Modus Operandi Cyber Crime Makin Canggih
Berita

Modus Operandi Cyber Crime Makin Canggih

Jakarta, Hukumonline. Tak perlu jauh-jauh berguru masalah legislasi cyber crime (kejahatan di dunia maya). Pergi saja ke negeri jiran, Malaysia atau Singapura. Dua negara ini selangkah lebih maju dalam penanganan cyber crime.

Oleh:
Muk/APr
Bacaan 2 Menit
Modus Operandi Cyber Crime Makin Canggih
Hukumonline
Maklum hingga saat ini Indonesia belum memiliki Undang-undang (UU) Cyber Law untuk menangkal berbagai kejahatan di dunia Teknoloogi Informasi (TI). Survei AC Nielsen menunjukkan, Indonesia menduduki posisi enam terbesar dunia dan keempat Asia dalam tindak kejahatan cyber.

Nara Srinivasan, Head School of Justice and Business Law Edith Cowan University, berpendapat bahwa Malaysia dapat dijadikan contoh yang baik dalam infrastruktur teknologi informasi, khususnya masalah legislasi. Legislasi Malaysia di bidang Teknologi Informasi telah dijadikan model hukum yang diikuti oleh Australia dan Eropa yang tentunya disesuaikan dengan sistem hukum setempat. Sementara Indonesia tertinggal jauh.

Sinivasan yang berbicara dalam seminar dengan tema Cyber Law and Corporate Security pada 31 Juli 2000 menerangkan bahwa permasalahan yang ada dalam bidang corporate adalah banyak CEO tidak menganggap penting masalah TI, mengapa ia harus membangun sistem dan infrastruktur baru, membeli komputer dan software baru..

Hukum rimba

Onno W. Purbo, pakar internet dari ITB, melihat bahwa di internet kita, saat ini berlaku hukum rimba. Nah untuk menghukum pelaku penipuan yang dilakukan oleh suatu perusahaan atau seseorang, Onno menyarankan dapat dengan cara mengirim e-mail ke mailing list/groups-groups. Isinya, menceritakan permasalah/perbuatan si penipu, sehingga pada akhirnya orang tidak akan mau berhubungan dengan perusahaan tersebut dan pada akhirnya perusahaan itu akan mati sendiri

Menurut Onno, diperlukan suatu perundang-undangan tentang Digital Signature yang diharapkan dapat men-secure-kan transaksi di intenet. Untuk saat ini, di Indonesia hanya satu perusahaan yang menangani Digital Signature yaitu IndoSign (anak perusahaan dari Indosat.com).

Yuyun Mulyana, asisten Bimmas Polri juga mengakui jika perkembangan teknologi canggih, khususnya internet sebagai suatu dunia maya, melahirkan modus operandi baru perbuatan-perbuatan yang melawan hukum. Padahal tindak pidana cyber crime sebelumnya tidak dikenal sama sekali. Ini memerlukan pula suatu sistem hukum yang didasarkan pada prinsip-prinsip hukum yang baru pula, cetusnya.

Menurut Yuyun, contoh cyber crime (kejahatan di dunia maya) di antaranya: penipuan kartu kredit, akses secara tidak sah, pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HaKI), penghinaan dan sebagainya. Polri sampai saat ini, pada umumnya masih terbatas menangani kasus kejahatan di bidang perbankan dengan menggunakan komputer sebagai alat kejahatan.

Modus operandi yang sering dilakukan dikenal dengan istilah data diddling, yaitu perbuatan memanipulasi transaksi input, memasukkan transaksi tambahan, dan mengubah atau menghapus transaksi penyesuaian. Ternyata para pelaku data diddling ini pada umumnya adalah orang dalam (bisa karyawan atau teknisi dari perusahaan lain) yang memiliki user ID, password, ataupun bentuk akses lainnya.

Yuyun menerangkan, yang menjadi kendala dalam cyber crime ini adalah barang bukti berupa software, data digital, atau data dalam bentuk elektronis lainnya yang belum dapat diterima sebagai bukti dalam hukum Indonesia. Ia berpendapat, diperlukan antisipasi dan kajian mendalam atas tiga hal, yaitu antisipasi yuridis, antisipasi teknologi, dan antisipasi sumber daya manusia.

RUU Cyber law

Polri sebenarnya sudah mengantisipasi cyber law dengan membentuk Satgas Forensik dan Computing. Toh, Polri tidak dapat berbuat banyak karena jerat hukum bagi cyber law belum jelas. Paling-paling para penjahat dunia maya itu dituntut dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Namun, masalahnya kembali terbentur kepada keterbatasan alat bukti.

Akibatnya, para cracker (perusak) di Indonesia yang dikenal jago itu bebas mengacak-acak situs. Namun ulah cracker itu kena batunya. Wendy Setiawan, remaja berusia 15 tahun dari Malang, yang mempunyai hobi berselancar di internet ditangkap polisi di Singapura pada Juni 2000 karena mengacak-acak situs bisnis penting Negeri Singa. Ia bisa dijerat dengan hukuman penjara.

Singapura memang telah memiliki The Electronic Act dan Electronic Communication Act sejak 1998 untuk mengatur transaksi di dunia elektronik. Berdasar UU Cyber Law Singapura Pasal 3 tentang Unauthorized Acces of Computer Material, Wendy diancam dengan hukumman tiga tahun penjara dan denda S$5.000.

Jadi untuk menjerat para pelaku tindak kejahatan dunia maya, Indonesia memang harus segera mengeluarkan UU Cyber Law.
Tags: