Tommy memang tidak datang ke Kejari Jakarta Selatan pada Kamis (2/11). Hanya pengacaranya, yaitu Erman Umar, yang datang pada pukul 11.00, disusul oleh Nudirman Munzir sekitar 20 menit kemudian.
Kepada pers, Erman mengatakan: "Hari ini saya diutus oleh teman-teman pengacara untuk menyampaikan bahwa surat panggilan eksekusi oleh pihak kejaksaan kami anggap belum tepat. Sepanjang belum ada putusan resmi dari Presiden, kami menggangap penetapan penangguhan penahanan oleh pengadilan tetap berlaku."
Menurut Erman, UU Grasi sendiri menyatakan bahwa seseorang tidak dapat ditahan bila sedang mengajukan grasi dan penundaan eksekusi. Dalam kasus Tommy, penetapan pengadilan mengenai penangguhan penahanan sudah dikeluarkan.
Bila eksekutor bersikeras melakukan upaya paksa, menurut Erman itu sewenang-wenang, kecuali kalau grasi sudah keluar. "Saya kira kalau dilakukan upaya paksa. Padahal kami mengajukan PK dan juga grasi, apakah dengan pengajuan PK itu, grasinya dianggap gugur? Tentu saja kami mengganggap tidak," ujarnya
Perbedaan pendapat antara pihak Kejari dan pihak Tommy itu kembali ditegaskan oleh pengacara Tommy yang lainnya, Nudirman Munir. "Kami berpijak pada UU No. 3/1950 Pasal 3 ayat (1) dan putusan pengadilan negeri Jakarta Selatan tentang penundaan eksekusi," kata Nudirman.
Sementara menurut Nudirman, pihak dari Kejari berpijak pada KUHAP bahwa permohonan PK tidak menunda eksekusi. "Kami sepakat untuk meminta waktu dan mencoba merundingkan jalan keluar yang terbaik. Mudah-mudahan besok jalan keluar yang terbaik akan didapatkan," ungkapnya.
Meminta fatwa ke MA
Kemungkinan jalan keluarnya, menurut Nudirman antara lain, meminta fatwa ke MA. "Yang jelas Sekjen MA Pranowo sudah berpendapat, dengan adanya putusan PN yang menunda eksekusi, mbok ya kekuasaan kehakiman yang diberikan pada Pengadilan dihargai."