Kekeliruan dalam Menangani Perkara Manulife
Kolom

Kekeliruan dalam Menangani Perkara Manulife

Kepailitan yang dialami oleh pihak Manulife setelah dikeluarkannya Putusan Pengadilan Niaga No. 10/Pailit/2002/PN.Niaga. Jkt.Pst pada 13 Juni 2002 telah menciptakan interpretasi maupun pendapat dari berbagai kalangan.

Bacaan 2 Menit
Kekeliruan dalam Menangani Perkara Manulife
Hukumonline

Selain itu, perkara Manulife ini telah mengundang adanya campur tangan politis dari pihak eksekutif terhadap badan yudikatif karena karena disebabkan oleh adanya tekanan pihak pemerintah Kanada kepada pemerintah Indonesia (G to G communication).

Sebenarnya, perkara ini adalah sama seperti perkara-perkara kepailitan lainnya. Namun berhubung yang dipailitkan adalah salah satu anggota IMF (merupakan pencetus UU Kepailitan) selaku "Tuan Besar" pemilik dana bantuan terhadap Indonesia, perkara ini menjadi dipolitisir dan dibesar-besarkan.

Perkara ini sebenarnya melibatkan kesalahan dari berbagai pihak dan bukan kesalahan 100% dari Pengadilan Niaga, sehingga tidak selayaknya berbagai pihak menyalahkan Pengadilan Niaga sebagai penyebab pailitnya Manulife. Hal yang paling parah adalah munculnya komentar dari pihak tertentu yang mendiskreditkan dan cenderung melecehkan Pengadilan Niaga, walaupun Pengadilan Niaga sendiri tidak sempurna 100%. 

Legal position yang kuat di tangan yang salah

Pada dasarnya dalam perkara Manulife, Pihak Manulife mempunyai dasar yang cukup kuat untuk terhindar dari kepailitan. Namun sayangnya, kejelian pihak Manulife untuk menghindari kepailitan tidak dipergunakan dengan baik. Pihak Manulife selalu mendasarkan kepada keadaan solvent dan menganggap bahwa deviden dalam perkara aquo bukan dianggap sebagai utang.

Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang-undang No.4/1998, masalah solvent atau insolvent tidak mempengaruhi suatu personal atau badan hukum untuk dapat dipailitkan. Pasal 1 ayat 1 hanya mengatur jika terdapat utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih serta adanya kreditur lain telah terpenuhi, maka seseorang atau badan hukum telah memenuhi syarat untuk dipailitkan.

Untuk jelasnya dikutip isi Pasal 1 ayat 1 UU No.4/1998: "Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya".

Jadi pendapat-pendapat dari khalayak umum yang mengatakan suatu keadaan solvent tidak dapat dipailitkan adalah salah besar apalagi dikaitkan dengan masalah-masalah politis antara Kanada dengan Indonesia.

Tags: