Putusan sela yang memutuskan BPPN sebagai salah satu tergugat untuk tidak melaksanakan lelang ini dilakukan tanpa mendengar pihak yang berperkara. Dengan demikian jelas, menurut BPPN, PN Jaksel telah melanggar asas peradilan audi et alteram partem yang mewajibkan hakim mendengar keterangan para pihak yang berperkara.
BPPN juga menilai dasar gugatan PT Multistrada Arahsarana (Multistrada) sebagai penggugat dalam perkara ini sungguh mengada-ada. Pasalnya, Multistrada menggugat BPPN dengan dasar BPPN atau bank asal tidak memberitahukan penyerahan piutang kepada pihak Multistrada sebagai debiturnya.
Padahal, menurut BPPN, selama ini Multistrada datang ke BPPN dengan membicarakan penyelesaian utangnya di BPPN, termasuk memberikan berbagai proposal untuk tujuan tersebut. Dengan demikian, jelas BPPN, Multistrada sedari awal telah mengakui sejumlah kewajibannya kepada BPPN.
Kantor lelang yang 'kreatif'
Sayangnya, dalil yang menurut penilaian BPPN sama sekali tidak berdasar tersebut ditolak mentah-mentah oleh PN Jaksel. Yang lebih mengenaskan lagi, kantor lelang yang dalam perkara ini belum diperintahkan pengadilan untuk menunda pelelangan, malah sudah melakukannya atas inisiatif mereka sendiri.
BPPN menganggap kantor lelang yang telah "kreatif" melakukan penundaan pelelangan aset Multistrada tersebut dapat dikategorikan menghalangi pemasukan uang ke kas negara. "Salah satunya, lewat penerimaan pemasukan biaya lelang," tulis BPPN dalam siaran persnya.
PT Multistrada Arahsarana merupakan perusahaan ban yang sahamnya dimiliki oleh Mulianto Tanaga dan Hadi Wijaya Tanaga. Debitur ini memiliki kewajiban kepada Bank Bumi Daya, Bank Alfa, Bank Pelita dan Bank Sewu. Jumlah kewajiban pokoknya sekitar AS$460 Juta dan Rp250 miliar.
Kewajiban ini kemudian dialihkan ke BPPN sehubungan bank-bank tersebut sebagian dimerger dan sebagian lagi dibekukan kegiatan usahanya (BBKU). Berdasarkan laporan dari Industry Expert, sustainable debt untuk jangka waktu 10 tahun hanya sebesar AS$31 juta atau sebesar 8% dari total kewajiban, sedangkan sisanya (92%) adalah hutang yang bersifat unsustainable.