Pertemuan 11 Februari 1999 Tetap Misteri
Berita

Pertemuan 11 Februari 1999 Tetap Misteri

Jakarta. Hukumonline Pertemuan tanggal 11 Februari 1999 di Hotel Mulia Senayan agaknya menjadi kunci penting kasus Bank Bali. Jaksa yakin pertemuan 11 Februari itu benar-benar terjadi. Namun penasehat hukum terdakwa Joko S. Tjandra bersikukuh bahwa pertemuan itu tidak ada.

Tri/APr
Bacaan 2 Menit
Pertemuan 11 Februari 1999 Tetap Misteri
Hukumonline

Berkaitan dengan pertemuan 11 Februari 1999 di Hotel Mulia, penasehat hukum Joko menganggap Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak pernah mau dan telah dengan sengaja tidak mengemukakan fakta-fakta yang sebenarnya terungkap di persidangan tetapi tidak dikemukakan dalam requisitoirnya.

Walaupun jaksa yakin ada pertemuan 11 Februari 1999, penasehat hukum menyatakan tidak pernah ada pertemuan 11 Februari di Hotel Mulia. Hal ini sesuai dengan keterangan saksi Irfan Gunadi, AA Baramuli, Syahril Sabirin, Joko Tjandra, Pande Lubis, Tanri Abeng, dan Setya Novanto. Namun hanya dengan satu orang saksi, yaitu Firman Sutjahya, JPU meyakini adanya pertemuan 11 Februari. Padahal menurut penasehat hukum Joko, dalam pasal 185 ayat 2 KUHAP, satu saksi bukanlah saksi (unus testis nullus testis).

Duplik tim penasehat hukum terdakwa Joko Tjandra ini langsung dibacakan pada sidang kasus korupsi Bank Bali di Pendilan Negeri Jakarta Selatan pada 14/8. Dublik ini dibacakan setelah sidang diskors 2 jam, untuk menanggapi replik dari Jaksa Penuntut Umum. Tim penasehat hukum Joko terdiri dari OC Kaligis, John H Warily, Y.B. Purwaning M Yanuar.

Melawan hukum

Di dalam dupliknya, tim penasehat hukum terdakwa masih pada pendiriannya, bahwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) masih keliru tentang hal-hal yang dikemukakan dalam repliknya antara lain: unsur-unsur Pasal 1 ayat 1 sub a Undang-undang No 3 Tahun 1971 tentang unsur "barang siapa" di mana tim JPU mengatakan unsur barang siapa sudah terbukti, hanya karena terdakwa Joko S. Tjandra adalah orang, dan bukan barang bukti. Penasehat hukum berpendapat, hal itu sangat sumir dalam mengartikan unsur barang siapa.

Menurut penasehat hukum Joko, dengan unsur melawan hukum dalam Pasal 1 ayat 1 sub a Undang-undang No. 3 Tahun 1971 bukan merupakan penjelasan Pasal 1 Undang-undang No. 3 Tahun 1971. Alasannya, unsur melawan hukum tersebut tidak pernah terungkap bahwa terdakwa menggunakan kekuasaan atau pengaruh atau kedudukan istimewa untuk mempengaruhi pemegang otoritas moneter.

Penasehat hukum dalam dupliknya, menganggap bahwa JPU sangat keliru telah mencampuradukkan ke dalam tuntutannya antara perjanjian cessie Bank Indonesia dengan program penjaminan, karena PT EGP jelas bukan bank dan tidak ada hubungannya dengan program penjaminan.

Penasehat hukum menganggap JPU mengalami kebingungan dalam hal penyusunan repliknya. Di satu pihak, JPU mengemukakan bahwa aset BDNI diserahkan oleh BDNI kepada Bank Indonesia (BI). Namun di lain pihak, penasehat hukum mengemukakan bahwa aset BDNI diserahkan kepada BPPN.

Dari kedua pendapat yang dikemukakan oleh JPU, menurut penasehat hukum, membuktikan bahwa JPU tidak menguasai ketentuan yang mengatur tentang program penjaminan dan tidak menguasi fakta-fakta persidangan.

Mengenai surat BPPN kepada Bank Indonesia untuk melaksanakan perintah bayar pada 1 Juni 1999, JPU mengemukakan bahwa perintah bayar kepada Bank Bali mestinya tidak dilakukan karena surat No. 381/BPPN/1999 telah ditolak oleh Bank Indonesia. Namun terungkap di persidangan bahwa surat No. 381/BPPN/1999 tidak ada hubungannya dengan surat No. 380/BPPN/1999 dan 385/BPPN/1999 yang isinya perintah dari BPPN kepada BI untuk melakukan perintah bayar kepada Bank Bali.

Verivikasi BI

JPU mengemukakan bahwa klaim Bank Bali belum diverifikasi dan rekonsiliasi bukanlah verifikasi. Namun berdasarkan fakta yang terungkap, baik saksi dari BI, BPPN dan Bank Bali, serta BDNI menyatakan bahwa klaim Bank Bali telah dilakukan verifikasi oleh Bank Indonesia dan hasilnya telah disampaikan kepada BPPN.

Dalam repliknya, JPU menganggap perubahan SKB 1 tertanggal 6 Maret 1998 menjadi SKB 2 tertanggal 14 Mei 1999 ada pengaruh terdakwa Joko Tjandra. Sementara fakta yang terungkap di persidangan sesuai dengan keterangan saksi dari Bank Indonesia dan BPPN, perubahan SKB tersebut adalah faktor eksternal dan internal.

Menurut penasehat hukum Joko, berkaitan dengan saksi ahli dari Prof Loebby Loqman, Rosa Agustina Pangaribuan, Prof Rudy Prasetya, dan Prof Sutan Remy Syahdeni bahwa perjanjian cessie adalah sah dan tidak melanggar asas kepatutan. Perjanjian cessie tersebut telah memenuhi ketentuan Pasal 613 jo 1320 jo 1338 KUHPerdata.

JPU dalam repliknya mengemukakan bahwa pelaksanaan SKB 1 tertanggal 6 Maret 1998 klaim Bank Bali ditolak oleh Bank Indonesia karena transaksi Bank Bali dengan BDNI tidak memenuhi praktek prudential banking karena saldo BDNI per Desember 1997 overdraft Rp8,7 triliun.

Sementara terungkap di persidangan bahwa transaksi tersebut tidak pernah mendapatkan teguran dari Bank Indonesia dan alasan klaim Bank Bali ditolak adalah karena terlambat didaftar oleh BDNI dan bukan karena kesalahan Bank Bali.

Penasehat hukum menyatakan bahwa masalah transaksi antara Bank Bali dengan BDNI bukan merupakan urusan terdakwa Joko Tjandra karena jelas Joko bukanlah yang melakukan transaksi tersebut, sehingga dakwaan JPU telah melakukan error in persona.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, tim penasehat hukum terdakwa di dalam dupliknya menyatakan bahwa terbukti berdasarkan keterangan ahli bukti-bukti di persidangan tidak bersalah. Oleh karena itu penesehat hukum tetap pada pembelaannya agar Joko S. Tjandra dibebaskan. Sidang ditunda sampai 28 Agustus 2000 untuk mendengar putusan dari majelis hakim dengan terdakwa Joko S. Tjandra.

Tags: