Inilah Hakim Agung Pengadilan HAM Ad hoc Pilihan DPR
Fokus

Inilah Hakim Agung Pengadilan HAM Ad hoc Pilihan DPR

Kurang seriusnya mekanisme rekrutmen dan kurangnya keterlibatan partisipasi publik dalam seleksi hakim agung Pengadilan HAM ad hoc mengakibatkan hasil seleksi yang minimalis dan jauh dari harapan masyarakat. Saking minimalisnya, yang terjaring hanyalah para pensiunan.

Awi/APR
Bacaan 2 Menit
Inilah Hakim Agung Pengadilan HAM Ad hoc Pilihan DPR
Hukumonline

Komisi II DPR-RI lewat proses fit and proper test telah menentukan enam nama hakim agung Pengadilan HAM ad hoc(25/9). Mereka adalah Prof. A. Masyhur Effendi, Prof. Sumaryo Suryokusumo, Dr. Eddy Djunaedi Karnasudirdja, H. Sakir Ardiwinata SH, H.T. Boestomi SH, dan Ronald Zelfianus Titahelu.

Keenam hakim agung ad hoc ini nantinya akan menangani perkara pelanggaran HAM berat di tingkat kasasi dan peninjauan kembali. Keputusan itu diambil lewat mekanisme pemungutan suara yang dipimpin langsung oleh Ketua Komisi II Teras Narang. Dalam mekanisme pemilihannya, masing-masing anggota Komisi II menuliskan enam nama calon yang dipilihnya di antara sepuluh nama yang ada.

Di sinilah kemudian muncul persoalan. Pasalnya, ada beberapa anggota Komisi II yang tidak hadir dalam proses fit and proper test ikut dalam menentukan calon. Ini terungkap ketika Marah Simon dari PDI Perjuangan mempersoalkan Julius Usman, yang tidak hadir, tapi ikut melakukan pemungutan suara.

Kurang partisipasi publik

Berbeda halnya dengan Prof. Manasse Malo dari F-KB. Ia memang menolak ikut menentukan calon, karena merasa tidak hadir dalam proses fit and proper test. Bukan hanya itu, mekanisme yang dibuat oleh Komisi II ini juga kurang sekali melibatkan partisipasi publik. Karena, DPR hanya memberikan waktu tujuh hari saja untuk menerima masukkan nama dari masyarakat.

Akibatnya, nama calon yang masuk ke Komisi II DPR pun menjadi sangat minimalis. Bahkan, makin minimal lagi karena beberapa dia ntaranya mengundurkan diri. Seperti,  Prof. Dr. Muladi, Prof. Dr. Sri Soemantri, dan Sorta Edwin Simanjuntak. Sementara tiga lainnya dinilai Komisi II tidak memenuhi syarat administratif, yakni Prof. Adi Andojo, Prof.Dr. Loebby Loeqman, dan Komisaris Besar Polisi (Pur) Munir SH.

Dari sepuluh nama yang masuk, terpilih Prof. Sumaryo Suryokusumo dengan 46 suara, Dr. Eddy Djunaedi Karnasudirdja (45), Prof. A Masyur Effendi (43), Ronald Zelfianus (38), Sakir Ardiwinata SH (31) dan H.T. Boestomi (26). Sementara calon yang tidak terpilih, Boediman Moenadjad, Poltak Sahat Tua Simanjuntak, M.S. Lumme, dan Lawan Bahtera Tarigan.

Hasil ini oleh Komisi II dibawa kepada Rapat Paripurna DPR pada 27 September 2002, untuk disahkan. Harusnya DPR lebih membuka ruang publik yang lebih luas, sehingga tidak minimalis hasilnya. Sehingga, posisi hakim agung Pengadilan HAM ad hoc tidak hanya menjadi ajang aktualisasi para pensiunan belakan. Apalagi di antaranya sudah pernah gagal dalam fit and propert test pemilihan hakim agung tahun 2001 lalu.

Halaman Selanjutnya:
Tags: