DPR Tak Bisa Lagi Tentukan Sendiri Dugaan Pelanggaran HAM
Berita

DPR Tak Bisa Lagi Tentukan Sendiri Dugaan Pelanggaran HAM

Kalau Komnas HAM menilai ada pelanggaran HAM, DPR harus membentuk pengadilan ad hoc.

Ali
Bacaan 2 Menit
DPR Tak Bisa Lagi Tentukan Sendiri Dugaan Pelanggaran HAM
Hukumonline

 

Harus dipahami bahwa kata ‘dugaan' dalam penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, ucap Hakim Konstitusi Natabaya saat membacakan putusan. Karenanya, lanjut Natabaya, DPR tak boleh serta merta menduga sendiri tanpa memperoleh hasil penyelidikan dan penyidikan dari Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.

 

Meski begitu, dalam pertimbangan putusannya, mahkamah menilai keterlibatan institusi politik seperti DPR dalam membentuk pengadilan HAM ad hoc bisa diterima. DPR adalah representasi dari rakyat, ujar Natabaya. Cuma, dalam membentuk pengadilan HAM ad hoc, DPR harus memperhatikan penyelidikan dan penyidikan dua instansi yang berwenang.

 

Sementara itu, Mahendradatta mengatakan fungsi DPR saat ini hanya menjadi stempel. Mau tidak mau, suka tidak suka. Bila Komnas HAM sudah menyelidik ada pelanggaran HAM, maka DPR harus membentuk pengadilan HAM ad hoc, jelasnya mengartikan maksud dari putusan ini.

 

Seperti telur dan ayam

Lalu, apakah putusan ini akan sesuai dengan yang diharapkan, mengingat inti Pasal 43 ayat (2) terkait izin DPR dalam membentuk pengadilan HAM ad hoc masih berlaku. Beberapa waktu lalu, Kejaksaan Agung (Kejagung) sudah mengeluarkan sikapnya mengenai ini. Kala Kapuspenkum Kejagung dipegang oleh Salman Maryadi, Kejaksaan akan memulai penyidikan bila izin dari DPR sudah dikantongi.

 

Alasan Kejaksaan adalah karena penyelidikan, penyidikan, penuntutan dinilai sebagai bagian dari hukum acara yang memerlukan izin DPR. Jadu bukan pengadilan saja. Oleh karena itu penyelidikan dan penyidikan pun harus diawali dengan rekomendasi DPR, jelasnya.

 

Ketentuan yang didalilkan Salman pun tak berubah, izin DPR masih berdiri kokoh dalam UU Pengadilan HAM. Sehingga, putusan MK yang memerintahkan agar DPR memperhatikan penyelidikan Komnas HAM dan penyidikan Kejagung bisa diputar balikan. ‘Seperti mana yang lebih dulu, telur atau ayam.' Namun, Mahendradatta mengatakan Kejagung tak boleh lagi beralasan masih menunggu izin dari DPR.

 

Siapa jadi penyelidik?

Sementara itu, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna berpendapat berbeda atau dissenting opinion. Palguna mengatakan harus dibedakan antara Pengadilan HAM dengan Pengadilan HAM ad hoc. Pengadilan HAM untuk pelanggaran HAM setelah UU Pengadilan HAM dibentuk, sedangkan Pengadilan HAM ad hoc terjadi jauh sebelum UU itu diundangkan.

 

Menurutnya, tugas penyelidikan oleh Komnas HAM dan penyidikan oleh Kejagung hanya sebatas pada Pengadilan HAM saja, bukan Pengadilan HAM ad hoc. Palguna mensitir Pasal 18 ayat (1) UU Pengadilan HAM, bahwa Komnas HAM adalah lembaga yang diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan.

 

Namun hendaklah diingat bahwa kewenangan itu oleh UU Pengadilan HAM adalah diberikan dalam rangka criminal justice process di Pengadilan HAM, bukan di pengadilan HAM ad hoc, jelas Hakim Konstitusi asal Bali ini. Dengan kata lain, lanjut Palguna, Komnas HAM tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM.

 

Wajah kuasa hukum Eurico Guiteres, pemohon uji materi UU No 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia (HAM), Mahendradatta sumringah. Dengan tersenyum puas ia meninggalkan ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK). Betapa tidak, permohonan yang diajukannya dikabulkan oleh MK, meski hanya sebagian.  

 

Majelis hakim konstitusi yang dipimpin Jimly Asshiddiqie memutuskan bahwa penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU HAM sepanjang mengenai kata ‘dugaan' bertentangan dengan UUD 1945 dan tak mempunyai kekuatan hukum mengikat, Kamis (21/2). Sedangkan isi pasal tersebut tidak diutak-atik MK. Pasal ini membicarakan tentang pembentukan pengadilan HAM ad hoc untuk suatu peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi sebelum UU ini diundangkan.

 

Pasal 43 ayat (2) menyatakan ‘Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud  dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden'.

 

Sedangkan penjelasannya berbunyi, ‘Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yang dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini'.

 

Kata ‘dugaan', dalam prakteknya memang sering ditafsirkan bahwa DPR bisa melakukan penyelidikan sendiri terhadap suatu peristiwa apakah termasuk pelanggaran HAM berat atau tidak. Sehingga, sering ditemukan, hasil penyelidikan dari Komnas HAM berbeda dengan hasil penyelidikan DPR. Komnas HAM bilang pelanggaran HAM, sedangkan DPR bilang tidak. Contohnya, adalah kasus kekerasan Trisakti dan Semanggi.

Halaman Selanjutnya:
Tags: