Klaim Asing atas Kebudayaan Negeri (Belajar Lagi dari Kasus Tarian Pendet)
Oleh: Budi Agus Riswandi dan Shabhi Mahmahsani *)

Klaim Asing atas Kebudayaan Negeri (Belajar Lagi dari Kasus Tarian Pendet)

Beberapa saat ini kita dikejutkan lagi dengan berita tentang tindakan negara Malaysia yang kembali mengklaim kebudayaan negeri melalui tayangan iklan Malaysia Truly Asia 2009.

Bacaan 2 Menit
Klaim Asing atas Kebudayaan Negeri (Belajar Lagi dari Kasus Tarian Pendet)
Hukumonline

 

Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana klaim itu bisa terjadi. Apakah Malaysia tidak tahu bahwa kebudayaan-kebudayaan sebagaimana tersebut di atas sudah beratus-ratus tahun menjadi milik bangsa Indonesia, sehingga Malaysia mengklaim kebudayaan-kebudayaan tersebut. Ataukah bangsa Indonesia sendiri yang sesungguhnya bermasalah dengan perlindungan kebudayaannya, sehingga Malaysia bisa melakukan klaim? Dari kedua kemungkinan tersebut, kemungkinan kedua adalah kemungkinan yang paling masuk akal, karena kecil kemungkinan Malaysia tidak mengetahui bahwa angklung adalah dari Indonesia karena Indonesia pernah mengadakan pameran angklung di Malaysia. Juga, sulit diterima akal Malaysia tidak tahu bahwa reog Ponorogo berasal dari Indonesia, sementara Malaysia mengimpor topeng reog dari Indonesia. Lantas, apa sebenarnya permasalahan yang terjadi terkait dengan perlindungan kebudayaan kita?

 

Akar Permasalahan Sengketa Kebudayaan

Permasalahan yang paling mendasar adalah kita (baca: negara Indonesia) yang terdiri dari beratus-ratus pulau mulai dari ujung Sabang sampai Merauke, yang mempunyai berjuta-juta kebudayaan belum mempunyai satu sistem atau paling tidak catatan yang jelas terkait dengan jenis kebudayaaan yang asli Indonesia, selain itu permasalahannya juga berada pada sistem hukum (baca: undang-undang) yang dimiliki. Sistem hukum yang ada belum begitu cukup mengakomodasi permasalahan yang demikian. Terlihat misalnya pada minimnya pengaturan tentang perlindungan kebudayan dan kesenian. Satu-satunya undang-undang yang secara langsung mengatur tentang perlindungan kebudayaan adalah Undang-Undang No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC).

 

Akan tetapi UUHC tidak mengatur begitu rinci. dalam UUHC hanya disebutkan bahwa negara memegang folklor dan hasil kebudayaan rakyat, dan untuk lebih lanjut akan diatur dalam PP (lihat pasal 10 UUHC). Selain itu, permasalahan mentalitas masyarakat Indonesia yang lebih suka mengekor pada kebudayaan asing daripada kebudayaan  bangsa sendiri.

 

Berangkat dari permasalahan yang ada tersebut, maka setidaknya ada beberapa hal yang bisa dilakukan, di antaranya membuat database yang berisi tentang segala jenis kebudayaan yang berasal dari Indonesia disertai dengan daerah asalnya. Kegiatan ini tentunya harus didahului dengan identifikasi atas kebudayaan-kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Setelah berhasil didentifikasi tanpa ada yang terlewat maka database  ini akan menjadi sangat bermanfaat, selain untuk mempermudah dalam mencari dan melihat kebudayaan yang kita miliki, database juga bermanfaat sebagai alat bukti ketika ada klaim sebagaimana yang terjadi baru-baru ini. Database sudah seharusnya dibuat oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata yang dalam hal ini adalah pihak yang paling berwenang.

 

Selain pembuatan database, hal yang perlu dilakukan dan sifatnya mendesak (sebelum Malaysia mengklaim kebudayaan yang lain) adalah melakukan revisi atas UUHC terkait dengan permasalahan folklor dan memperluas cakupan rezim HKI agar bisa melindungi sepenuhnya kebudayaan yang telah berkembang dan  dimiliki oleh Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya. Selanjutnya, yang tidak kalah pentingnya adalah mentalitas masyarakat yang lebih suka mengekor pada kebudayaan asing daripada kebudayaan sendiri. Konsep conserve and exhibition (lestarikan dan pamerkan) yang selama ini hanya berlaku dan dilaksanakan untuk orang-orang tua, setidaknya juga harus ditanamkan kepeada jiwa-jiwa muda sehingga penyakit lemah budaya yang ada pada jiwa-jiwa muda bansga indonesia yang merasa lebih keren jika mendengarkan dan mempelajari musik punk daripada musik gamelan bisa disembuhkan. Selain itu dengan conserve and exhibition akan semakin menunjukkan dan memberikan isyarat kepada dunia internasional bahwa kebudayaan ini adalah milik kita, sehingga jangan coba-coba klaim kebudayaan kami.

 

Dengan adanya klaim dari negara tetangga tersebut, kita bisa melihat bahwa ada beberapa permasalahan yang penting yang sedang menerpa bangsa kita terkait dengan perlindungan warisan nenek moyang kita (baca: kebudayaan) meskipun masih banyak permasalahan yang lain di luar hal ini, akan tetapi setidaknya kita perlu berterimakasih kepada negara tetangga kita yang kiranya memberikan pelajaran kepada kita sekaligus telah mau mengingatkan kita bahwa banyak yang harus diperbaiki di negara kita ini termasuk perlindungan kebudayaan kita. Oleh karenanya, terima kasih Malaysia, terima kasih atas pelajaran yang berharga itu.

 

-------

*) Penulis berturut-turut adalah Dosen Tetap FH UII dan Direktur Eksekutif Pusat HKI FH UII Yogyakarta, dan Ketua Divisi Riset dan Pengembangan Pusat HKI FH UII Yogyakarta.

 

 

Menurut informasi dari pemberitaan iklan ini telah ditayangkan di banyak negara. Dalam tayangan iklan tersebut Malaysia telah menampilkan kebudayaan tradisional Indonesia berupa tarian pendet yang berasal dari Bali. Peristiwa ini bukanlah yang pertama. Bisa jadi, ini merupakan rentetan dari peristiwa dan klaim-klaim sebelumnya. Hal ini tentu saja berpotensi mengusik hubungan kedua negara. Padahal jika dilihat dari sisi historis kedua negara ini dapat dikatakan saudara tua, mengingat negara tetangga tersebut mempunyai nenek moyang sama dengan kita. Konsekuensinya, kita mempunyai banyak persamaan kebudayaan dengan mereka. Persamaan kebudayaan inilah yang melatarbelakangi ada sedikit konflik antara kita dan Malaysia.

 

Cikal Bakal Klaim Kebudayaan

Konflik kebudayaan bermula ketika ada bebrapa pemuda dari negara tetangga tersebut (baca: Malaysia) menyanyikan sebuah lagu yang berjudul Rasa Sayange dalam acara pembukaan forum pertukaran pemuda Jepang-Asean di Tokyo pada pertengahan bulan Oktober 2007. Bukan hanya itu, lagu ini dijadikan jingle dalam salah satu iklan pariwisata Malaysia. Hal tersebut menunjukkan secara implisit bahwa lagu tersebut adalah milik Malaysia. Setelah itu kesenian dan kebudayaan indonesia dikejutkan lagi dengan adanya alat musik asal malaysia yang disebut dengan malay bamboo yang setelah dilihat lebih jelas lagi ternyata sangat mirip bahkan tidak ada bedanya dengan angklung asal Jawa Barat.

 

Permasalahan kemudian berlanjut lagi pada persoalan dunia seni dan budaya Indonesia, munculnya tarian di malayisa yang mereka namakan dengan barong dance yang sama sekali tidak ada bedanya dengan tarian Reog Ponorogo yang berasal dari Ponorogo Jawa timur. Terakhir kini, muncul lagi dengan adanya iklan Malaysia Truly Asia 2009 yang menampilkan Tarian Pendet dari Bali.

 

Selanjutnya banyak komentar bermunculan mengenai klaim negara tetangga tersebut atas beberapa kebudayaan yang berasal negara kita. Sejumlah pihak mengatakan bahwa Malaysia telah mencuri kebudayaan Indonesia, bahkan ada yang berpendapat bahwa akan ada ganyang Malaysia edisi II. Akan tetapi semuanya berakhir dengan jalan damai. Negara tetangga secara sadar mengakui bahwa semuanya adalah milik Indonesia dan asli berasal dari Indonesia---untuk kasus tarian pendet hingga tulisan ini dibuat belum ada klarifikasi.

Tags: