Waspadai Judicial Corruption dalam Sengketa Pemilukada
Fokus

Waspadai Judicial Corruption dalam Sengketa Pemilukada

Masyarakat diminta tetap mempercayai Mahkamah Konstitusi, sekaligus terus bersikap kritis.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Terkuaknya kasus dugaan mafia perkara di Mahkamah Konstitusi<br> membuat publik tersentak. Foto: Sgp
Terkuaknya kasus dugaan mafia perkara di Mahkamah Konstitusi<br> membuat publik tersentak. Foto: Sgp

Terkuak kasus dugaan mafia perkara di Mahkamah Konstitusi (MK) membuat publik tersentak. Sulit dibayangkan seperti apa hukum di negeri ini jika MK - lembaga yang dinilai masih bisa diberi kepercayaan lebih dibanding lembaga penegak hukum lain – sudah mulai “masuk angin”. Munculnya dugaan suap di MK itu bermula dari tulisan Refly Harun di Harian Kompas edisi 25 Oktober 2010 berjudul “MK Masih Bersih?” yang membuat para hakim MK terusik.

 

Betapa tidak, dalam tulisan itu Refly menguak dugaan praktek jual-beli perkara sengketa pemilukada yang menyeret panitera dan hakim konstitusi. Salah satunya, Refly mengaku melihat uang dolar senilai satu miliar rupiah yang akan diserahkan kepada hakim MK terkait sengketa Pemilukada Simalungun, Sumatera Utara. Bak gayung bersambut, Ketua MK Moh. Mahfud MD membentuk Tim Investigasi MK yang diketuai langsung oleh Refly untuk mengungkap dugaan suap itu.

 

Sebulan lebih bekerja, Tim Investigasi yang diisi Adnan Buyung Nasution, Bambang Widjojanto, Saldi Isra, dan Bambang Harymurti belum menemukan adanya dugaan suap yang mengarah hakim konstitusi M. Akil Mochtar. Namun, ditemukan upaya penyuapan yang dilakukan Panitera Pengganti MK Makhfud, yang mengaku menerima uang Rp35 juta dari Dirwan Mahmud, calon Bupati Bengkulu Selatan, untuk memenangkan perkara yang melibatkan putri dan ipar M. Arsyad Sanusi, Neshawati dan Zaimar.

 

Kedua kasus ini bermuara ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian. Pangkal laporan adalah dugaan percobaan penyuapan/pemerasan yang melibatkan Akil dan Bupati Simalungun JR Saragih dan dugaan penyuapan yang melibatkan Makhfud dan Dirwan. Hingga kini pihak KPK masih terus menyelidiki dan mendalami kasus dugaan suap ini.

 

Hingga terbentuknya Majelis Kehormatan Hakim (MKH) di MK, dugaan suap yang mengarah ke Akil belum bisa dibuktikan. Akil telah dinyatakan lolos dari dugaan pelanggaran etik. Sementara hakim konstitusi Arsyad Sanusi dinilai terbukti melanggar etik karena dianggap “membiarkan” Neshawati berhubungan dengan pihak yang berperkara di MK.

 

Saat bersamaan, Arsyad menyatakan mundur sebagai hakim konstitusi. Efeknya, putusan MKH ini bakal digugat secara perdata oleh Neshawati lantaran tak terima dituding secara aktif mengenalkan Dirwan kepada Makhfud terkait pemenangan perkara pengujian UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda.      

 

Sebelumnya, MK pernah diterpa isu tak sedap yang melibatkan oknum pegawai. Seperti kasus cek bodong di Koperasi Konstitusi yang menuai gugatan perdata dan juga proses pidana. Seorang pengusaha bernama Tamrin Sianipar merasa ditipu saat menerima cek kosong senilai Rp4,2 miliar dari Koperasi Konstitusi lewat manajernya Hendani atas pengembalian dana sejumlah proyek di MK. Sejak kasus ini mencuat Juni 2010 lalu, Hendani belum diketahui keberadaannya.         

 

Selain itu, mantan Panitera MK Zainal Arifin Hoesein telah ditetapkan sebagai tersangka karena diduga memalsukan surat terkait isi putusan MK pada Oktober 2010 lalu. Ia diduga telah memasukkan keterangan palsu dalam surat MK yang dikirim ke KPU terkait pelaksanaan putusan MK No. 80/PHPU.C-VII/2009 tentang Perselisihan Hasil Pemilu Legislatif yang diajukan oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 2009 lalu. Belakangan kasus ini telah di-SP3 oleh Mabes Polri.

 

Keseriusan MK dalam menuntaskan kasus dugaan suap itu patut diapresiasi terlepas ada tidaknya praktek suap itu. Tantangan mundur Mahfud dari jabatan Ketua MK merupakan bukti nyata jika dugaan suap yang mengarah ke hakim MK benar-benar terjadi. Sikap ini seyogyanya dapat menjadi contoh bagi lembaga negara yang lain saat menghadapi kasus serupa dengan memberi ruang bagi publik untuk mengungkap kasus (korupsi) yang melibatkan pejabatnya.

 

Meski isu suap ke hakim MK belum bisa dibuktikan, mestinya Mahfud tak perlu gengsi atau malu untuk mengakui bahwa lembaga yang dipimpinnya tidak bersih seratus persen dari suap. Fakta konkret dapat dilihat dari pengakuan panitera, Makhfud, yang menerima uang sebesar Rp35 juta dari Dirwan terkait pengujian UU Pemda yang kebetulan ditangani Arsyad.     

 

Pemandangan tak sedap itu tentunya membuat kredibilitas MK dipertanyakan publik yang tak pernah kita temui pada MK era kepemimpinan Jimly Assiddiqie. Hal itu diakui mantan Wakil Ketua MK, era Jimly, Laica Marzuki saat dihubungi hukumonline beberapa waktu lalu. Ia menilai berbagai peristiwa yang menyudutkan MK tak lain merupakan dinamika yang berkembang. “Memang dinamika ini lebih ke arah negatif. Semua itu ibarat MK sedang mengarungi samudra yang bergelombang yang akan oleng di tengah laut. Tetapi saya tidak menganggap MK saat ini berada pada titik nadir atau bobrok,” kata Laica.

 

Meski demikian, ia berharap dan meminta masyarakat tetap percaya kepada MK meski sudah terjadi kasus-kasus seperti itu. “Saya kira keseriusan MK juga patut diapresiasi karena MK selama ini cukup berusaha terutama dalam menuntaskan kasus suap di MK,  seperti telah membentuk Majelis Kehormatan Hakim dan itu sudah selesai,” katanya.

 

Ia meyakini MK akan terus berlayar membawa misinya untuk mengawal konstitusi. Karena itu, hendaknya para pencari keadilan tetap memberikan kepercayaan penuh kepada MK. Namun, ia meminta masyarakat tetap bersikap kritis ketika MK dinilai menyimpang dari misinya itu. “Bagaimananapun MK milik kita semua,” ujar pria yang juga mantan hakim agung itu.

 

Celah Judicial Corruption

Sementara menurut seorang sumber yang sering berpraktik di MK menilai sejak diberi kewenangan memutus sengketa hasil Pemilukada atau Pemilu, MK mulai rentan disusupi judicial corruption. Sementara perkara pengujian undang-undang dan sengketa kewenangan antar lembaga relatif bersih dari isu suap. “Dua sengketa itu dianggap tidak ada duitnya, tetapi sengketa Pemilu terutama Pemilukada orang bersedia mau bayar. Disinilah muncul godaan kenapa isu judicial corruption mulai merasuk ke MK,” katanya.    

 

Dalam sengketa Pemilukada yang begitu banyak itu, ia melihat pihak yang kalah maupun yang menang dalam ajang Pemilukada sangat berpeluang untuk berkolusi ketika bersengketa di MK. Sebab, dimungkinkan pemenang Pemilukada merasa khawatir/takut kemenangannya dibatalkan. “Jangankan pihak yang kalah, pihak yang menang takut dibatalkan kemenangannya, meski perbedaan hasil perolehan suaranya signifikan sekalipun. Sebab, MK selalu punya alasan kuat untuk menolak atau mengabulkan permohonan sengketa Pemilukada.”

 

Seperti diketahui, sebagian besar ajang Pemilukada kerap diwarnai praktek money politic. Sementara dalam kebiasaan putusan MK, meski money politic benar-benar terjadi di beberapa tempat tidak serta merta langsung bisa membatalkan hasil Pemilukada karena dianggap tidak signifikan mempengaruhi hasil Pemilukada. Begitu juga sebaliknya, jika money politic terjadi secara terstruktur dan masif, MK bisa langsung membatalkan hasil Pemilukada.

 

Ia mengilustrasikan jika seorang calon bupati/gubernur terpilih yang sudah habis miliaran rupiah untuk memenangkan Pemilukada, tentunya tidak mau begitu saja kemenangannya dibatalkan oleh MK. Dalam kondisi ini, tak tertutup kemungkinan terjadi politik “injak kaki” ketika pemenang Pemilukada secara tidak langsung ditakuti-takuti oknum tertentu untuk menganulir kemenangannya lewat pemungutan suara ulang. “Ini bisa menjadi entry point atau celah terjadinya judicial corruption."

 

Kata lain, keadilan substantif yang dianut MK lewat putusannya itu, berbahaya jika dijalankan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Pasalnya, saat ini cenderung penyelesaian sengketa Pemilu atau Pemilukada tidak memiliki ukuran yang jelas. Berbeda dengan era Jimly yang hanya terbatas memutus sengketa kesalahan hasil perhitungan perolehan suara.

 

Jika ada money politic atau pelanggaran pidana Pemilu lainnya, hal itu merupakan kewenangan peradilan umum, bukan kewenangan MK era itu. Doktrin ini mulai ditinggalkan pascaputusan Pemilukada Jawa Timur yang memerintahkan pemungutan suara ulang karena terjadi pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif.

 

Di satu sisi itu bagus. Tetapi di sisi lain, lantaran tidak ada ukuran mengakibatkan setiap putusan hasil sengketa Pemilukada sesuai selera hakimnya dan selalu ada alasan kuat untuk menolak atau mengabulkan permohonan. Seperti kasus putusan sengketa Pemilukada Kota Waringin Barat (Kobar) yang hingga kini masih debatable. “Ini yang membedakan dengan pengadilan umum yang putusannya terkadang tak logis”.                

 

Ia menyarankan agar rekrutmen hakim MK harus diperbaiki dengan melarang orang-orang partai politik menjadi hakim konstitusi agar tidak terjadi conflict of interest (konflik kepentingan) ketika ada sengketa Pemilu atau Pemilukada. 

 

Kedua, hakim konstitusi harus membatasi pergaulan dengan pihak lain termasuk membatasi memberikan statement ke publik. Ketiga, selain hakim MK harus kembali diawasi Komisi Yudisial (KY), pers dan masyarakat juga harus kritis dalam mengawasi kinerja MK. Keempat, adanya revisi hukum acara sengketa Pemilu/Pemilukada dengan memperjelas/memastikan definisi “hasil penghitungan suara”.           

 

Tidak hanya Pemilukada

Sebagaimana pernah dikeluhkan Mahfud sendiri isu suap/korupsi yang melanda MK belakangan ini terjadi pada sejumlah kasus Pemilukada. Disinyalir banyaknya mafia perkara yang berkeliaran di MK yang mengaku memiliki akses dengan hakim konstitusi dan pegawai MK untuk memenangkan perkara dengan tarif tertentu. Seperti pernah terungkap dalam sidang dalam kasus sengketa Pemilukada Keerom, Papua.

 

Modusnya, pihak berperkara mengaku pernah membayar Rp20 miliar lewatnya pengacaranya. Uang sebesar Rp6 miliar untuk pengacaranya, sisanya untuk hakim konstitusi. Bahkan Mahfud mengaku pernah menerima short message service (sms) dari pihak yang berperkara terkait Pemilukada Bintuni, Papua yang menyatakan dirinya mengaku diminta uang oleh pegawai MK sebesar Rp15 juta. Namun, saat diklarifikasi  kedua kasus itu tidak bisa dibuktikan secara hukum.

 

Rentannya isu suap dalam perkara sengketa Pemilukada sangat beralasan. Sebab, perkara sengketa Pemilukada termasuk sengketa Pemilu Legislatif berhubungan dengan menang atau kalah pihak yang bersengketa. Hal ini sangat identik dengan kekuasaan dan uang, sehingga si calon kepala daerah kerap berusaha atau kasak-kusuk bahkan cenderung  menghalalkan segala cara untuk menduduki kursi empuk kepala daerah seperti dalam kasus Dirwan.

 

Meski demikian, bukan berarti perkara pengujian undang-undang tidak rentan isu suap. Sepanjang pasal-pasal yang dimohonkan pengujian ke MK terkait dengan kekuasaan juga rentan terhadap suap. Contoh konkret kasus Dirwan, ketika ia bersama Hartawan terpilih sebagai kepala daerah dalam Pemilukada Bengkulu Selatan pada 2008 lalu. Namun, kemenangan itu dibatalkan MK lantaran Dirwan terbukti pernah dipenjara dengan ancaman hukuman di atas lima tahun.  

 

Pasal 58 huruf f UU Pemda melarang narapidana yang terjerat kasus pidana dengan ancaman hukuman di atas lima tahun untuk ikut Pemilukada. Selain membatalkan kemenangan Dirwan, MK juga memerintahkan Pemilukada Bengkulu Selatan diulang tanpa mengikutsertakan Dirwan dan pasangannya.

 

Berharap bisa ikut ajang Pemilukada, Dirwan mengajukan permohonan pengujian Pasal 58 huruf f. Sebelumnya syarat itu pernah diputus secara inkonstitusional bersyarat. Artinya, pasal itu dinyatakan inkonstitusional jika tak memenuhi empat syarat yang ditetapkan.

 

Empat syarat itu, pertama, tak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials). Kedua, berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama lima tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya. Ketiga, dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Keempat, bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.

 

Walhasil, permohonan Dirwan ditolak. Majelis beralasan larangan keikutsertaan Dirwan dalam pemungutan suara ulang juga tidak berarti mengurangi haknya untuk dipilih. Sebaliknya, guna menegakkan hukum atas putusan MK sebelumnya yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap itu.

 

Selain itu, berdasarkan catatan hukumonline ada sejumlah contoh kasus yang tengah berjalan di MK, yang pemohonnya mencoba mencari celah dan “berusaha” untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan dengan cara menguji undang-undang.   

 

Pemohon

UU yang Diuji

Posisi Kasus

Satono, Bupati Lampung Timur

Pasal 31 ayat (1) UU 
Pemda yang mengatur pemberhentian sementara kepala daerah karenadidakwa melakukan tindak pidana.

Satono merupakan terdakwa kasus dugaan korupsi dana APBD Lampung Timur sebesar Rp107 miliar yang telah diberhentikan sementara oleh presiden. Satono menganggap Pasal 31 ayat (1) UU Pemda melanggar asas praduga tak bersalah, sehingga ia merasa dirugikan dengan pasal itu.       

Linneke Syennie Watoelankow dan Jimmy Stefanus Wewengkang, Mantan pasangan kepala daerah Tomohon, Sulawesi Utara

Pasal 108 ayat (3), (4), dan (5) UU Pemda yang mengatur penggantian kepala daerah jika berhalangan tetap.

Pemenang Pemilukada Kota Tomohon 2010 yakni pasangan Jefferson S.M Rumajar dan Jimmy F Eman. Saat ini Jefferson menjadi tersangka dan ditahan oleh KPK terkait dugaan korupsi APBD Tomohon periode 2006-2008 yang merugikan keuangan negara sebesar Rp19,8 miliar. Sementara pemohon peraih suara terbanyak kedua.

Andi Maddusilla, Mantan Calon Bupati Gowa, Sulawesi Selatan

Pasal 61 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang mengatur“Sertipikat berbentuk ijazah dan sertipikat kompentensi.”

Ia merasa dirugikan dengan berlakunya pasal itu. Sebab, saat mencalonkan diri sebagai Bupati Gowa dan dinyatakan kalah, ia mengaku telah melengkapi syarat ijazah secara lengkap. Tidak demikian dengan pasangan lainnya yang cukup dengan surat keterangan pernah sekolah. 

Sugianto Sabran dan Eko Soemarno, mantan calon kepala daerah Kobar, Kalimantan Tengah

Pasal 106 ayat (1) dan (2) UU Pemda yang mengatur kewenangan MK yang hanya menyangkut hasil penghitungan suara.

Mereka menilai MK telah melampaui kewenangan mengadili karena sesuai Pasal 106 ayat (1), (2) UU Pemda MK hanya berwenang mengadili sengketa hasil penghitungan suara. Putusan Pemilukada Kobar yang mendiskualifikasi pemohon dan menetapkan pasangan lain (Ujang Iskandar-Bambang Purwanto) sebagai pemenang telah menimbulkan norma baru.      

 

Hendaknya, momentum pasca keputusan MKH yang “menvonis” Arsyad, menjadi pelajaran penting bagi MK untuk meningkatkan kembali kepercayaan publik sebagai pengadilan yang benar-benar tidak bisa dibeli. Salah satunya dengan memperkuat sistem pengawasan internal dan eksternal baik terhadap hakim konstitusi maupun pegawainya lewat revisi RUU MK, selain memberdayakan partisipasi publik untuk terus mengawasi kinerja MK.

 

Mahfud MD sendiri pernah mengatakan tidak ada jaminan ke depan MK tetap bisa dipercaya publik, sehingga ia pun menyambut baik jika suatu saat hakim konstitusi kembali diawasi KY meski harus dengan cara mengubah UUD 1945. Namun, Betapapun kuatnya sistem yang dibangun, masih berpotensi disusupi oknum-oknum mafia hukum yang bisa meruntuhkan tatanan sistem itu. Karena itu, dibutuhkan pula komitmen moral yang kuat bagi seluruh jajaran MK untuk menutup lubang-lubang terjadinya judicial corruption.

 

Semoga!!!

 

 

 

Tags: