Menunggu Miranda Rules di Ruang Penyidikan
Utama

Menunggu Miranda Rules di Ruang Penyidikan

Mahkamah Agung pernah membebaskan terdakwa dari tahanan lantaran selama proses penyidikan tersangka tidak didampingi penasihat hukum.

Oleh:
Mys/Mon/CR-Y
Bacaan 2 Menit
Menunggu <i>Miranda Rules</i> di Ruang Penyidikan
Hukumonline

 

Indonesia, kata Chairul, masih menggabungkannya dengan model time control yang lebih mengedepankan pemberantasan kejahatan. Pilihan itu antara lain disebabkan tingginya kejahatan jalanan yang harus segera diberantas. Tidak mengherankan kalau acara kriminal di televisi Indonesia banyak disuguhi kasus tertembaknya tersangka dengan dalih hendak melarikan diri (meskipun tangan tersangka diborgol).

 

Miranda Rules

Editorial koran New York Times akhir Januari 1987 berjudul Guilt and Mr Meese memicu kembali debat sebagian ahli hukum Amerika tentang Miranda Rules. Bahkan empat tahun lalu, Mahkamah Agung Amerika Serikat menerbitkan putusan yang memperketat aturan-aturan Miranda. Mahkamah Agung memutuskan polisi harus mengeluarkan peringatan dulu sebelum mengajukan pertanyaan kepada seseorang yang diduga melakukan kejahatan, tulis Washington Crime News Services, edisi 2 Juli 2004.

 

Miranda Rules sebenarnya lahir jauh sebelum putusan Mahkamah Agung AS di atas muncul. Ia biasanya merujuk pada nama Ernesto Miranda, pria yang pada 1963 masih berusia 23 tahun.  Miranda ditangkap sebagai tersangka penculikan dan pemerkosaan remaja di Phoenix Arizona, Amerika Serikat. Setelah diinterogasi penyidik sekitar dua jam, Miranda akhirnya mengaku sebagai pelaku. Ia menandatangani BAP. Pada bagian akhir BAP tertulis bahwa Miranda menjawab secara sukarela, tanpa paksaan, dan paham akan hak-hak hukumnya. Di pengadilan Arizona, Miranda terancam hukuman 20 tahun penjara. Ia banding.

 

Kasus Miranda v Arizona itu akhirnya bergulir ke Mahkamah Agung AS. Pada 1966, Mahkamah Agung memutus perkara ini dengan suara 5 : 4. Mayoritas hakim berpendapat pengakuan Miranda diberikan ketika hak-haknya tidak dalam perlindungan. Spirit putusan itu adalah pengakuan tersangka tidak boleh diperoleh dengan cara melakukan kekerasan dan tekanan. Walaupun akhirnya Miranda mati  secara mengenaskan di sebuah bar, putusan kasusnya dianggap sebagai  salah satu landmark decision dalam sistem peradilan AS.

 

Putusan Miranda merembet menjadi isu nasional. Kongres AS menyambut putusan itu dengan membuat aturan yang mengharuskan penyidik membacakan hak tersangka untuk diam dan hak mereka mendapatkan pengacara sebelum interogasi dilakukan.Perdebatan mengenai Miranda Rules itu terus berlanjut hingga ke pemerintahan Bill Clinton ketika muncul kasus United States v Dickerson (1999).

 

Bantuan hukum

Esensi Miranda Rules antara lain adalah perlindungan hak tersangka atas bantuan hukum. Pasal 54 KUHAP telah menggariskan bahwa tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum untuk setiap tingkat pemeriksaan guna kepentingan pembelaan dirinya. Kalau ditahan penyidik, seseorang dapat menghubungi penasihat hukum. Kalau tak mampu, negara bisa menyediakan.

 

Karena itu advokat Palmer Situmorang minta Pemerintah terus mendorong institusi hukum, khususnya pengadilan, menyediakan pos-pos bantuan hukum yang akan membantu pencari keadilan. Pemerintah bisa menjadi motivator untuk mendorong pengadilan menyediakan pos-pos bantuan hukum, ujarnya.

 

Palmer juga mengkritik kebiasaan pengadilan membelakangkan perkara orang-orang marjinal. Mengedepankan sidang-sidang sengketa bisnis (perdata) ketimbang perkara pidana, apalagi perkara cere, adalah wujud kebijakan menomorduakan perkara mereka yang mengharapkan bantuan hukum cuma-cuma.

 

Padahal bantuan hukum bisa menjadi suatu keniscayaan. Bila penyidik, jaksa, atau hakim mengabaikan hak tersangka mendapatkan bantuan hukum, akibatnya bisa fatal. Dalam kaitan itu, Hakim Agung Artidjo Alkostar menyarankan perlunya dibuat mekanisme bagi hakim untuk mengecek apakah tersangka/terdakwa sudah mendapatkan bantuan hukum yang layak atau belum. Mekanisme itu penting lantaran hakim tidak melihat secara langsung BAP disusun dan bagaimana penyidik mendapatkan pengakuan dari tersangka/terdakwa. Faktanya, banyak pengakuan dari terdakwa di persidangan bahwa mereka ditekan selama proses penyidikan, bahkan ada yang mengaku disiksa.

 

Kalau hakim yakin hak-hak tersangka atas bantuan hukum tidak dipenuhi penyidik, bisa saja hakim meloloskan terdakwa dari jerat hukum. Salah satu ‘yurisprudensi' terkait hal ini adalah putusan no. 367 K/Pid/1998.

 

Register perkara ini merujuk pada kasus pembunuhan sadis La Makka, warga Dusun Tanatemparee, Palippu, Wajo Sulawesi Selatan. Diduga pelakunya adalah La Noki bin La Kede, warga setempat yang tak lain adalah saudara kandung korban. Pengadilan Negeri Wajo menghukum terdakwa 12 tahun penjara lantaran terbukti melakukan pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP). Lantaran dihukum lebih berat dari tuntutan jaksa, terdakwa La Noki mengajukan banding. Namun, Pengadilan Tinggi Ujung Pandang menguatkan hukuman semula, bahkan memerintahkan terdakwa tetap dalam tahanan.

 

Nasib La Noki berubah seratus delapan puluh derajat di tingkat kasasi. Majelis hakim agung beranggotakan H. Kahardiman, H. Tjung Abdul Muthalib, dan H. Achmad Kowi membatalkan putusan banding. Permohonan kasasi jaksa dinyatakan tidak dapat diterima. Hakim memerintahkan La Noki segera dibebaskan dari tahanan. Kok bisa?

 

Dalam pertimbangannya, majelis hakim agung menyitir fakta yang terungkap bahwa selama tiga kali penyidikan di Kepolisian dan satu kali di Kejaksaan, terdakwa tak pernah didampingi penasihat hukum. Walaupun di pengadilan La Noki didampingi pengacara, hakim agung menilai ada kesalahan dalam penyidikan. Tersangka yang tidak didampingi penasihat hukum selama penyidikan, dinilai majelis ‘bertentangan dengan pasal 56 KUHAP, sehingga Berita Acara Penyidik dan Penuntut Umum batal demi hukum'.

 

Meski berbeda nasib dan beda kewarganegaraan, kasus Ernesto Miranda dan La Noki mengajarkan pentingnya penyidik, jaksa dan hakim menghargai dan melindungi hak-hak tersangka/terdakwa atas bantuan hukum.

 

Ditangkap polisi bukan sesuatu yang menakutkan. Sebab, polisi langsung membacakan hak-hak kita. Kalaupun digelandang ke kantor polisi, kita akan diperlakukan dengan baik. Ketika dibawa ke ruang pemeriksaan pun, kita langsung ditawari minum. Kalau menolak untuk menjawab, misalkan karena merasa pertanyaan penyidik menjebak, kita berhak untuk diam. Penyidik tidak bisa melakukan kekerasan --katakanlah memukul -- agar kita mengaku. Ada kamera yang setiap saat memantau prilaku penyidik selama proses interogasi. Pokoknya tersangka merasa nyaman selama pemeriksaan berlangsung.

 

Sayang, gambaran indah proses penyidikan itu hanya ada di film-film Hollywood. Sebagian memang ad adi dunia realitas. Tetapi di Indonesia, kita masih sering mendengar keluhan tersangka atau saksi. Mereka mencabut Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dengan dalih ditekan atau disiksa penyidik. Kisah semacam itu bukan cerita baru.

 

Konsep pencegahan kesewenang-wenangan penyidik terhadap tersangka itulah yang dalam literatur disebut Miranda Rules. Kalau Anda senang nonton acara kriminal atau hukum dari Negeri Paman Sam, konsep Miranda Rules itu terekam dalam kalimat semacam ini: You have the right to remain silent. Anything you say can and will be used against you in a court of law. You have the right to speak to an attorney, and to have an attorney present during any questioning. If you cannot afford a lawyer, one will be provided for you at government expense.

 

Alangkah indahnya mendapati kalimat semacam itu meluncur dari mulut penyidik. Sayang, menurut ahli hukum acara pidana Chairul Huda, KUHAP belum sepenuhnya menganut konsep itu. Miranda Rules mengacu pada due process, yang menekankan upaya mencegah kesewenang-wenangan penyidik. Agar menciptakan proses hukum yang wajar dan adil, kata dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta itu.

Tags: