Pasca Memorandum II, Sulit bagi Presiden Menghindar dari SI
Berita

Pasca Memorandum II, Sulit bagi Presiden Menghindar dari SI

Jakarta, hukumonline. Setelah menerima pendapat fraksi-fraksi, DPR akhirnya mengelurkan memorandum kedua kepada Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pasca memorandum kedua ini tampaknya sulit bagi presiden untuk menghindar dari sidang istimewa (SI).

Nay/APr
Bacaan 2 Menit
Pasca Memorandum II, Sulit bagi Presiden Menghindar dari SI
Hukumonline

Dalam pemungutan suara (voting) yang dilakukan secara terbuka pada Senin malam (30/4), mayoritas anggota DPR stuju memorandum kedua. Dari 457 anggota DPR yang hadir, 363 menyatakan setuju, 52 tidak setuju, dan 42 abstain.

Anggota DPR yyang abstain berasal dari Fraksi TNI Polri (38 orang) ditambah Marah Simon (F-PDI), Muhibuddin Waly (F-PDU), Astrid Susanto (FPDKB), dan LS Susanto (F-KKI). Sementara yang menolak berasal dari anggota F-PKB dan F-PDKB.

Hasil voting ini memperkuat pendapat delapan fraksi yang mengusulkan kepada DPR untuk memberikan memorandum kedua pada presiden Abdurrahman Wahid. Sementara yang menolak untuk mengeluarkan memorandum kedua hanyalah fraksi PKB dan fraksi PDKB.

Pada pendapatnya, fraksi TNI/Polri mengambil sikap abstain dan bersikap netral. Posma Lumban Tobing, juru bicara fraksi itu menyatakan bahwa terhadap perbedaan penafsiran antara presiden dan DPR mengenai Tap No III tahun 1978 sebaiknya dikembalikan pada MPR.

Sesuai pasal 7 Tap No III Tahun 1978, jika nantinya DPR mengeluarkan memorandum kedua, maka presiden akan diberi waktu satu bulan lagi untuk memperhatikan memorandum tersebut.

Jika presiden dianggap tidak sungguh-sungguh memperhatikan memorandum tersebut, DPR akan meminta MPR untuk melaksanakan sidang istimewa (SI).

Namun dalam tata tertib MPR dinyatakan bahwa MPR mempersiapkan SI dalam waktu dua bulan. Jika DPR meminta diadakan SI oleh MPR, maka SI itu baru dapat terlaksana dua bulan kemudian.

Jawaban presiden

Yang masih belum jelas adalah, apakah setelah DPR menjatuhkan memorandum kedua, satu bulan kemudian presiden harus memberikan jawaban ataukah DPR dapat langsung meminta MPR untuk mengadakan SI?

Suwoto Mulyosudarmo, guru besar hukum tatanegara dari Universitas Airlangga, berpendapat bahwa hal tersebut memang tidak diatur secara jelas dalam Tap MPR No III Tahun 1978. Namun Suwoto menilai, ada baiknya diberikan kesempatan pada presiden untuk memberikan jawaban.

Suwoto menjelaskan, pada saat itu momennya adalah momen untuk menentukan akan diteruskan ke SI atau tidak. "Kalau hubungan DPR dan presiden komunikasinya baik, saya rasa sebagai pertanggungjawaban presiden dalam menerima nota peringatan dari DPR maka akan ada jawaban dari presiden," ujar Suwoto kepada hukumonline.

Namun Suwoto menambahkan bahwa kalau kesempatan itu tidak diberikan, DPR dapat dengan aktif menilai kinerja presiden tanpa adanya jawaban dari presiden.

Kompromi politik

Mengenai kemungkinan presiden dapat memperbaiki kinerjanya dalam waktu satu bulan saja, Suwoto menilai kemungkinan itu sangat kecil. Menurutnya, sangat berat bagi presiden untuk dapat memenuhi harapan DPR dalam melaksanakan sesuai yang diminta dalam memorandum.

Melihat kondisi yang ada saat ini, tampaknya sulit bagi presiden untuk menghidar dari SI. Suwoto menyatakan bahwa jika tidak ada perubahan kinerja dari pemerintah, maka ujiannya adalah apakah sikap para politisi di DPR akan itu konsisten untuk ke arah SI atau tidak.

Suwoto melihat mungkin sekali terjadi kompromi-kompromi politik yang akan mengakibatkan perubahan sikap dari para politisi. "Akan kita lihat kompromi politik macam apa yang akan terjadi, sehingga sikap parpol saat ini dapat berubah dalam waktu satu bulan ke depan," ujar Suwoto.

Kalaupun ada perbaikan kinerja dari presiden yang dapat mengurungkan niat DPR untuk menggelar SI, perbaikan itu adalah presiden harus dapat mengatasi persoalan-persoalan yang ada, seperti kasus-kasus di daerah, masalah disintegrasi, dan lain-lain. "Berat bagi presiden untuk dapat mengatasi semua persoalan itu dalam waktu satu bulan," ujar Suwoto.

Jika dilihat dari pandangan umum fraksi-fraksi, sedikit sekali yang menyinggung Buloggate dan Brunaigate. Padahal kedua masalah inilah yang merupakan awal masalah timbulnya memorandum pertama.

Pernyataan kontroversial

Dalam pandangan akhirnya, hampir semua fraksi yang menyetujui dijatuhkannya memorandum kedua menyatakan salah satu alasan diusulkannya memorandum kedua adalah dalam masa tiga bulan yang ada, presiden bukan memperbaiki kinerjanya melainkan malah membuat pernyataan-pernyataan yang kontroversial.

Pernyataan kontroversial itu, antara lain jika presiden mundur maka lima daerah akan melepaskan diri dari negara RI. Pernytaan lainnya yang kontroversial, jika memorandum kedua dijatuhkan maka akan terjadi pemberontakan nasional, serta pernyataan akan membubarkan DPR.

Apakah yang seharusnya dinilai oleh DPR adalah kinerja presiden secara keseluruhan ataukah terbatas pada Buloggate dan Brunaigate? Suwoto menyatakan bahwa ketika memorandum pertama jatuh, kelihatannya materinya sudah begitu meluas, bukan hanya kasus Bulog dan Brunai.

"Kasus Bulog dan Brunei arahnya lebih pada proses penyelesaian hukum, proses peradilan, karena adanya dugaan keterlibatan Gus Dur dalam dua kasus itu. Ini yang menyebabkan dari awal materinya bukan murni Buloggate dan Bruneigate," ujar Suwoto.

Namun Suwoto menganggap, DPR mempunyai kewenangan untuk memperluas materi untuk diberikannya memorandum. Pasalnya, dalam Tap tersebut hanya disebutkan bahwa dalam masa jabatannya presiden dapat diberhentikan jika melanggar haluan negara.

Hal ini dapat terjadi karena instrumen hukum yang tidak lengkap. Tidak jelas apakah jika ada persoalan baru, masalah itu dapat dimasukkan dalam agenda yang lama ataukah harus dibuat agenda yang baru.

"Namun kembali pada substasi, adalah kewenangan DPR untuk menentukan," kata Suwoto. Alasannya, masalah ini adalah masalah politik, persoalan peradilan politik, sehingga cara-cara politiklah yang akan menentukan.

 

Tags: