Andi Syamsu Alam: Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah akan Atur Sanksi Pidana
Terbaru

Andi Syamsu Alam: Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah akan Atur Sanksi Pidana

Tanpa banyak diketahui banyak publik, Kelompok Kerja Perdata Agama Mahkamah Agung sudah melakukan finalisasi terhadap draft Kompilasi Hukuk Ekonomi Syariah (KHES).

Her
Bacaan 2 Menit
Andi Syamsu Alam: Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah akan Atur Sanksi Pidana
Hukumonline

 

Benarkah KHES mengatur persoalan pidana juga?

Ada gagasan agar jinayat (pidana—red) dimasukkan. Lalu disepakati, jinayat itu berbentuk denda, bukan hukuman badan. Dalam istilah Fiqh disebut ta'zir, yaitu semacam kekuasaan hakim untuk menjatuhkan putusan. Tapi harus ada standarnya.

 

Mengapa tindak pidana perlu dimasukkan dalam KHES?

Kalau tidak di-back up dengan pidana, nanti seperti Undang-undang Perkawinan saja. Misalnya poligami liar, tidak ada sanksinya. Atau misalnya lembaga yang mengawinkan pasangan beda agama, tidak ada hukumannya.

 

Mengapa hanya pidana denda?

Jinayat ini lebih mirip pada kasus korupsi. Di korupsi kan ada uang pengganti. Para pengusaha itu kalau didenda tidak masalah, karena mereka lebih suka itu daripada hukuman badan. Jadi pemikiran kita, tindak pidana diarahkan ke denda saja. Kalau pidana badan, biar pakai UU lain saja. Kan sudah ada, misalnya UU perbankan, untuk kejahatan perbankan. Lebih untung kalau diarahkan ke denda, sehingga betul-betul berada di lingkaran ekonomi. Kalau nanti KHES ini dibuat Undang-undang, tidak hanya pidana denda saja, tapi juga badan. Dua-duanya mungkin. Umpama, tindak pidana yang merugikan perbankan. Itu kan uang negara. Itu merusak perekonomian negara.

 

Dalam kasus apa jinayat ini bisa diterapkan?

Kalau ada penyimpangan dari tujuan akad. Misalnya, dalam perjanjian ia pinjam uang untuk membuat hotel syariah, tapi ternyata digunakan untuk membangun pabrik minuman keras. Kalau tidak diatur begitu, orang kan bisa pinjam uang untuk seenaknya.

 

Tindak pidana yang dimaksudkan di sini merupakan pelanggaran ataukah kejahatan?

Mungkin semacam tindak pidana dalam perbankan. Tapi kita harus teliti kategorinya apa. Maka kita lihat UU Perbankan. Apa kriteria pelanggaran dan apa kejahatan. Nanti semua instrumen perundang-undangan dipakai, termasuk Fatwa DSN MUI. Yang jelas kita berharap, nanti kalau jadi UU, mengarah ke pidana. Sama dengan UU Terapan Peradilan Agama. Di situ juga ada unsur pidananya.

 

Lalu, apakah persoalan pidana ini bisa diselesaikan di Pengadilan Agama?

Itu soal nanti, tergantung pemerintah dan DPR. Di Pengadilan Agama atau di pengadilan lain, kita tidak ada masalah karena kita satu atap. Dan kalau mau praktisnya, karena rata-rata SDM Pengadilan Agama sudah bagus, ya ke Pengadilan Agama.

 

Kalau merujuk pada UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama bagaimana?

Pasal 2 itu mengatakan, Pengadilan Agama dapat menyelesaikan perkara perdata tertentu. Itu bisa saja pidana, tergantung pemerintah dan DPR yang membuat UU dalam memberikan tugas kepada kita. Kita lihat saja seperti Family Court di Australia. Kalau ada kasus perkawinan yang ada unsur crime-nya, maka diselesaikan di lantai dua. Di situ untuk menangani perkara perdata yang ada unsur pidananya.

 

Karena KHES menyangkut banyak hal, tentu dibutuhkan sinkronisasi dengan ketentuan perundang-undangan lainnya. Bagaimana jurus sinkronisasi itu?

Itu sudah kita usahakan. Langkah demi langkah kita tempuh. Tidak bisa cepat, karena ini pembentukan hukum. Harus cermat, karena di sini juga ada UU Dagang, ada UU Perbankan. Jadi penyerasiannya butuh keahlian tersendiri. Nanti DPR dan pemerintah juga harus melakukan itu, baik dari segi bunyi pasal, maupun ukuran hukumannya.

 

Soal beragamnya madzhab dalam Fiqh bagaimana?

Hampir semua madzhab fiqh, bicara soal muamalat. Makanya kita bisa dengan cepat bisa menyusun draft itu. Sampai 2000 pasal lebih. Hanya soal wanprestasi dan resiko, kemarin masih dicari. Kalau sudah ketemu, artinya draft ini dianggap final.

 

Apa saja kendala yang dihadapi untuk merumuskan KHES ini?

Pertama, anggaran kita terbatas. Jadi harus bertahap. Yang kedua, understanding dengan dunia ekonomi syariah. Harus pelan-pelan. Kita meyakinkan bahwa itu dapat dijalankan oleh Peradilan Agama. Kan ada imej kurang bagus soal PA. Orang suka menyamakan PA itu dengan penghulu. Itu paradigma lama.

 

Rencana ke depan apa?

Rencana kita, pada 2008, drfat ini akan kita sosialisasikan. Nanti akan ada debat publik. Bagaimana itu bisa menjadi milik seluruh umat, harus didebatpublikkan. MA bekerja sama dengan MUI, UIN (universitas Islam Negeri—red), dan praktisi. Yang paling kompeten itu UIN karena mereka lingkungan akademis yang mengerti hal ini. Disepakati, ada tim gabungan yang merumuskan KHES itu. MA kan leading sector. Anggarannya dari kita.

 

Ada target kapan KHES ini bisa disahkan jadi UU?

Tergantung DPR. Kalau tidak 2008, tidak masalah. Nanti seperti Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sekarang KHI kan kayak Undang-Undang (UU). Tanpa berbentuk UU, itu sudah jadi pedoman yang jelas. KHI statusnya  inpres, dan sekarang inpres sudah tidak ada lagi.

 

Anda yakin pembahasan KHES ini tidak akan mendapat kritik atau menuai kontroversi?

Kontroversi yang banyak itu kan berkaitan dengan ibadah. Misalnya perkawinan, karena banyak pendapat. Kalau ekonomi, menurut saya tidak terlalu banyak kontroversi. Itu bukan persoalan yang membuat kita kufur. Jadi ulama kita tidak berbeda pendapat secara tajam.

Akhir Juli lalu, di Bandung--bersama Tim Konsultan, para pakar dan kalangan pesantren—Pokja ini telah berhasil merampingkan draft KHES dari 1040 pasal menjadi 845 pasal. Jumlah bab pun dikurangi: dari lima menjadi empat. Meski lebih ramping, draft KHES ternyata makin ‘berisi'. Akuntansi syariah, misalnya, menjadi materi Bab IV, setelah bab mengenai Subjek Hukum dan Harta (Bab I), Akad (Bab II), serta Zakat dan Hibah (Bab III). Sebelumnya, draft ini berisi bab yang mengatur Kecakapan Hukum, Pengampuan dan Keterpaksaan (Bab I), Harta (Bab II), Akad (Bab III), Zakat (IV), dan Hibah (V).

 

Kabar lainnya, dalam draft versi kedua ini, istilah-istilah Arab mulai di-Indonesia-kan. ika  tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia, terminologi Fiqh tetap dipakai.

 

Kabar yang cukup mengagetkan ialah bakal diterapkannya pasal-pasal pidana. Mengenai apa saja delik pidana itu? Pengadilan mana yang berhak menyelesaikannya? Bagaimana pandangan para pakar soal itu? Berikut petikan wawancara dengan Andi Syamsu Alam, Ketua Muda Urusan Perdata Agama MA.

 

Sampai sejauh mana perkembangan pembahasan KHES?

Kita sudah melakukan pertemuan tahap kedua untuk membahas soal wanprestasi dan resiko. Pada pertemuan pertama, soal ini sebenarnya sudah dibahas, tapi sekarang anggota tim pakar mempertajam lagi.

Tags: