Apakah Menjebol Program Pengunci Tidak Bertentangan dengan Hukum?
Edmon Makarim(*)

Apakah Menjebol Program Pengunci Tidak Bertentangan dengan Hukum?

Sehubungan dengan pemberitaan di Harian Kompas 14 April 2005 lalu, ada beberapa hal yang cukup menarik untuk dikaji secara hukum.

Bacaan 2 Menit
Apakah Menjebol Program Pengunci Tidak Bertentangan dengan Hukum?
Hukumonline

 

Sesuai konsepsi HKI, kepemilikan atas barang bukanlah berarti kepemilikan atas hak objek immateriilnya sebagai intangible asset. Contohnya, jika kita membeli lukisan bukan berarti kita boleh menghapuskan coretan nama si pelukisnya atau merusak substansi lukisan tersebut dengan menambahkan atau mengurangi hal tertentu pada lukisan itu. Dalam hal pembelian komputer pribadi, kepemilikan perangkat keras juga bukan berarti memiliki perangkat lunaknya. Buktinya, untuk menjalankannya memerlukan lisensi penggunaan perangkat lunak aplikasinya. Contohnya adalah lisensi program aplikasi perkantoran Microsoft Office.

 

Demikian pula halnya dengan pembelian handset. Kepemilikan atas barang tersebut bukanlah berarti kepemilikan atas software yang ditanamkan di dalamnya. Walaupun handset telah dibeli dan hak atas perangkat keras telepon genggam tersebut telah beralih kepada si pembeli, akan tetapi hak atas program komputer pengunci (locking software) tersebut adalah tetap menjadi milik Produsen/Vendor, sehingga segala perubahan atas locking software tersebut tanpa izin adalah merupakan tindakan pelanggaran berdasarkan ketentuan UU Hak Cipta.

 

Kemudian sehubungan dengan hak ekonomis, apakah penjebolan tersebut dilakukan tanpa tujuan ekonomis? Apakah murni konsumen yang melakukannya ataukah pihak lain yang menawarkan jasa penjebolan itu dengan kompensasi nilai ekonomis tertentu? Jadi, apakah hal itu memang dilakukan demi kepentingan hak kebebasan untuk memilih dari konsumen ataukah hanya demi keuntungan segelintir pihak tertentu saja? Sadarkah kita bahwa selaku konsumen berdasarkan pasal 5 dan pasal 6 UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, kita juga diberikan amanat untuk menjalankan kewajiban kita selaku konsumen? Dengan kata lain konsumen juga harus menghormati hak pelaku usaha sepanjang usaha itu memang fair bagi semua pihak.

 

Ringkasnya, berdasarkan Pasal 24 dan Pasal 27 UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, khususnya perihal hak moral dan sarana kontrol teknologi, jelaslah bahwa tindakan penjebolan fungsi program pengunci (locking sofware) pada handset adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan Hak Cipta karena jelas-jelas telah melanggar hak moral (integritas ciptaan) dan hak ekonomis atas Ciptaan. Dan karena UU Hak Cipta mengatakan bahwa hak cipta dianggap sebagai barang bergerak maka dengan sendirinya tindakan yang merusak program itu adalah dapat dikatakan sebagai tindakan yang merusak barang, karena telah membuat program tadi menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dengan kata lain, program tadi telah menjadi rusak karena telah dimatikan dan tidak beroperasi lagi sebagaimana mestinya.

 

Perspektif Telekomunikasi

Selanjutnya, kita perlu memandang tindakan tersebut dalam perspektif hukum telekomunikasi. Pasal 2 UU No.36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (bagian azas dan tujuan), dinyatakan bahwa telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan azas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri. Selanjutnya Pasal 3 undang-undang yang sama jelas dinyatakan bahwa salah satu tujuan telekomunikasi adalah mendukung kehidupan ekonomi. Tidakkah timbul pertanyaan, apakah jasa penjebolan program kunci tersebut akan menumbuhkan kompetisi yang sehat untuk menumbuhkan industri telekomunikasi? Apakah para pelaku usaha setuju bawah hal tersebut sesuai dengan etika bisnis yang dijunjung tinggi, dan apakah sekiranya hal tersebut berakibat kerugian kepada pelaku usaha penyelenggara jasa telekomunikasi dikatakan sebagai tindakan yang dapat mendukung kehidupan ekonomi bangsa?

 

Kemudian, apakah tindakan tersebut bukan merupakan gangguan fisik dan elektromagnetik kepada penyelenggaraan jasa telekomunikasi? Sementara Pasal 38 UU Telekomunikasi tentang pengamanan telekomunikasi yang selanjutnya juga diuraikan dalam penjelasan pasal 78 PP No.52 Tahun 2002, menyatakan bahwa sarana dan prasarana telekomunikasi adalah meliputi hardware dan software.

 

Kemudian, apakah dapat dikatakan bahwa sistem dalam handset pengguna telepon adalah terlepas dari integritas sistem telekomunikasi. Padahal, sistem telekomunikasi sebenarnya adalah totalitas sistem dari sistem pengguna dan sistem operator dimana hal tersebut adalah merupakan satu kesatuan sistem yang mencakup alat, perangkat dan sarana serta prasarana telekomunikasi. Padahal software pada handset jelas akan berhubungan online dengan software pada sistem telekomunikasi operator. Jadi, tepatkah jika kita berpikir memisahkan perlindungan software berdasarkan UU Telekomunikasi hanya semata-mata ditujukan untuk sistem yang dikelola oleh operator saja, bukankah seharusnya ia mencakup perlindungan terhadap software yang tertanam pada handset?

 

Jadi jika kita hanya berpikir sempit, sekilas tindakan tersebut mungkin sulit untuk dikatakan sebagai tindakan yang dilarang berdasarkan Pasal 22 (manipulasi akses jasa atau jaringan telekomunikasi) dan Pasal 38 (gangguan fisik dan elektromagnetik) UU Telekomunikasi. Mengingat tindakan tersebut sepertinya tidak memanipulasi akses kedalam sistem telekomunikasi yang diselenggarakan oleh operator, melainkan hanya kepada perangkat handset tersebut. Padahal jika kita mencermati Pasal 78 PP No.52 Tahun 2000, jelas dinyatakan bahwa jenis gangguan telekomunikasi terdiri atas: (a) gangguan fisik yaitu gangguan secara fisik pada jaringan telekomunikasi, sarana dan prasarana telekomunikasi yang mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan telekomunikasi; dan (b) gangguan elektromagnetik yaitu gangguan secara elektromagnetik pada jaringan telekomunikasi dan atau sarana dan prasarana telekomunikasi yang mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan telekomunikasi.

 

Selanjutnya, Pasal 79 menyatakan pengamanan dan perlindungan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi dilaksanakan untuk mengamankan dan melindungi sarana dan prasarana telekomunikasi, jaringan telekomunikasi, sumber daya manusia dan informasi. Oleh karena itu, setiap gangguan terhadap sarana dan prasarana jaringan dan jasa telekomunikasi semestinya juga akan mencakup kepada setiap alat dan perangkat komunikasi yang secara keseluruhan berada dalam satu sistem telekomunikasi. Jadi tidak hanya kepada piranti lunak dalam lingkup pihak operator saja melainkan juga mencakup piranti lunak handset pengguna yang akan terkoneksi dengan sistem telekomunikasi tersebut.

 

Perlu juga dicermati, bagaimana sebenarnya kedudukan konsumen dalam konteks hubungan hukum bertelekomunikasi? Pasal 1 UU Telekomunikasi jelas menyatakan bahwa Pengguna dibedakan menjadi dua, yakni Pelanggan dan Pemakai. Terhadap Pelanggan, mekanisme penggunaannya adalah berdasarkan atas kontrak, sedangkan terhadap Pemakai mekanisme penggunaannya tidak berdasarkan atas kontrak.

 

Jadi, sekiranya terdapat klausul dalam perjanjian berlangganan yang meminta konsumen untuk menghargai locking software tersebut, tentunya adalah kewajiban bagi konsumen berdasarkan kontrak untuk turut menjaga keutuhan sistem tersebut. Ketidaksetujuan konsumen dan hak memilih konsumen tidak berarti konsumen dapat bertindak secara sepihak terhadap program pada handset tersebut.

 

Konsekuensi kepemilikan atas handset sebagai produk yang dilindungi oleh HKI, terlebih lagi jika ia diperoleh dengan cara subsidi dari operator, telah menjadikan konsumen tidak lagi dapat bertindak secara absolut sebagaimana kepemilikan atas barang lainnya. Mungkin akan lebih baik jika konsumen mengembalikan handset tersebut kepada operator yang bersangkutan dibarengi dengan kompensasi yang layak sebagai kontra-prestasinya. Sehingga, konsumen dapat segera membeli handset yang lain untuk berlangganan dengan operator yang lain. Tindakan ini adalah perwujudan itikad baik untuk sama-sama menghargai kepentingan semua pihak dan sesuai dengan hukum yang berlaku.

 

Sekiranya saja kita boleh menganalogikan suatu sistem sekuriti, laksana pagar sebagai batas dan sarana pengamanan halaman rumah kita. Maka, jika tidak pernah ada aturan tentang pembuatan standar pagar rumah, apakah si pemilik rumah harus dipersalahkan jika ada seseorang yang telah merobohkan atau merusak pagar tersebut dengan dalih karena pagar tersebut terbuat dari bambu? Yang manakah pihak yang salah sebenarnya, apakah yang punya pagar bambu atau pihak yang menerobos atau melanggar batas?

 

Dalam praktiknya tidak akan pernah ada jaminan keamanan 100 persen. Yang ada hanyalah upaya sistem pengamanan (security) dengan kemampuan yang sebaik-baiknya (best practices principle). Sistem hukum tentunya akan meletakkan eksistensi sistem pengamanan tersebut sebagai sesuatu hal yang dilindungi, karena rentan terhadap hal apapun untuk selalu diterobos. Jadi, janganlah dipersepsikan bahwa suatu pelanggaran hukum terjadi karena dimotivasi oleh rentannya sistem pengamanan. Sebab secara alami, setiap sistem pengaman tentunya akan selalu rentan untuk diterobos oleh orang yang telah bermotivasi jahat dari awalnya. Setiap orang yang mempunyai pengetahuan lebih tentunya akan selalu mempunyai kesempatan untuk melihat celah yang ada. Tinggal niatannya saja yang menentukan apakah si intelektual tersebut jahat ataukah tidak.

 

Perspektif Etika Bisnis dan Hukum Perikatan

Terakhir, kita perlu mengkajinya dalam perspektif etika dan hukum perikatan. Dalam sistem perdagangan, umumnya kita akan dibedakan menjadi konsumen (pengguna akhir) dan pelaku usaha. Selanjutnya pelaku usaha juga dapat dibedakan menjadi produsen dan kalangan profesional (contoh dokter, pengacara, akuntan). Dalam melakukan usaha, biasanya para pelaku usaha mempunyai code of conduct sebagai pernyataan hukum ataupun patokan bagi mereka untuk bertindak sesuai dengan etika bisnis dan sebagai upaya nyata untuk mematuhi hukum yang berlaku.

 

Hal ini sangat diperlukan oleh perusahaan agar sebagai suatu bentuk organisasi dan manajemen yang terdiri dari banyak orang, maka sepatutnya kesalahan individual tidak ditimpakan sebagai suatu kesalahan kolektif yang akan ditanggung oleh perusahaan sebagai satu subjek hukum mandiri.

 

Dalam konstelasi hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen, idealnya berlaku strict liability dimana setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab terhadap produk barang dan jasa yang ditawarkannya kepada konsumen. Jika ia produsen, maka harus bertanggung jawab terhadap cacat produknya (product liability), dan terhadap kalangan profesional ia harus bertanggung jawab terhadap substansi pengetahuannya (intellecutal liability) yang dikemasnya sebagai jasa kepada konsumen. Konsekuensinya, akibat hukum yang terjadi pada konsumen harus dapat dimintakan pertanggung jawabannya kepada pelaku usaha.

 

Satu contoh sebagai suatu ilustrasi. Jika kita pergi ke dokter, maka dokter menjadi tahu tentang diri kita dan ia terikat pada sumpah profesinya untuk tidak menceritakannya kepada orang lain dan tidak melakukan apapun yang dapat merugikan kita dan tentunya ia juga akan bertanggung jawab terhadap dampak pengobatan yang diberikannya kepada kita. Lantas, jaminan apakah yang diberikan oleh pihak yang menawarkan jasa penjebolan tersebut kepada konsumen?

 

Sementara, terkait dengan syarat sahnya perjanjian untuk melakukan transaksi perdagangan, pelaku usaha tentunya harus menawarkan objek dagangan yang harus sesuai dengan hukum (kausa yang halal). Jika objeknya tidak halal maka akibatnya perikatan/kontrak tersebut menjadi batal demi hukum atau dianggap tidak pernah terjadi.

 

Akhirnya timbul pertanyaan, bagaimanakah mekanisme pertanggung jawabannya kepada konsumen jika objek yang ditransaksikan tidak halal?

 

Dalam konteks jasa penjebolan tersebut, apakah yang akan dapat dilakukan oleh konsumen sekiranya hal itu berdampak buruk kepada konsumen? Jika si pelaku berdalih bahwa ia hanya disuruh oleh konsumen, apakah konsumen bisa lepas dari segala macam tuntutan hukum dan/atau gugatan hukum sebagai pihak yang turut serta melakukan perbuatan melawan hukum?

 

Lantas, bagaimana halnya dengan tanggung jawab atas media pengiklanan atas jasa tersebut dan juga bagaimana tanggung jawab intelektual dari para ahli yang membenar-benarkan tindakan tersebut. Hal ini sangatlah tidak mudah untuk dijawab, karena akan selalu ada kontra argumen sebagai upaya defensif dari pihak yang melanggar hukum. Namun yang pasti, pada prakteknya konsumen akan sangat rentan untuk dimanipulasi oleh pelaku usaha, dan juga publik akan sangat rentan terpengaruh oleh retorika intelektual media.

 

Dari kesemua pertanyaan tersebut di atas, sulit rasanya mengatakan bahwa hal itu bukanlah suatu permasalahan hukum. Sepatutnya kita memandangnya secara proporsional dan komperhensif. Suatu tindakan yang sebenarnya salah pada satu sisi janganlah dibenarkan atau disamarkan menjadi abu-abu dengan dalih demi kepentingan konsumen. Menurut hemat saya ada baiknya konsumen berhati-hati dan melihat dengan jernih kepada kepentingan hukum dari semua pihak dalam sistem telekomunikasi. Jangan begitu saja meyakini bahwa tindakan penjebolan sistem adalah suatu tindakan yang dibenarkan oleh hukum.

 

Walau bagaimanapun setiap orang tetap harus menghargai kepentingan hukum orang lain. Disanalah batas hukumnya sebagai perilaku yang ajeg. Demi kepentingan bersama marilah kita letakkan semua kepentingan itu secara proporsional. Jika konsumen itu sendiri yang membongkar tanpa hak saja sudah dapat dikatakan menyalahi hukum, bagaimana mungkin orang yang menawarkan jasa pembongkaran tersebut dengan kompensasi nilai ekonomis tertentu dapat dikatakan benar secara hukum. Lucunya, yang dipersalahkan malahan sifat kerentanan program pengunci itu sendiri. Padahal, secara naturalia memang ia akan selalu rentan karena akan selalu menjadi objek untuk diserang oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

 

Penulis sangat khawatir, kepentingan konsumen telah diatasnamakan dan dieksploitasi oleh pihak yang secara tidak etis mencoba mengambil keuntungan. Ironisnya, pihak tersebut malahan dijadikan sebagai sosok yang heroik di tengah masyarakat. Akibatnya, tanpa disadari oleh masyarakat, suatu tindakan pelanggaran hukum menjadi telah dibenarkan hanya karena retorika media. Padahal sistem hukum yang berlaku ditujukan untuk melindungi kepentingan hukum masyarakat itu sendiri.

 

Menjadi lebih parah lagi, jika ternyata kata-kata yang dilansir media selain dapat menimbulkan kesalahpahaman di benak masyarakat juga berpotensi menimbulkan konflik antar operator. Sebab, dinyatakan bahwa kerugian pada satu pihak telah mengakibat keuntungan pada pihak yang lain. Akankah ironi ini berlanjut terus? Jawabannya adalah kembali kepada kesadaran hukum dan kecerdasan konsumen serta komitmen para pelaku usaha untuk secara fair menjalankan usahanya. Dan tentu saja ditambah dengan kejelian para penegak hukum dalam melihat fenomena yang terjadi pada masyarakat kita.

Dikemukakan bahwa telah terjadi suatu aktivitas dari suatu pihak yang dengan tujuan ekonomis telah merubah suatu program sistem pengaman (locking software) dari suatu perangkat keras telepon genggam (handset) bermerek tertentu, yang semula oleh produsen/vendor diprogram hanya untuk beroperasi pada satu operator tertentu saja kemudian menjadi terbuka sehingga dapat difungsikan untuk operator lain.

 

Menyimak pemberitaan tersebut, nuansa hukum (legal sense) penulis menjadi terusik karena adanya pernyataan yang mengatakan bahwa tindakan pembobolan software pengunci tersebut bukanlah suatu masalah hukum. Hal ini membuat saya menjadi berpikir ulang dan terpanggil untuk meluruskan kembali wacana hukum yang semestinya berlaku dalam konteks ini. Sejujurnya, mungkin cukup banyak orang atau pelaku usaha yang juga merasakan hal yang sama bahwa ada sesuatu yang ganjil atau bahkan mungkin salah terhadap tindakan itu atau paling tidak dirasakan sebagai sesuatu yang tidak etis untuk dilakukan.

 

Pertama, kita perlu mengkajinya dalam perspektif hukum Hak Kekayaan Intelektual. Apakah program dalam handset bukan merupakan suatu program komputer sebagai objek Ciptaan yang dilindungi oleh UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta? Padahal istilah program komputer sebenarnya tidak hanya ditujukan untuk program-program aplikasi, atau yang lebih dikenal dengan istilah software. Dalam disiplin ilmu komputer, program komputer juga mencakup keberadaan firmware atau microcode, yakni program yang melekat pada suatu perangkat microprocessor. Bahkan istilah komputer itu sendiri sebagai suatu perangkat elektronik sebenarnya adalah berinti dan identik dengan keberadaan microprocessor-nya. Jadi, sebenarnya program yang diletakkan pada handset termasuk lingkup program komputer dalam UU Hak Cipta.

 

Selanjutnya juga perlu dicermati, apakah locking software tidak bisa dikatakan sebagai sarana kontrol teknologi yang juga dilindungi oleh Hak Cipta? Jadi, apakah sebenarnya tindakan mengubah sistem pengamanan tersebut dibenarkan oleh hukum sehingga tindakan menjebol tersebut bukan suatu permasalahan hukum?

 

Lebih jauh lagi, jika kita telusuri tentang makna dan konsepsi HKI itu sendiri, apakah memang sesungguhnya ada istilah jual beli putus terhadap kreasi intelektual? Padahal hak moral akan selalu melekat kepada objek ciptaan dimana yang menjadi fokus hukumnya adalah integritas hubungan antara Pencipta dengan Ciptaannya. Jadi banyak orang yang seringkali lupa bahwa istilah jual beli putus sebenarnya adalah istilah umum para pedagang bukan suatu istilah hukum. Yang dimaksudkan dengan jual beli putus disini adalah jual beli barangnya bukan lisensi atas karya intelektual. Istilah tersebut adalah untuk menerangkan bahwa pemindahan hak yang diperjanjikan disana adalah beralihnya hak ekonomis atas karya ciptaan bukan kepemilikan atas hak intelektualnya (ownership of Intellectual Property).

Tags: