Bagi sebagian besar orang, harapan terhadap perbaikan kondisi peradilan di negeri ini digantungkan pada Mahkamah Agung (MA), khususnya Ketua MA. Itulah mungkin yang menjadi salah satu alasan mengapa pemilihan Ketua MA kali ini menyedot banyak perhatian dibandingkan dengan sebelum-sebelumnya. Selain itu, juga karena proses pemilihannya dilakukan dalam era yang lebih terbuka.
Lepas dari apakah seorang figur ketua MA sendiri dapat membuat perubahan dalam dunia peradilan kita yang sudah sedemikian kronis, posisi ketua MA pada saat ini jelas merupakan posisi yang sangat vital. Dengan mulai ditatanya kembali sistem kenegaraan kita, kekuasaan yudikatif sebagai salah satu pilar kekuasaan diharapkan dapat berperan sebagaimana mestinya. Apalagi di tengah perseteruan dan terpuruknya dua pilar lain, yaitu eksekutif dan legislatif.
Namun, proses pemilihan ketua MA ternyata macet. Sampai saat ini, belum dihasilkan Ketua MA yang baru, sedangkan ketua yang lama sudah pensiun. Presiden Abdurrahman Wahid dengan dukungan penuh dari Wapres Megawati menolak untuk memilih satu di antara dua nama yang diajukan oleh DPR. Mereka malah menyatakan bahwa mereka telah mempunyai calon lain di luar kedua nama tersebut.
Penolakan presiden tersebut jelas membuat DPR berang. Ketua DPR Akbar Tandjung memberi ultimatum bahwa jika sampai 15 Januari 2000 belum ada keputusan mengenai ketua MA, maka pimpinan DPR akan menggelar rapat konsultasi. Selain itu, sejak jauh hari pun kalangan DPR sudah menyatakan bahwa mereka tidak akan mau melakukan seleksi ulang untuk memilih calon ketua MA.
Dengan adanya keadaan yang mengambang seperti ini, jelas jabatan ketua MA akan semakin terkatung-katung. Apalagi jika kita melihat sejarah perseteruan yang panjang antara presiden dan DPR. Belum lagi adanya muatan-muatan politis yang membebani pemilihan ketua MA ini.
Penafsiran UU No 14 Tahun 1985
Menurut Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), sebuah LSM yang selama ini intens mencermati proses pemilihan ketua MA, jika kita melihat pada UU no 14 tahun 1985 pasal 8 ayat 3 dan ayat 5, tidak dapat disimpulkan secara pasti apakah presiden memiliki kewenangan untuk menolak kedua calon yang diajukan oleh DPR.
Penjelasan pasal tersebut juga dikatakan "cukup jelas". Begitu juga jika dilihat dari lembar sejarah pembentukan UU tersebut. Tidak ada suatu perdebatan yang khusus mengenai seberapa besar kewenangan presiden dalam pemilihan ketua MA.