Penyelamat Pusaka Keraton Solo dari Negeri Asterix
Jeda

Penyelamat Pusaka Keraton Solo dari Negeri Asterix

Kalau mendengar nama Elizabeth D Inandiak, pasti bakal menyambung ke Serat Centhini, karya sastra Keraton Solo, Jawa Tengah. Kitab Jawa juga dikenal dengan nama Suluk Tembangraras itu disusun oleh tiga sastrawan besar pada masa Pangeran Anom Hamengkunegara III (1800).

NNC
Bacaan 2 Menit
Penyelamat Pusaka Keraton Solo dari Negeri Asterix
Hukumonline

 

Keprihatinan Widjan ternyata tak hanya mengendap di hati. Kebetulan ia kenal dengan seorang pecinta seni berkebangsaan Perancis bernama Dali Colls. Menurut cerita Widjan, ekspatriat  ini sering berkunjung ke Solo, menetap sementara di sana untuk mempelajari dan sekedar mengagumi budaya Keraton. Sehati dengan Widjan, Dali juga cemas jika tanah pusaka Keraton dijual ke pembeli yang tidak jelas. Lantaran Dali seorang ekspatriat yang tidak mungkin mempunyai kepemilikan tanah, ujar Widjan, Dia lalu meminjam nama saya.

 

Nah, ini lebih membingungkan lagi buat Soeharto. Siapa Dali ini. Apa hubungan dia dengan keraton Solo dan Anda, kenapa dia rela membeli tanah atas nama Anda, apa keuntungan yang dia dapat? tanya pak hakim bertubi.

 

Widjan mengungkapkan, saking cintanya pada budaya Jawa, Dali rela menyelamatkan tanah itu dengan cara membelinya atas nama orang lain. Asal tanah itu tidak jatuh ke tangan orang yang tidak jelas. Lagipula  Dali juga mengenal saya, beber Widjan.

 

Hakim tetap takjub. Bagaimana mungkin sekedar kenalan, dari negeri seberang, bisa tiba-tiba membeli tanah atas nama Widjan hanya lantaran saking kesemsem pada budaya Jawa. Uniknya lagi, Dali ini berprofesi sebagai broker minyak. Kok rasanya sangat bertolak belakang, seorang broker minyak yang berorientasi ekonomi, profit, tapi dia juga punya rasa kecintaan budaya sampai sebesar itu, cetus Soeharto.

 

Ujung-ujungnya, dengan suara pelan Widjan mengaku dalam dirinya masih mengalir darah keluarga Keraton Mangkunegaran, Solo. Jadi, daripada tanah pusaka lepas ke orang yang tidak jelas juntrungan, mending dikuasai oleh orang yang masih darah biru Keraton Solo. Lagipula, lanjut Widjan, tanah itu juga sebagai bentuk investasi Dali. Loh, kok? niat melestarikan benda pusaka  kok sekaligus investasi.

 

Soeharto pun mengejar lagi dengan pertanyaan yang cukup kritis. Kalau memang untuk investasi, lazimnya pasti ada niat untuk menjual kelak kemudian hari, saat harga tanah sudah meninggi. Apa ada perjanjian tertentu soal itu antara Anda dan Dali? tanya Soeharto. Widjan menjawab, Tidak ada perjanjian tertulis. Kami hanya sama-sama punya niat melestarikan tanah pusaka.  Nah, jadi investasi dalam bentuk apa dong?

 

Temuan Kejaksaan atas tanah Widjan di Gajahan awalnya dilaporkan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Solo, pada Kejaksaan Agung. Dalam penelusuran MAKI, tanah tersebut dibeli Widjan dari Moedrick H Sangidoe. Selanjutnya, tanah itu dibalik nama menjadi lima sertifikat atas nama Widjanarko, istri, anak-anak, serta adiknya. Selain tanah di Gajahan, Widjanarko juga memiliki kereta kuno yang dibelinya dari seorang pangeran keraton.

 

Rumah pribadi Widjan  di Gajahan sering disebut nDalem Joyokusuman. Pada akhir 2006, Widjan pernah membikin acara kontroversial di tempat itu, menggelar pentas Ketoprak yang ia sendiri ikut main. Padahal saat itu, Bulog tengah kebagian tugas membagikan Beras Miskin yang distribusinya menuai persoalan di berbagai tempat. Acara pesta di rumah Dirut Bulog itu dinilai tidak sensitif pada penderitaan rakyat yang tengah dilanda kesulitan pangan.

 

Dalam pledoi yang dibacakan Selasa (22/1) di PN Jaksel, kuasa hukum Widjan masih menggunakan dalih penyelamatan tanah pusaka Keraton Solo yang dilakukan pengusaha derwaman dari negeri Asterix tersebut. Agaknya, Widjan tak rela tanah di Gajahan ikut terseret dalam perkara korupsi yang menimpanya.

 

Tanah atas nama Widjanarko di Gajahan bukan tanah yang dibeli dari hasil kejahatan dan bukan untuk tujuan memperkaya diri sendiri. Pembelian tanah itu semata-mata untuk niat melestarikan budaya Jawa, ujar salah satu anggota Tim Kuasa Hukum Widjan, Rohana S Yayu. Lagipula, lanjut Yayu, kalau memang hasil dari kejahatan, tidak mungkin juga Widjan melaporkan kepemilikan tanah itu  ke KPK.

 

Meski karya pamungkas sastra Jawa itu telah berserakan hingga ke negeri Kincir Angin, kecintaan Inandiak pada sastra Jawa membuatnya rela menggubah lagi   dalam bahasa novel berbahasa Perancis yang renyah  berjudul Les Chants de l'ile a dormir debout le Livre de Centhini. Tapi pernahkah anda mendengar nama Dali Colls?

 

Nama ini mendadak muncul pada persidangan perkara dugaan korupsi mantan Direktur Badan Urusan Logistik (Bulog) Widjanarko Puspoyo, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan beberapa waktu lalu. Ini berkaitan dengan ditemukannya tanah di Gajahan, Solo, seluas sekira 12 ribu meter persegi atas nama Widjan. Kejaksaan menduga tanah tersebut dibeli oleh mantan Kabulog itu untuk memperkaya diri dari harta hasil tindak pidana korupsi.

 

Nah, ceritanya begini. Ketika sidang pemeriksaan terdakwa, Widjan mesti menjawab semua pertanyaan, baik dari tim jaksa penuntut umum, Majelis Hakim, maupun tim kuasa hukumnya sendiri. Salah satu anggota majelis hakim, Soeharto, menanyaikan alasan Widjan yang seorang pejabat publik ternama itu begitu teledor membeli tanah atas nama sendiri. Widjan mengaku, Dalam kebudayaan Jawa, tanah mempunyai ikatan emosional dengan pemiliknya. Tidak ada yang perlu ditutupi untuk membeli tanah. Justru, tindakan itu ia anggap sebagai sebuah kebanggaan pribadi. Lalu apa hubungannya dengan Dali Colls?

 

Nah, Widjan mengaku, tanah di Gajahan itu adalah tanah pusaka Keraton Solo, peninggalan dari  Susuhunan Paku Buwono X. Saya prihatin dengan keadaan Kraton Solo, benda-benda seni dan pusaka dijual untuk operasioal keraton, jelas Widjan. Ia tak rela tanah-tanah pusaka dijual pada orang-orang yang tak jelas silsilahnya dengan Keraton.

Tags: