Penduduk Legal dan Ilegal Tak Boleh Didiskriminasikan
Gugatan Banjir

Penduduk Legal dan Ilegal Tak Boleh Didiskriminasikan

Penduduk legal dan ilegal, kata kuasa hukum Guberbur DKI Jakarta, hanya istilah hasil kreasi penggugat. Tapi, untuk mendapat bantuan, KTP dan Kartu Keluarga DKI Jakarta sangat diperlukan.

Her
Bacaan 2 Menit
Penduduk Legal dan Ilegal Tak Boleh Didiskriminasikan
Hukumonline

Penanganan terhadap korban banjir harus memprioritaskan masyarakat rentan. Dalam hal ini, yang termasuk masyarakat rentan adalah warga miskin, tinggal di daerah rawan banjir, berusia lanjut, atau sedang menderita sakit.

 

Secara internasional, kode etik penanganan bencana itu yang diprioritaskan masyarakat rentan. Begitu juga menurut UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, kata pakar bencana alam, Eko Teguh Paripurno, saat menjadi saksi ahli dalam sidang gugatan banjir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (13/8).

 

Masalahnya, kebanyakan masyarakat rentan di Jakarta adalah penduduk ilegal alias 'tidak diakui' Pemprov DKI Jakarta. Ini tidak adil, Pak. Kami yang dianggap ilegal ini tidak diberi bantuan,  sementara mereka yang legal diberi bantuan, tukas Effendi, salah seorang penggugat.

 

Eko menimpali, masalah penduduk legal dan ilegal bukan keahliannya. Yang jelas, tutur dosen UPN Veteran Yogyakarta ini, Pemerintah DKI Jakarta bertanggung jawab penuh terhadap keselamatan dan kesejahteraan warganya.

 

Pasal 26 UU No. 24 Tahun 2007

Hak Masyarakat

 

(1)          Setiap orang berhak:

a.             mendapatkan pelindungan sosial dan rasa aman, khususnya bagi kelompok masyarakat rentan bencana;

b.             mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan keterampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.

c.              mendapatkan informasi secara tertulis dan/atau lisan tentang kebijakan penanggulangan bencana.

d.             berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan program penyediaan bantuan pelayanan kesehatan termasuk dukungan psikososial;

e.             berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya; dan

f.               melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diatur atas pelaksanaan penanggulangan bencana.

(2)          Setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar.

(3)          Setiap orang berhak untuk memperoleh ganti kerugian karena terkena bencana yang disebabkan oleh kegagalan konstruksi.

 

 

Eko merinci, tanggung jawab penanganan banjir berada di pundak gubernur selaku ketua Satkorlak, walikota (Satlak), camat (Satgas), hingga lurah (unit pelaksana). Tapi masyarakat biasa juga harus menjadi aktor penanggulangan banjir, imbuh Eko.

 

Merujuk pada  siklus penanggulangan bencana, Eko menegaskan, Pemprov DKI Jakarta berkewajiban memberi sistem peringatan dini sebagai salah satu upaya antisipasi bencana. Pemprov juga harus melakukan pertolongan dan mengevakuasi korban banjir. Setelah itu, hal lain yang harus dikerjakan Pemprov adalah merehabilitasi dan merekonstruksi sarana dan prasarana.

 

Pemprov DKI tentu sudah punya prosedur tetap untuk itu. Apakah prosedur tetap itu sudah dilakukan atau belum, saya tidak tahu, tandas Eko.

 

Penjelasan Eko tersebut agaknya tidak memuaskan Effendi. Ia menginginkan agar Eko lebih tegas: apakah Gubernur DKI bersalah atau tidak dalam penanganan banjir. Namun ketua majelis hakim, Moefri, melarang Effendi menanyakan hal-hal spesifik yang berkaitan dengan kasus. Pertanyaan saudara tidak relevan, tegur Moefri.

 

Mendengar peringatan keras itu, Effendi hanya mengeluh. Kami bukan pengacara, Pak, ujarnya.

 

Pemprov optimis

Kuasa hukum Gubernur DKI, Made Suarjaya, menyatakan, korban banjir sudah ditangani dengan benar. Masyarakat rentan juga diprioritaskan. Semua masyarakat diperlakukan sama. Tidak ada  diskriminasi, tandasnya. Soal penduduk legal dan ilegal, Made menyebut hal itu hanya istilah bikinan penggugat.

 

Namun demikian, diakui Made, untuk mendapatkan bantuan makanan, obat-obatan dan santunan, masyarakat harus bisa menunjukkan KTP dan Kartu Keluarga Jakarta. Besarnya bantuan, untuk yang meninggal Rp2 juta. Pemprov juga memberi beras 10 Kg selama dua bulan, tuturnya.

 

Seluruh korban banjir, kata Made, telah mendapat bantuan sesuai porsinya. Ia menunjukkan beberapa kwitansi yang ditandatangani oleh sejumlah korban. Salah satu kwitansi itu adalah bukti pembayaran Rp2 juta kepada Kusriyanto. Dia adalah orang tua Abda Arif Fianto, di mana istrinya --Siti Kamidah—ikut menjadi penggugat dalam kasus ini. Namun anehnya, dari kuitansi itu terbaca, uang Rp2 juta tersebut dikucurkan oleh Departemen Sosial, bukan Pemprov DKI, pada 16 Februari.

 

Made juga menyatakan, sebagian penggugat adalah warga yang tidak terkena banjir. Karena itu, pihaknya yakin bisa mematahkan argumen mereka. Kami optimis menang. Kan sudah berkali-kali kami digugat, tapi akhirnya tidak terbukti, ungkapnya.

 

Pernyataan Made disanggah Nurkholis, pengacara publik LBH Jakarta yang mendampingi penggugat. Ia menegaskan, tidak semua korban banjir diberi bantuan. Malah, bantuan Rp1 Milyar untuk tiap kelurahan ternyata tidak seluruhnya dicairkan, sergahnya. Nurkholis juga yakin gugatan ini bakal membuahkan hasil. Menurutnya, LBH Jakarta sudah belajar dari 'kesalahan' sebelumnya.

 

Gugatan class action ini diajukan 11 penggugat prinsipil yang tergabung dalam Jaringan Rakyat Korban Banjir Jakarta. Mereka menuntut Gubernur dan seluruh Wali Kota DKI Jakarta bertanggung jawab atas terjadinya banjir besar pada Februari lalu. Sidang kasus ini akan dilanjutkan pekan depan (17/8), dimana tergugat bakal menghadirkan beberapa saksi.

Tags: