Kecelakaan Pesawat, Siapa Yang Bertanggung Jawab?
Fokus

Kecelakaan Pesawat, Siapa Yang Bertanggung Jawab?

Pihak ketiga bahkan dapat menuntut ganti rugi kepada operator penerbangan apabila ia dirugikan oleh kecelakaan pesawat.

Oleh:
CR-3
Bacaan 2 Menit
Kecelakaan Pesawat, Siapa Yang Bertanggung Jawab?
Hukumonline

 

Tabel

Pertanggungjawaban Kecelakaan Pesawat 

Pihak yang

bertanggung jawab

Bentuk Pertanggungjawaban

Dasar Hukum

Pengelola bandar udara

Sanksi Administrasi (teguran tertulis s/d pencabutan Sertifikat Operasi Bandar Udara)

� Pasal 21-22Kepmenhub No: KM 47 Tahun 2002

Awak Pesawat

 

�    Sanksi Pidana

�    Pencabutan sertifikat

� Pasal 359-361 KUHP;

� Pasal 60, 64 UU No. 15/1992

Maskapai penerbangan

�    Ganti Rugi/Santunan

�    Pencabutan izin

 

� Pasal 43 (1), 44 (1) UU No. 15/1992

� Pasal 42-45 PP No. 40/1995

Sumber: Data Hukumonline

 

Namun Ruthanna Simatupang, penyelidik dan staf divisi hukum KNKT, mengatakan bahwa berdasarkan ketentuan internasional, pada prinsipnya semua pihak dapat dimintakan pertanggungjawabannya apabila mereka terbukti memiliki andil dalam sebuah kecelakaan pesawat.  “Semua pihak termasuk negara, manufacturer, maupun pembuat suku cadang dapat dimintakan pertanggungjawaban,” tambahnya.

 

Pengelola bandar udara dapat dimintakan pertanggungjawaban apabila terbukti bahwa kecelakaan pesawat terjadi karena disebabkan oleh kondisi bandar udara yang tidak memenuhi syarat sebagaimana ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 20 Kepmenhub No: KM 47 Tahun 2002 tentang Sertifikasi Operasi Bandar Udara menyatakan bahwa pemegang sertifikat operasi bandar udara dalam melaksanakan tugasnya wajib mematuhi ketentuan keamanan dan keselamatan penerbangan sesuai dengan standar dan prosedur yang berlaku, mempertahankan kelaikan operasi bandar udara, menunjukkan Sertifikat Operasi Bandar Udara pada saat diperlukan.

 

Selanjutnya Pasal 21 menegaskan bahwa apabila kewajiban-kewajiban tersebut tidak dipenuhi maka pemegang sertifikat dapat dikenakan sanksi administrasi oleh Dirjen Perhubungan Udara Departemen Perhubungan terkait mulai dari peringatan tertulis sampai dengan pencabutan sertifikat.

 

Sementara itu, maskapai penerbangan yang dalam banyak kasus seringkali menjadi sorotan utama, juga dapat dimintakan pertanggungjawaban apabila terjadi kecelakaan pesawat. Pasal 43 ayat (1) UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan menyatakan bahwa maskapai penerbangan bertanggung jawab atas kematian atau lukanya penumpang, musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut, dan keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut apabila terbukti hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut.

 

Terkait dengan hal ini, pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi kepada maskapai tersebut. Mengenai besarnya ganti rugi bagi korban kecelakaan pesawat, Pasal 43 PP No. 40/1995 tentang Angkutan Udara menetapkan bahwa untuk korban meninggal maka santunannya sebesar Rp 40 juta, korban luka setinggi-tingginya Rp40 juta, korban cacat permanen setinggi-tingginya Rp 50 juta. PP No. 40/1995 juga mengatur mengenai besaran ganti rugi terhadap bagasi yang disebabkan oleh pihak maskapai, yakni besarnya dibatasi setinggi-tingginya Rp1 juta.

 

Selain tuntutan ganti rugi, maskapai penerbangan yang tidak mematuhi ketentuan yang berkaitan dengan keselamatan penerbangan juga dapat dicabut izin usahanya sebagaimana diatur dalam Pasal 22-23 PP No. 40/1995. Pencabutan izin usaha tersebut dilakukan setelah sebelumnya ditempuh prosedur teguran tertulis yang kemudian diikuti dengan pembekuan izin.

 

Prof Mieke Komar Kantaatmadja, ahli hukum udara dan angkasa dari Universitas Padjajaran, berpendapat bahwa dalam setiap kecelakaan pesawat pihak pertama yang harus bertanggung jawab adalah maskapai penerbangan.

 

“Sudah menjadi rahasia umum, maskapai penerbangan terkadang kurang memperhatikan maintenance (perawatan, red.) pesawat mereka,” ujarnya. Mieke juga mengatakan bahkan di kalangan teknisi pesawat dikenal istilah kanibalisme, perbaikan komponen pesawat dengan mengorbankan komponen pesawat lainnya.

 

Awak pesawat pun baik itu pilot maupun kru lainnya tidak bisa lari dari tanggung jawab apabila terjadi kecelakaan pada pesawat yang mereka operasikan, tentunya jika yang bersangkutan masih hidup. Pasal 359 dan 360 KUHP menetapkan bahwa orang yang karena kesalahannya menyebabkan orang lain mati atau luka berat, maka diancam pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun. Ancaman pidana tersebut bahkan dapat ditambah sepertiga serta dipecat dari pekerjaan, menurut Pasal 361 KUHP, jika tindak pidana tersebut dilakukan terkait dengan jabatan atau pekerjaan.

 

Ancaman hukuman terhadap awak pesawat juga diatur dalam UU No 15 Tahun 1992. Pasal 60 disebutkan bahwa barang siapa yang menerbangkan pesawat yang dapat membahayakan keselamatan pesawat, penumpang dan barang, dan/atau penduduk, atau mengganggu keamanan dan ketertiban umum atau merugikan harta benda milik orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).

 

Selanjutnya Pasal 64 menyatakan bahwa barang siapa mengoperasikan fasilitas dan/atau peralatan penunjang penerbangan yang tidak memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan penerbangan, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp18 juta.

 

Di samping ancaman penjara dan denda, seorang awak pesawat, menurut Pasal 101 PP No. 3/2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan, juga diancam dengan pencabutan sertifikat kecakapan personil penerbangan apabila ia terbukti tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditetapkan oleh PP No 3/2001. Salah satu kewajiban yang dimaksud adalah memenuhi ketentuan tata cara berlalu lintas udara yang meliputi batas ketinggian, kawasan udara terlarang, terbatas dan berbahaya, lepas landas, pendaratan dan pergerakan di darat atau air, dan sebagainya.

 

Pihak ketiga

Ruthanna mengatakan bahwa pihak ketiga pun dapat menuntut ganti rugi kepada pihak yang mengoperasikan pesawat apabila ia terkena dampak dari sebuah kecelakaan pesawat. Hal ini, tambahnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (1) UU No 15/1992 tentang Penerbangan.

 

Pasal 44 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang atau badan hukum yang mengoperasikan pesawat udara bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pihak ketiga yang diakibatkan oleh pengoperasian pesawat udara atau kecelakaan pesawat udara atau jatuhnya benda-benda lain dari pesawat udara yang dioperasikan.

 

Jadi, warga sekitar bandara polonia bisa saja menuntut ganti rugi kepada Mandala apabila mereka merasa dirugikan akibat kecelakaan kemarin, ujar Ruthanna. Mengenai besarnya ganti rugi, pasal 45 ayat (2) PP No 40/1995 menetapkan bahwa santunan untuk pihak ketiga yang meninggal dunia sebesar Rp40 juta, bagi yang menderita luka setinggi-tingginya Rp40 juta, bagi yang cacat tetap setinggi-tingginya Rp50 juta.

 

Terkait dengan hal ini, Mieke mengingatkan bahwa tuntutan ganti rugi yang dapat diajukan oleh pihak ketiga hanya terbatas pada kerugian yang diderita. Hal ini, menurut Mieke, sesuai dengan ketentuan dalam Rome Convention 1952 on Damage to thirdparties on surface.

 

Kalau rumah penduduk hancur, maka pihak yang bertanggung jawab harus mengganti sampai rumah itu kembali seperti semula, kata Mieke yang saat ini juga menjabat sebagai hakim agung.

Sektor transportasi Indonesia kembali diselimuti awan kelam dengan terjadinya kecelakaan pesawat maskapai Mandala di Bandara Polonia, Medan (5/9). Sampai berita ini ditulis, total sudah lebih dari 150 nyawa melayang baik itu awak pesawat dan penumpang maupun warga sekitar bandara yang terkena imbas kecelakaan tersebut.

 

Terlepas ini adalah takdir Tuhan, pertanyaan siapa yang bertanggungjawab akan selalu penting untuk dijawab agar mereka yang terbukti terlibat dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Selain itu, jawaban tersebut juga bermanfaat dalam merumuskan langkah-langkah preventif agar tragedi serupa tidak terjadi lagi.

 

Terkait dengan masalah ini, setidaknya ada tiga pihak yang yang dapat dimintakan pertanggungjawaban apabila terjadi kecelakaan pesawat. Pihak-pihak tersebut adalah pengelola bandar udara, maskapai penerbangan baik itu maskapai plat merah' ataupun maskapai swasta, dan awak pesawat secara individu.

Tags: