Rewind ke Masa Orde Baru?
Revisi UU Pers

Rewind ke Masa Orde Baru?

Kalangan media mengecam materi Rancangan Undang-Undang Pers. Hantu bredel dan sensor kembali bergentayangan. Akan kembali ke masa Orde Baru?

Oleh:
Ycb
Bacaan 2 Menit
<i>Rewind</i> ke Masa Orde Baru?
Hukumonline

Sumber: Aliansi Jurnalis Independen Indonesia

 

Padahal, menurut Leo, jika ada media yang menyeleweng dari kaidah jurnalistik, cukup dijewer oleh Dewan Pers. Pendapat Leo ini diamini oleh mantan Ketua Dewan Pers, Atmakusumah Astraatmadja. Kata harus dibalas dengan kata, ujar Atmakusumah, sebulan silam.

 

Maksudnya, jika ada media yang salah menulis berita, solusinya adalah hak jawab dan ralat. Bukannya pembredelan atau pemidanaan wartawan. Istilah 'kata dibalas dengan kata' inilah esensi dari kemerdekaan pers.

 

Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI), Abdul Manan, menengarai Pemerintah hendak meminta kembali kewenangannya. Ada dua Peraturan Pemerintah (PP) yang menjadi peraturan pelaksana RUU Pers, tuturnya dari saluran hape, Kamis (21/6).

 

Dua PP tersebut mengatur standardisasi kelayakan perusahaan media serta hak jawab. Artinya, Pemerintah sudah tidak percaya kepada self regulatory komunitas pers itu sendiri. Seharusnya kan diserahkan kepada Dewan Pers, tutur Manan, yang kini menjadi jurnalis Majalah Tempo.

 

Menurut Manan, draft tersebut memang masih menjamin kebebasan pers dari jerat bredel dan sensor. Namun, tetap ada perkecualiannya. Yakni, kalau melanggar norma kesusilaan dan mengancam keamanan nasional. Ini jelas pasal karet (Pasal 4 ayat 5), ungkapnya.

 

Manan juga menyoroti, revisi ini tak menyentuh perbaikan nasib wartawan. Tak ada aturan yang tegas soal kesejahteraan dan keselamatan jurnalis, ungkapnya. Menurut Manan, kalau memang harus direvisi, UU Pers harus memayungi kesejahteraan dan keselamatan jkuli tinta. Terutama, keselamatan di lapangan ketika meliput serta jaminan dari jerat hukum (libel).

 

Terpisah, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) Hendrayana khawatir, jika RUU ini berlaku, kasus yang menimpa kalangan pers makin meningkat. Pemerintah jelas ingin membuntungi peran masyarakat, tegasnya lewat saluran telepon genggam, Kamis (21/6).

 

Baik Manan maupun Hendra senada, saat ini sudah ada preseden buruk atas sepak terjang Depkominfo. Lihat saja, Depkominfo melangkahi UU 32/2002 tentang Penyiaran. Peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) makin ditinggalkan, ungkap keduanya. Sudah menjadi lagu lama, Depkominfo dan KPI berebut wewenang mengatur dunia broadcast. Menurut Manan dan Hendra, Depkominfo terlalu dominan sehingga menyingkirkan KPI.

 

Sementara itu, Yunus Yosfiah menilai komunitas pers tak perlu terlalu khawatir pada rencana revisi tersebut. Saya yakin, Pemerintah tak akan gegabah. Pasti, kalangan media akan dilibatkan sepenuhnya, ungkap Yunus, seusai rapat kerja Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Menteri Keuangan, awal Juni lalu .

 

Yunus merupakan tokoh penting dalam perjalanan UU Pers. Berlatar belakang militer yang sarat garis tegas komando, Yunus justru menggawangi UU 40/1999. UU ini disambut positif kalangan media karena melenyapkan sensor dan bredel. Kala itu, dia menjabat Menteri Penerangan di bawah Presiden BJ Habibie (1998-1999). Pada era Presiden Gus Dur, kran kemerdekaan pers makin terbuka, dengan dibubarkannya Departemen Penerangan. Lembaga tersebut berganti nama menjadi Depkominfo. Kini, Yunus duduk di Komisi XI DPR, yang membidangi perbankan, anggaran, dan keuangan negara. 

Belum genap satu dekade masyarakat menghirup udara kebebasan pers. Melalui Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 (UU Pers), komunitas pers benar-benar menikmati ruang geraknya. Tak ada bredel, tak ada sensor, pun tak perlu surat izin buka usaha untuk pendirian sebuah perusahaan media.

 

Namun, kemerdekaan itu mulai terancam, dengan beredarnya beleid revisi UU tersebut. Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Sofyan A. Djalil sempat mewacanakan perombakan UU Pers. Namun kala itu Dewan Pers dan kalangan media lainnya menolak keras. Lambat laun perdebatan mereda karena tak ada tindak lanjut dari tetangga Departemen Perhubungan dan Mahkamah Konstitusi ini. Apalagi, Sofyan telah berganti peran menjadi Menteri Negara BUMN.

 

Kini, di bawah Menkominfo anyar Muhammad Nuh, draft tersebut makin menyebar. Diskursus dan perbincangan pun kembali memanas. Memang, Nuh sempat menjanjikan, revisi UU Pers ini terpulang pada kalangan pers itu sendiri.

 

Kita akan kembali seperti masa Orde Baru, teriak Anggota Dewan Pers Leo Batubara, dalam sebuah diskusi bulan silam. Menurut Leo, RUU ini menghidupkan kembali wewenang Pemerintah untuk menyensor dan membredel sebuah media.

 

RUU Pers, Draft Inisiatif Depkominfo (pasal dan ayat terpilih)

Pasal 1

(8) Penyensoran adalah penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan, atau tindakan teguran atau peringatan yang bersifat mengancam dari pihak manapun, dan atau kewajiban melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib, dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik.

(9) Pembredelan atau pelarangan penyiaran adalah penghentian penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan hukum.

Pasal 4

(1) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak azasi warga negara.

(2) Terhadap pers tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.

(3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

(4) Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, Wartawan mempunyai Hak Tolak.

(5) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah pers yang memuat berita atau gambar atau iklan yang merendahkan martabat suatu agama dan atau menganggu kerukunan hidup antar umat beragama dan atau bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat dan atau membahayakan sistem penyelenggaraan pertahanan dan keamanan nasional.

Pasal 5

(4) Ketentuan tata cara hak jawab dan hak koreksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (3) diatur Iebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 9

(1) Setiap Warga Negara Indonesia dan Negara berhak mendirikan perusahaan pers.

(2) Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.

(3) Setiap perusahaan pers wajib memenuhi standar persyaratan perusahaan pers.

(4) Ketentuan lebih lanjut tentang standar persyaratan perusahaan pers sebagaimana dimaksud ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 10

(1) Untuk mewujudkan profesionalisme wartawan dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya, wartawan menerima pendapatan yang Iayak dari perusahaan pers sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Perusahaan pers dapat memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih.

Tags: