perusahaan tambang mineral itu sesuai Pasal 24 Kontrak Karya Tahun 1986.

Menurut Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu Hadiyanto, pembelian saham ini dilakukan melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP). Hadiyanto mengatakan, pembelian saham oleh pemerintah ini dilandasi kepentingan untuk membangun pengawasan industri mineral tersebut.

“Pemerintah merupakan pihak dalam kontrak karya, sehingga pengawasan lebih efektif. Dengan demikian, kita harapkan iklim investasi bisa lebih baik,” lanjutnya.

Ulung Purnama, kuasa hukum MSKR, menuding pengambilalihan tersebut melanggar hak atas informasi, prinsip pengelolaan anggaran dan keuangan negara, serta otonomi daerah. Karena itu, mereka menggugat Menteri Keuangan Agus Martowardoyo dan Kepala Pusat Investasi Pemerintah Soritaon Siregar. Gugatan ini juga menyertakan PT Newmont dan Newmont Mining Corporation sebagai turut tergugat.

“Pengambilalihan oleh pemerintah pusat ini justru tidak memberikan dampak signifikan bagi kehidupan ekonomi masyarakat NTB,” tegasnya kepada hukumonline ketika mendaftarkan gugatan, Senin (6/6).

Menurut Ulung, pembelian ini setidaknya melanggar beberapa peraturan perundang-undangan. Yaitu Pasal 3 ayat (1) UU No 17 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Keuangan Negara. Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) jo Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

“Pengambilalihan itu tidak mensinergiskan hubungan saling terkait antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam hal pembagian urusan,” katanya.

Karena itu, MSKR meminta pengadilan memerintahkan pemerintah pusat mengembalikan tujuh persen saham tersebut kepada Pemda NTB atau badan hukum yang ditunjuk Pemda NTB. Mereka meminta pembelian itu dinyatakan tidak sah serta tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum.

“Dikembalikan agar program-program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat segera terlaksana demi meningkatkan kesejahteraan rakyat NTB,” ujarnya.

MSKR juga meminta para tergugat mengganti rugi materil dan immateril yang diderita selama pengambilalihan saham tersebut. Besarnya AS$246,8 juta dan Rp1 triliun. “Kami minta diganti secara tanggung renteng,” jelas Ulung tanpa menjelaskan lebih lanjut dasar perhitungan biaya ganti rugi itu.

Uniknya, MSKR juga meminta para tergugat untuk meminta maaf melalui lima media massa cetak nasional selama tujuh hari berturut-turut. “Format dan isinya nanti akan kami tentukan,” ujarnya.

Dihubungi terpisah, Kepala Biro Bantuan Hukum Kemenkeu Indra Surya mengaku belum tahu gugatan ini. Karena itu, Indra belum dapat menyampaikan langkah Kemenkeu untuk menghadapi gugatan ini. “Saya belum tahu ada gugatan itu. Jadi, nanti dilihat dulu,” ujarnya via pesan singkat kepada hukumonline.

Tags: