Urgensi Pengaturan Ombudsman dalam UUD 1945
Budhi Masthuri, S.H(*)

Urgensi Pengaturan Ombudsman dalam UUD 1945

Meskipun kerap memperoleh sambutan skeptis dari beberapa kalangan, tampaknya kini kehadiran Ombudsman di Indonesia mulai dibutuhkan masyarakat.

Bacaan 2 Menit
Urgensi Pengaturan Ombudsman dalam UUD 1945
Hukumonline
Ini ditandai dengan semakin kuatnya pengakuan dari masyarakat dan lembaga negara. Pengakuan masyarakat dapat dilihat dari banyaknya daerah yang mengharapkan terbentuknyaOmbudsman Daerah. Pengakuan lembaga negara dapat dilihat antara lain dari dukungan MPR dan DPR dalam memperkuat landasan hukum Ombudsman Republik Indonesia.

Sebagaimana kita ketahui bahwa Ombudaman Republik Indonesia adalah lembaga pengawasan masyarakat yang independen memiliki kewenangan melakukan klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan negara terkait dengan proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat. Produk yang dikeluarkan Ombudsman antara lain adalah rekomendasi, yaitu saran tertentu kepada Penyelenggara Negara dalam rangka melakukan perbaikan proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat. Rekomendasi yang dikeluarkan Ombudsman tidak mengikat secara hukum (non-legally binding), tetapi mengikat secara moral (morally binding).

Prinsip bahwa rekomendasi Ombudsman mengikat secara moral adalah berlaku universal. Dengan demikian efektifitas kerja pengawasan dari Ombudsman di Indonesia pada masa akan datang sangat ditentukan oleh empat hal. Pertama, ada tidaknya political will  penyelenggara negara melakukan perbaikan mutu pelayanan umum. Kedua, dukungan politik dari DPR dalam mengesahkan UU Ombudsman Republik Indonesia. Ketiga, dukungan konstitusional dari MPR dalam mengesahkan pengaturan Ombudsman dalam amandemen UUD 1945. Keempat, dukungan masyarakat termasuk Pers.

Sebagai lembaga pengawas eksternal yang independen, Ombudsman memiliki karakteristik yang relatif berbeda dengan pengawas-pengawas yang selama ini telah ada. Ombudsman memberikan peluang yang luas bagi terjadinya pelibatan partisipasi masyarakat dalam menentukan siapa pejabat pengawas yang mereka tunjuk dan patut dipercaya. Proses pemilihan anggota Ombudsman umumnya dilakukan melalui mekanisme yang partisipatif, transparan dan akuntabel. Hal ini penting, mengingat kecenderungan selama ini masyarakat kurang mempercayai independensi dari lembaga dan orang-orang yang ditunjuk oleh penguasa sebagai pengawas, baik di pusat maupun di daerah.

Karakteristik lainnya adalah bahwa Ombudsman berfungsi sebagai pemberi pengaruh (magistrature of influence) bukan pemberi sanksi (magistrature of sanction). Meskipun tidak dibekali atau tidak membekali diri dengan instrumen pemaksa (legally binding/sub poena power) pengaruh Ombudsman tetap sangat kuat. Ini disebabkan figur seorang Ombudsman yang benar-benar dapat dipercaya integritas, kredibilitas dan kapabilitasnya. Sebab, pemilihannya dilakukan melalui proses yang partisipatif, transparan dan akuntabel.

Pengaruh Ombudsman masuk melalui rekomendasi yang disusun dan diberikan kepada Penyelenggaraan Negara. Walaupun rekomendasi Ombudsman tidak mengikat secara hukum, bukan berarti dapat diabaikan begitu saja. Dalam hal ini Ombudsman memiliki mekanisme pelaporan kepada DPR. Untuk kasus-kasus tertentu yang signifikan dan krusial, melalui mekanisme yang tersedia, DPR juga dapat memanggil pejabat publik (eksekutif) atas tindakan pengabaiannya terhadap eksistensi dan rekomendasi Ombudsman.

Inilah sebabnya mengapa Ombudsman menjadi sangat penting di atur dalam Amandemen UUD 1945. Rekomendasi Ombudsman yang tidak mengikat secara hukum memerlukan landasan politis yang sangat kuat. Pencantuman Ombudsman dalam Amandemen UUD 1945 akan menempatkan keberadaan rekomendasi Ombudsman secara filosofis (sekaligus secara politis) bernilai tinggi. Sehingga meskipun tidak mengikat secara hukum tetap dipatuhi oleh Penyelenggara Negara. Saat ini lebih dari lima puluh negara telah mencantumkan pengaturan Ombudsman dalam konstitusi, antara lain Denmark, Finlandia, Filipina, Thailand, Afrika Selatan, Argentina, dan Meksiko. Ombudsman Thailand yang notabene usianya lebih muda dari KON, telah terlebih dahulu mencantumkan ketentuan tentang Ombudsman dalam Konstitusi Thailand.

Pengaturan Ombudsman dalam konstitusi (Amandemen UUD 1945) menjadi sangat penting bagi Anggota MPR 2004. Bagi negara yang menganut sistem presidensial seperti Indonesia, Ombudsman semestinya tidak hanya diatur dalam UU (apalagi Keputusan Presiden) tetapi sudah sepantasnya dipayungi dengan konstitusi. Di negara-negara yang menganut sistem Parlementer dan memilih bentuk Parliamentary Ombudsman, efektifitas Ombudsman juga sangat ditentukan dengan sistem check and balance yang berlaku antara legislatif dan eksekutif.

Dalam sistem parlementer, menteri bertanggung jawab kepada parlemen bukan kepada presiden. Sehingga, parlemen dapat sewaktu-waktu meminta pertanggungjawaban menteri. Dengan demikian menteri-menteri tersebut sangat menghormati (baca:menakuti) dan mematuhi rekomendasi Ombudsman yang notabene bertindak sebagai perpanjangan tangan parlemen dalam mengawasi proses-proses pemberian pelayanan umum penyelenggara negara.

Bagaimana dengan Ombudsman di negara yang menganut sistem presidensial seperti Indonesia? Tentu saja Ombudsman di Indonesia tetap memiliki peluang yang sama untuk memperoleh kepatuhan dan dihormati penyelenggara negara. Lebih-lebih apabila DPR dan MPR nantinya telah memperkuat landasan yuridis dengan mengesahkan UU Ombudsman Republik Indonesia, dan landasan konstitusional dengan mengesahkan pengaturan Ombudsman dalam Amandemen UUD 1945 sebagaimana telah diajukan Komisi Konstitusi.

Meskipun secara formal Indonesia menganut sistem presidensial, dalam prakteknya banyak mengadopsi prinsip-prinsip parlementarian. Apalagi nanti bila DPR telah mengesahkan RUU Lembaga Kepresidenan yang notabene akan memangkas  kekuasaan administratif presiden dan memberikan fungsi kontrol yang kuat kepada DPR, tentu Parliamentary Ombudsman  di Indonesia akan memiliki peluang signifikan dalam memainkan peran pengawasannya untuk mewujudkan good governance.

 

Dalam catatan Komisi Ombudsman Nasional (KON), setidaknya ada lebih dari dua puluh satu daerah yang berniat membentuk Ombudsman Daerah. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah satu diantara daerah-daerah yang telah menunjukkan keinginan kuat membentuk Ombudsman Daerah. Direncanakan, akhir tahun 2004 ini Yogyakarta telah memiliki Ombudsman daerah. Apabila KON dibentuk melalui Keputusan Presiden dengan mandat agar anggota menyiapkan draf RUU Ombudsman, nantinya Ombudsman Yogyakarta dibentuk dengan Keputusan Gubernur DI Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X dengan memberikan mandat yang sama kepada Anggota Ombudsman Yogyakarta untuk menyiapkan draf Rancangan Peraturan Daerah.

Dalam kondisi seperti ini, secara objektif Ombudsman di Indonesia sangat membutuhkan landasan yuridis yang memadai. Keputusan Presiden saja tidaklah cukup kuat dijadikan sebagai landasan yuridis keberadaan Ombudsman di Indonesia. Secara politis kedudukan Keputusan Presiden sangat rentan dan mudah dicabut. Ini mengakibatkan sebagian masyarakat meragukan independensi Ombudsman. Di sisi lain, penyelenggara negara juga menjadi kurang memberikan apresiasi kepada lembaga Ombudsman. Mereka menganggap mandat pengawasan yang diberikan kepada Ombudsman dasar hukumnya sangatlah lemah.

Landasan yuridis yang memadai menjadi penting karena akan memperkuat dasar operasional dan keberadaan Ombudsman di Indonesia. Badan Legislasi DPR telah menyelesaikan RUU Ombudsman Republik Indonesia dan menjadikannya sebagai RUU Usul Inisiatif DPR. Adapun Presiden Republik Indonesia saat ini sedang mempersiapkan Amanat Presiden terkait dengan pembahasan RUU Ombudsman Republik Indonesia dengan DPR. Sayangnya, Amanat Presiden dimaksud belum juga turun meskipun pengajuannya telah disampaikan oleh DPR beberapa bulan lalu.

Pengakuan terhadap keberadaan Ombudsman di Indonesia terus mengalir dan menjadi semakin kuat, khususnya setelah dimasukkannya pasal tentang Ombudsman Republik Indonesia dalam usul Amandemen UUD 1945 yang disusun Komisi Konstitusi. Sebelumnya MPR juga telah mengeluarkan Ketetapan MPR No. VIII Tahun 2001 berisi mandat agar DPR dan Eksekutif segera membuat UU yang mendorong proses pencegahan dan pemberantasan KKN, antara lain UU Ombudsman.

Usul pengaturan Ombudsman dalam Amandemen UUD 1945 oleh Komisi Konstitusi dimasukan dalam pasal Pasal 24 G ayat (1), berbunyi: Ombudsman Republik Indonesia adalah ombudsman yang mandiri guna mengawasi penyelenggaraan pelayanan umum kepada masyarakat. selanjutnya, ayat (2) berbunyi: Susunan, kedudukan dan kewenangan Ombudsman Republik Indonesia diatur dengan Undang-Undang.

Tags: