Mutasi Pekerja Timbulkan Problem Hukum
Berita

Mutasi Pekerja Timbulkan Problem Hukum

Dalam konstruksi hukum ketenagakerjaan, tidak dikenal mutasi pekerja dari satu perusahaan ke perusahaan lain yang berbeda badan hukum.

Oleh:
IHW
Bacaan 2 Menit
Mutasi Pekerja Timbulkan Problem Hukum
Hukumonline

 

Melalui kuasa hukumnya dari Indonesian Human Rights Committee for Social Justice, Riana dkk kemudian menggugat perusahaan ke PHI Jakarta pada pertengahan Agustus 2008. Dalam gugatannya, para penggugat menuntut agar PHI menyatakan putus hubungan kerja antara penggugat dengan tergugat. Selain itu, penggugat menuntut kompensasi PHK yang totalnya mencapai Rp143,4 juta.

 

Pengajar Hukum Perburuhan Universitas Trisakti, Yogo Pamungkas menegaskan bahwa mutasi terhadap pekerja memang merupakan hak mutlak pengusaha. Sepanjang dilakukan sesuai dengan ketentuan dan persyaratan yang berlaku di perusahaan itu, terang Yogo melalui telepon, Kamis (9/10).

 

Namun begitu, lanjut Yogo, dalam konstruksi hukum ketenagakerjaan tidak dikenal mutasi pekerja dari satu perusahaan ke perusahaan lain yang berbeda badan hukum. Tidak bisa kalau pekerja dimutasi dari PT. A ke PT. B. Sementara PT. A dan PT. B itu adalah badan hukum terpisah.

 

Pada praktiknya, Yogo menambahkan, tak jarang pengusaha berusaha ‘mengakali' masalah ini. Pekerja direkayasa sedemikian mungkin sehingga seolah-olah dianggap mengundurkan diri, baru kemudian bekerja di perusahaan lain. Tapi jelas ini merugikan pekerja, karena tidak akan mendapatkan pesangon dari perusahaan lama. Sementara masa kerjanya di perusahaan lama juga tidak akan diperhitungkan di perusahaan baru, urainya.

 

Anti Union

Ridwan Darmawan, salah seorang kuasa hukum Riana dkk, mencium aroma pembalasan pengusaha atas aktifitas kuartet pekerja itu. Maklum, keempatnya adalah pengurus dan anggota Serikat Buruh Jabotabek Indo Semar Sakti (SBJISS). Serikat ini terhimpun dalam Federasi Serikat Buruh Jabotabek (FSBJ).

 

Di dalam berkas gugatan memang tidak tergambar jelas aktivitas apa yang dilakukan SBJISS sampai Riana dkk dimutasi. Tapi yang jelas, Ridwan mengkualifisir tindakan mutasi pengusaha sebagai tindakan anti serikat pekerja (anti union).

 

Dalam praktik persidangan, dalil mengenai anti union ini kerap diungkapkan pekerja yang dimutasi atau dijatuhkan sanksi lainnya. Termasuk dalam perkara Kompas melawan Bambang Wisudo. Bambang menyebut pemutasian dirinya adalah bentuk penyingkiran yang dilakukan perusahaan terkait dengan polah Bambang di Perkumpulan Karyawan Kompas.

 

Namun dalam putusannya, majelis hakim PHI Jakarta tidak mengusik dalil Bambang itu. Bisa jadi majelis hakim saat itu tidak melihat Bambang mampu membuktikan dalilnya. Memang. Beracara di PHI tak ubahnya beracara di peradilan perdata biasa. Asas ‘siapa mendalilkan, dia harus membuktikan' juga dipakai di peradilan perburuhan ini.

 

Bicara pembuktian tentu bukan perkara mudah. Cukup sulit untuk membuktikan ada maksud tertentu di balik kebijakan yang dikeluarkan pengusaha, kata Yogo Pamungkas. Walau sulit dibuktikan, lanjutnya, namun ‘maksud tertentu' itu amat mudah dirasakan oleh pekerja.

 

Yogo sendiri memiliki saran supaya mutasi tidak dijadikan sarana penyalahgunaan wewenang oleh pengusaha. Menurutnya, jika mutasi ditempatkan sebagai sanksi, maka sanksi itu hanya bersifat pembinaan. Jangan semata sebagai penghukuman. Selain itu, pengaturannya harus tertuang tegas dalam perjanjian kerja bersama atau peraturan perusahaan. Jangan lupa untuk tetap melakukan komunikasi dan sosialisasi yang baik, pungkasnya.

 

Persidangan perkara ini sendiri kini baru akan memasuki tahap pembuktian. PT. Indo Semar Sakti sebagai tergugat tak pernah menunjukkan batang hidungnya di persidangan. Alhasil majelis hakim nantinya akan memutus perkara ini tanpa kehadiran tergugat (verstek).

Mutasi, demosi maupun promosi terhadap pekerja memang merupakan hak mutlak pengusaha. Namun jika tidak dikomunikasikan dengan baik kepada pekerja, bukannya tidak mungkin akan menimbulkan masalah hukum. Salah satu contoh perkara yang pernah mencuat adalah PHK terhadap wartawan Kompas, Bambang Wisudo yang menolak dimutasi perusahaan.

 

Perkara serupa kali ini menimpa PT. Indosemar Sakti. Gara-gara menolak dimutasi, nasib empat orang karyawan perusahaan itu terkatung-katung. Bekerja tidak, dipecat pun tidak.

 

Adalah Riana, Endang Suganda, Mardiyah dan Guntur Efendi, keempat karyawan yang sedang tidak beruntung itu. Sudah belasan tahun mereka bekerja di perusahaan rekaman tersebut. Namun ‘pengabdian' mereka sekonyong-konyong diganjar sebuah surat tertanggal 6 Desember 2007. Isinya menyatakan bahwa keempatnya memenuhi syarat untuk dimutasi ke PT. Indosemar Mulya Karya.

 

Sebagai karyawan, seyogianya Riana dkk manut atas perintah majikannya. Faktanya mereka membangkang. Mereka menolak dimutasi lantaran tempat bekerja mereka yang baru adalah perusahaan yang berbeda badan hukumnya. Selain itu, penempatan posisi di perusahaan baru tidak dilakukan berdasarkan keahlian Riana dkk.

 

Bagi Riana dkk, tindakan mutasi yang dikeluarkan perusahaan adalah bentuk PHK secara sepihak. Riana dkk, kemudian meminta penjelasan kepada perusahaan. Sayang, tiga kali surat yang mereka layangkan tak berbalas. Alhasil, perselisihan bergulir ke Disnakertrans DKI Jakarta. Kembali pihak manajemen PT. Indosemar Sakti tidak menggubris.

Halaman Selanjutnya:
Tags: