Perpecahan Advokat Persulit Penegakan Kode Etik
Berita

Perpecahan Advokat Persulit Penegakan Kode Etik

Penegakan kode etik advokat merupakan solusi untuk meningkatkan kualitas advokat. Sayang, perpecahan yang kini terjadi di tubuh organisasi advokat akan mempersulit upaya penegakan tersebut.

M-3
Bacaan 2 Menit
Perpecahan Advokat Persulit Penegakan Kode Etik
Hukumonline

 

Ketidakpastian organisasi advokat yang berhak menegakkan kode etik ini dapat membawa kondisi advokat ke keadaan seperti masa sebelum adanya Peradi. Otto memberi contoh bahwa ketika belum ada Peradi, advokat yang diadili di Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) dapat pindah ke Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin). Hal demikian dapat terulang lagi dengan adanya dua organisasi advokat saat ini.

 

Sementara Indra Sahnun Lubis, Presiden KAI, mengatakan bahwa perpecahan itu tidak mempersulit penegakkan kode etik advokat karena pada dasarnya kode etik yang dimiliki Peradi dan KAI adalah sama. Indra menilai bahwa upaya banding yang dilakukan Todung adalah upaya mencari kepastian hukum. Indra juga belum memastikan apakah upaya mencari kepastian hukum tersebut berbentuk banding, berupa legal opinion, atau rehabilitasi saja.

 

Potensi islah

Kalau terpecah sulit tegakkan kode etik, solusinya tentu bersatu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika menemui Peradi dan KAI, secara terpisah menghimbau agar kedua kubu melakukan islah (perdamaian). Sayang, hingga kini belum ada tanda-tanda ke arah islah. Menteri Hukum dan HAM Andi Matalatta yang diminta Presiden SBY untuk memfasilitasi islah pun belum melakukan apa-apa.

 

Kedua kubu justru terkesan pesimis islah akan terwujud. Otto mengaku tidak melihat adanya peluang Peradi dan KAI menuju islah. Ini bukan persoalan pribadi, ini persoalan yang sangat serius, tambahnya.

 

Sebelumnya kepada hukumonline, Otto menegaskan islah menjadi solusi hanya jika kedua belah pihak berkelahi. Dalam hal ini, Peradi-KAI tidak berkelahi namun berbeda pendapat. Menurut Otto, perbedaan pendapat tersebut telah berakhir. Namun seandainya Departemen Hukum dan HAM mengajukan tawaran untuk islah seperti saran yang disarankan oleh Presiden, Otto menanggapi bahwa hal tersebut dimungkinkan jika KAI mau bergabung dengan Peradi. Soal eksistensi Peradi kan sudah final, tegasnya.

 

Anggota Komisi III DPR Gayus Lumbuun mengatakan islah memang jalan terbaik yang dapat ditempuh oleh kedua belah pihak. Kedua pihak harus bisa bertemu dalam bentuk mencintai profesinya. Sekarang ini peraturan perundang-undangan memang menempatkan Peradi sebagai organisasi yang sah, jelas Gayus. Namun, apabila memang akan bertemu maka yang harus dilakukan adalah mekanisme internal, bukan mekanisme eksternal.

 

Soal kemungkinan keterlibatan Komisi III dalam proses islah, Gayus mengaku tidak tahu pasti apakah komisinya berwenang atau tidak. Pada dasarnya semua langkah yang akan ditempuh harus berdasar pada peraturan peraturan perundang-undangan, ujarnya normatif.

Korupsi merupakan salah satu permasalahan kronis bangsa Indonesia. Semua bentuk kekuasaan cenderung disalahgunakan hingga kemudian dikenal istilah Power Tends to Corrupt. Sulitnya pemberantasan korupsi membentuk pertanyaan apakah karena kekurangan perangkat hukum, pelaksana hukum, atau memang korupsi itu sendiri telah membudaya di masyarakat membentuk suatu legal culture.

 

Penegak hukum, salah satunya advokat, harus memiliki fondasi yang kuat untuk menjalankan tugasnya di tengah masyarakat yang berbudaya korup. Potensi yang paling besar untuk mencegah korupsi ada di tangan advokat, demikian dikatakan oleh Otto Hasibuan, Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), dalam seminar The Challenges of Legal Profession in The Corrupt Society di Jakarta, Kamis (26/6).

 

Hal tersebut disampaikan Otto karena menurutnya arah permainan suatu permasalahan dapat ditentukan oleh advokat. Kemampuan advokat untuk menentukan permainan ini akhirnya menimbulkan istilah yang sering didengar di masyarakat bahwa advokat itu maju tak gentar membela yang bayar.

 

Walaupun negatif, Otto mengaku sulit membantah adanya anggapan itu. Hal tersebut memang menjadi problematik advokat, akunya. Karena itulah, advokat-advokat membutuhkan suatu organisasi yang kuat untuk menegakkan Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) yang merupakan landasan hukum untuk menindak para advokat nakal.

 

Misalnya ketika ada advokat yang melanggar contempt of court, maka organisasi advokat harus menindak advokat tersebut sesuai KEAI. Oleh karena itulah, organisasi advokat yang diatur oleh undang-undang itu hanya ada satu, ujar Otto. Ia mengatakan Jangan sampai karena telah dihukum oleh satu Dewan Kehormatan, dia pindah ke Dewan Kehormatan yang lain. Kan ngga jadi-jadi.

 

Hal demikian memang bukan mustahil terjadi. Kasus Todung Mulya Lubis salah satu contoh terkini. Alumnus LBH Jakarta itu dicabut izin advokatnya oleh Dewan Kehormatan Daerah (DKD) DKI Jakarta Peradi karena terbukti melanggar Pasal 4 huruf j KEAI pada  pertengahan Mei lalu. Namun, kini tengah mengajukan banding ke Dewan Kehormatan Adhoc Kongres Advokat Indonesia (KAI).

Tags: