Tinjauan Terhadap Perubahan Pasal 11 dan 23 UUPT di Dalam RUU PT
Yufendy, S.H.(*)

Tinjauan Terhadap Perubahan Pasal 11 dan 23 UUPT di Dalam RUU PT

Pasal 11 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang mengatur perbuatan hukum sebelum PT disahkan dan Pasal 23 tentang ancaman perdata dan pidana bagi direksi akan segera direvisi karena terdapat banyak kelemahan.

Bacaan 2 Menit
Tinjauan Terhadap Perubahan Pasal 11 dan 23 UUPT di Dalam RUU PT
Hukumonline

 

Pengaturan ini juga dikecam berulang kali oleh Prof. Sudargo Gautama karena peraturan tersebut membuat pasal 7 (6) UUPT, yang menyatakan PT memperoleh status badan hukum setelah disahkan oleh Menteri, menjadi tidak berarti. Sayangnya, UUPT juga tidak memberikan penjelasan kemungkinan pertentangan antara kedua pasal tersebut.

 

Inggris tidak memiliki peraturan seperti Pasal 23 UUPT karena mereka tidak memisahkan tahapan pendirian, pengesahan dan pendaftaran PT. Tetapi, Belanda mempunyai peraturan yang serupa tapi tak sama dengan pasal tersebut. Di Belanda, PT memperoleh status badan hukum setelah Menteri Kehakiman mengeluarkan surat keputusan yang menyatakan tidak berkeberatan (ministeriele verklaring van geen bezwaar). Sebelum PT didaftarkan, masing-masing direksi bersama-sama dengan PT tersebut secara tanggung renteng bertanggung jawab kepada pihak ketiga atas perbuatan yang dilakukan oleh Direksi.

 

RUU PT

Untuk memahami konsep perubahan Pasal 11 dan 23 UUPT dalam RUU PT, penulis mengelompokkannya menjadi 3 fase (bagian). Fase pertama dan kedua adalah perbaikan dari Pasal 11, dimana RUU PT memisahkan istilah �pendiri' dalam pasal 11 UUPT menjadi �calon pendiri' dalam pasal 13 RUU (fase pertama) dan �pendiri' dalam pasal 14 RUU (fase kedua). Fase ketiga berhubungan dengan ancaman tanggung jawab pribadi direksi dalam Pasal 23 UUPT.

 

Fase pertama dimulai dari persiapan pendirian sampai dengan pada saat PT akan didirikan dengan akta notaris. Pada fase ini, hak dan kewajiban atas perbuatan hukum yang dilakukan atau disetujui baik oleh sebagian atau seluruh calon pendiri baru akan berpindah ke PT apabila perbuatan tersebut diratifikasi oleh PT pada saat PT tersebut memperoleh status badan hukum. Peraturan ini masih mengadopsi semangat Pasal 11 UUPT.

 

Fase kedua dimulai sejak PT didirikan dengan akta notaris sampai dengan sebelum PT tersebut memperoleh status badan hukum. Perbuatan hukum yang dilakukan bersama-sama oleh semua direksi, komisaris dan pendiri pada periode ini secara otomatis menjadi perbuatan PT pada saat PT tersebut memperoleh status badan hukum. Tetapi, ketentuan ratifikasi dalam Pasal 11 UUPT masih berlaku apabila perbuatan tersebut tidak dilakukan secara kolektif.

 

Fase ketiga adalah fase yang terdapat dalam Pasal 21 dan 22 UUPT yaitu sejak setelah PT memperoleh status badan hukum sampai dengan sebelum PT tersebut didaftarkan dalam Daftar Perusahaan dan diumumkan di Tambahan Lembaran Berita Negara. Fase ini tidak ditemui dalam RUU sehingga konsekuensi hukum yang memungkinkan direksi bertanggung jawab renteng sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UUPT sudah ada lagi. Pendaftaran dan pengumuman PT akan dilakukan oleh Menteri setelah dikeluarkannya keputusan tentang pengesahan badan hukum PT.

 

Analisa

Perubahaan dalam RUU PT kelihatannya akan mampu mengatasi kelemahan dari Pasal 11 dan 23 UUPT. Dengan membedakan perlakuan atas perbuatan hukum yang terjadi pada fase pertama dengan fase kedua, berarti RUU PT secara tegas mengakui bahwa PT yang sudah didirikan dengan akta notaris bukan lagi sekedar bagian dari perjanjian biasa; tetapi keberadaannya sudah setahap lebih maju dari CV, yaitu merupakan embrio dari sebuah badan hukum. Penyederhanaan fase ketiga bukan hanya menguntungkan direksi dan PT tetapi juga masyarakat secara umum karena informasi tentang PT menjadi lebih cepat tersedia untuk umum. Peraturan yang hampir sama juga dijumpai di Jerman. Kendati demikian, ada beberapa perbedaan yang signifikan.

 

Pertama, RUU PT hanya memisahkan istilah �pendiri' menjadi �calon pendiri' pada fase pertama dan �pendiri' pada fase kedua, tetapi tidak memisahkan istilah �PT' (Perseroan) dalam ketiga fase di atas. UUPT Jerman menggunakan istilah yang berbeda dalam ketiga fase tersebut, yaitu Vor-gr�ndungs-gesellschaft (pra-pendirian-PT) pada fase pertama, Vor-gesellschaft (pra-PT) pada fase kedua dan Gesellschaft (PT) pada fase ketiga.

 

Kedua, pada fase pertama, hukum di Jerman mengatur bahwa semua perbuatan hukum oleh calon pendiri untuk kepentingan PT yang telah dilekatkan pada akta pendirian, secara otomatis teratifikasi oleh PT pada saat PT tersebut memperoleh status badan hukum. RUU PT kita hanya memungkinkan ratifikasi secara otomatis atas perbuatan hukum yang berhubungan dengan kepemilikan saham dan penyetorannya (Pasal 12), sedangkan perbuatan lainnya masih diharuskan diratifikasi oleh PT dengan suara bulat oleh seluruh pemegang sahamnya (Pasal 13).

 

Ketiga, pada fase kedua, hukum di Jerman mengatur bahwa semua perbuatan hukum atas nama perseroan yang dilakukan oleh direksi, baik sendiri maupun bersama-sama dengan direksi lainnya, secara otomatis teratifikasi pada saat PT memperoleh status badan hukum. RUU PT kita hanya memungkinkan ratifikasi secara otomatis apabila perbuatan hukum tersebut dilakukan secara bersama-sama atau disetujui oleh semua direksi, pendiri dan komisaris; sedangkan perbuatan yang dilakukan hanya oleh direksi baru akan mengikat PT apabila secara tegas diratifikasi dengan menyatakan diterima atau diambil alih.

 

Sedangkan pada fase ketiga, peraturan dalam RUU PT kita dan UUPT Jerman pada esensinya tidak terdapat perbedaan. Di Jerman, permohonan untuk memperoleh status badan hukum, pendaftaran dan pengumuman dikoordinir oleh satu lembaga, yaitu Handelsregister yang merupakan bagian dari pengadilan negeri setempat; sedangkan dalam RUU, proses tersebut dilakukan melalui kantor Kementerian Hukum dan HAM. Sistem ini jelas lebih praktis dibanding dengan sistem di Belanda yang mengharuskan PT memohon status badan hukum dari Menteri, tetapi pendaftarannya dilakukan ke kamar dagang Belanda.

 

Penulis berpendapat apabila RUU PT bermaksud mengeliminir seluruh kelemahan dalam Pasal 11 UUPT, ada baiknya RUU kita mengikuti peraturan di Jerman.

 

Berdasarkan definisi di dalam UUPT maupun RUU, istilah PT hanya tepat digunakan pada fase ketiga. PT didefinisikan sebagai sebuah badan hukum, sedangkan pada fase pertama dan kedua, badan hukum belumlah terbentuk. Oleh karena itu, secara teori pemisahan istilah PT dalam ketiga fase tersebut sangatlah penting.

 

Peraturan di dalam RUU PT tidak menyentuh inti permasalahan dari Pasal 11 UUPT, yaitu ancaman tanggung jawab pribadi pendiri dan direksi. RUU PT hanya memungkinkan ratifikasi secara otomatis apabila semua direksi, pendiri dan komisaris tanpa terkecuali, melakukan atau menyetujui perbuatan hukum pada fase kedua. Syarat ini pada esensinya tidak berbeda dengan Pasal 11 UUPT yang mengharuskan ratifikasi melalui RUPS yang dihadiri dan disetujui oleh seluruh pemegang saham.

 

Dalam praktik, calon pendiri, pendiri ataupun direksi telah melakukan perbuatan hukum atas nama PT sebelum PT tersebut memperoleh status badan hukum, misalnya menyewa kantor, membuat perjanjian kerja ataupun perjanjian lainnya dengan pihak lain. Apabila perbuatan yang dilakukan pada fase pertama dilekatkan pada akta notaris pada saat pendirian PT, berarti perbuatan tersebut telah disetujui oleh seluruh pendiri atau pemegang sahamnya. Dengan demikian, persyaratan ratifikasi untuk kelompok perbuatan ini tidak diperlukan lagi karena pada intinya semua pendiri dan pemegang saham telah menyetujuinya.

 

Pada fase kedua, perbuatan direksi harus dibedakan antara perbuatan yang merupakan bagian dari tugasnya yang ruang lingkupnya diatur dalam AD/ART dengan yang tidak. Apabila perbuatan direksi merupakan bagian dari amanat pemegang saham, sudah selayaknya perbuatan tersebut secara otomatis teratifikasi pada saat PT memperoleh status badan hukum. Apabila direksi bertindak tidak sesuai dengan amanat dalam AD/ART, mekanisme kontrolnya sudah ada dalam konsep ultra vires.

 

Penutup

Peraturan tentang perbuatan hukum sebelum PT disahkan menurut Pasal 11 UUPT dan kewajiban direksi mendaftarkan PT ke Daftar Perusahaan dan mengumumkannya menurut Pasal 21 dan 22 terdapat banyak kelemahan dan sudah selayaknya direvisi. Tulisan di atas memaparkan bahwa perubahan yang dibawakan oleh RUU kemungkinan besar akan mampu mengatasi kelemahan dalam Pasal 23. Walaupun peraturan dalam RUU telah selangkah lebih baik dari UUPT, revisi dalam RUU tersebut tidaklah mengatasi sepenuhnya kelemahan dalam Pasal 11 UUPT. Kelemahan dalam Pasal 11 masih dapat dieliminir apabila RUU mengikuti hukum Jerman sebagaimana dibahas di atas.

 

((*)Alumnus FH UGM)

Tulisan ini menganalisa sejauh mana efektivitas perubahannya dalam RUU PT dengan membandingkannya dengan hukum di Jerman.

 

Pasal 11 UUPT

Pasal 11 UUPT mengatur bahwa perbuatan hukum yang terjadi sebelum PT memperoleh status badan hukum hanya akan mengikat PT apabila perbuatan tersebut (1) diterima secara tegas, (2) diambil alih hak serta tanggung jawabnya, atau (3) dikukuhkan oleh RUPS atau oleh seluruh pendiri, pemegang saham dan direksi.

 

Peraturan ini dikritik oleh Prof. Sudargo Gautama (Komentar Atas UUPT No. 1/95) karena dengan mewajibkan PT meratifikasi perbuatan sebelumnya berarti peraturan tersebut (1) menghambat jalannya PT dan (2) menurunkan kepercayaan pihak ketiga dalam melakukan transaksi dengan pendiri PT tersebut. Sayangnya, penjelasan Pasal 11 tidak menjelaskan (1) mengapa perbuatan tersebut tidak secara otomatis diratifikasi oleh PT pada saat PT tersebut memperoleh status badan hukum sebagaimana diatur dalam KUHD dan (2) apa perbedaan serta konsekuensi hukum dari diterima, diambil alih dan dikukuhkan.

 

Peraturan yang hampir sama juga dijumpai di Belanda (Pasal 93 Buku Kedua KUH Perdata 1971) dan Inggris (pasal 36C Companies Act 1985). Jurisprudensi Belanda mengantisipasi kelemahan tersebut dengan mengatakan bahwa perbuatan sebelumnya dianggap secara otomatis telah diratifikasi oleh PT pada saat PT tersebut memperoleh status badan hukum apabila perbuatan tersebut disertakan dalam akta notaris pada saat pendirian PT. Inggris membuat peraturan tersebut, walaupun menyadari kelemahannya, karena mereka bangga akan sejarah perkembangan hukumnya. Di dalam teori hukum kebiasaan tertulis mereka (common law), seseorang baik dalam kapasitasnya sebagai pendiri atau agent maupun trustee tidak bisa melakukan perbuatan yang mengatasnamakan orang lain yang belum pernah ada pada saat perjanjian itu dilakukan.

 

Pasal 23 UUPT

Pasal 23 UUPT intinya menyatakan bahwa walaupun PT telah memperoleh status badan hukum, (hanya) direksi (saja yang) bertanggung jawab seraca renteng atas segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh PT sebelum PT tersebut didaftarkan dalam Daftar Perusahaan dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara.

Halaman Selanjutnya:
Tags: