Pisah Ranjang Timbulkan Polemik Hukum
Berita

Pisah Ranjang Timbulkan Polemik Hukum

Aturan soal pisah ranjang terdapat di KUHPerdata. Sementara itu, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengaturnya. Bagaimana keberlakuannya sekarang?

Oleh:
Her
Bacaan 2 Menit
Pisah Ranjang Timbulkan Polemik Hukum
Hukumonline

 

Sejak berlakunya UU Perkawinan, lembaga perpisahan meja dan tempat tidur dalam perkawinan sebagaimana diatur KUHPerdata telah dihapus, imbuh Thorkis. Menurutnya, ikatan perkawinan hanya mengenal harta bersama, harta bawaan dan harta yang terpisah sepanjang diperjanjikan dalam perjanjian pra-nikah. Ini sesuai Pasal 29 dan 35 UU Perkawinan.

 

Thorkish juga menyatakan, berdasarkan KUHPerdata, pisah ranjang tak cukup dinyatakan dengan keterangan lisan. Harus ada putusan dari pengadilan setelah sebelumnya ada pihak yang mengajukan gugatan pisah ranjang, terangnya. Pihak yang mengajukan pisah ranjang itu bisa suami, istri, atau keduanya.

 

Pisah ranjang merupakan perpisahan antara suami-istri yang tidak mengakhiri pernikahan. Aturan soal ini terdapat di KUHPerdata, tepatnya di Pasal 233 hingga 249, dan berlaku bagi golongan Tionghoa. Pasal 233 menyatakan, jika ada hal-hal yang dapat menjadi dasar untuk menuntut perceraian perkawinan, suami atau isteri berhak untuk menuntut pisah meja dan ranjang. Gugatan untuk itu dapat juga diajukan atas dasar perbuatan-perbuatan yang melampaui batas kewajaran, penganiayaan dan penghinaan kasar yang dilakukan oleh salah suami atau istri.

 

Thorkish merasa perlu menyoal istilah pisah ranjang ini lantaran Devita menuduh Ezra mencuri mesin bordir miliknya saat sedang pisah ranjang. Dengan pisah ranjang, maka menurut Pasal 244 KUHPerdata, pengurusan suami atas harta istrinya ditangguhkan. Si istri mendapat kembali kekuasaan untuk mengurus hartanya.

 

Bersenjatakan ketentuan Pasal 367 ayat 2 KUHP, jaksa dalam perkara ini menyatakan, tindakan Ezra memindah mesin bordir tanpa seijin Devita tergolong pencurian dalam rumah tangga. Hal itu termasuk delik aduan. Jika suami-istri itu tak sedang dalam masa pisah ranjang, maka jaksa tak bisa berbuat apa-apa lantaran bukan termasuk tindak pidana pencurian.

 

Untuk keturunan Tionghoa

Soal pisah ranjang ini, Erna Soswan Sjukrie, tak sependapat dengan Thorkis.  Mantan hakim ini berpendapat, aturan soal pisah ranjang di KUHPerdata masih berlaku, namun hanya bagi warga keturunan Tionghoa. Kalau orang Indonesia asli, sudah pasti ikut UU Perkawinan. Jadi pisah ranjang untuk orang Indonesia asli tidak berlaku, tandasnya.

 

Erna menilai aturan pisah ranjang masih berguna, sebab orang-orang Tionghoa tidak mungkin bisa menggunakan UU Perkawinan. Kalau sudah warga Indonesia, seharusnya mereka menggunakan UU Perkawinan. Apalagi kalau sudah tinggal dan hidup di Indonesia, ungkapnya.

 

Namun pendapat Erna disanggah pakar hukum perdata, Rosa Agustina Pangaribuan. Pengelompokan golongan Timur Asing, Tionghoa, atau pribumi sekarang sudah tidak berlaku lagi, tandasnya. Karena itu, dosen Universitas Atmajaya ini berpendapat bahwa soal perkawinan, semua warga Indonesia harus tunduk kepada UU Perkawinan.

 

Rosa menambahkan, lembaga pisah meja dan pisah ranjang sekarang tidak berlaku lagi, karena UU Perkawinan tidak mengenalnya. Soal ketentuan Pasal 66 UU Perkawinan, ia menyatakan bahwa ketentuan itu tidak bisa dijadikan alasan pembenaran bagi pisah ranjang. Hukum kita sekarang tidak mengenal institusi pisah ranjang, tandasnya.

Masih ingat 'drama' pencurian di dalam rumah tangga yang melibatkan Ezra Ibran dan Devita Hamjaya? Sebuah polemik hukum kembali muncul. Jika sebelumnya polemik itu mengerucut pada definisi harta bersama, kini polemik bergeser ke arah istilah pisah ranjang.

 

Thorkis Pane, pengacara Ezra, yang memunculkan polemik itu. Istilah pisah ranjang tidak diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 , ujarnya, kepada hukumonline, pekan kemarin.  Menurutnya, pisah ranjang hanya dikenal di KUHPerdata.

 

Menyitir Pasal 66 UU Perkawinan, dosen Tata Usaha Negara di Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini menyatakan, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.'1933 No. 4), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan kini tidak berlaku lagi.

 

Namun patut dicatat, Thorkis menanggalkan sebuah frasa yang cukup penting dari Ketentuan Penutup UU Perkawinan, yakni frasa sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini. Artinya, jika pisah ranjang tidak diatur di UU Perkawinan, bukan berarti pisah ranjang tidak bisa diterapkan oleh pasangan suami-istri.

 

Ketentuan Penutup UU Perkawinan

Pasal 66

Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.

Tags: