Atasi Pemboman di Bali
Perpu Senjata Pamungkas untuk Perangi Terorisme?
Fokus

Atasi Pemboman di Bali
Perpu Senjata Pamungkas untuk Perangi Terorisme?

Butuh tragedi sebiadab 11 September 2001 di New York untuk memaksa pemerintah Indonesia menyusun RUU tentang Terorisme. Dan sekarang, butuh tragedi semengerikan 12 Oktober 2002 di Legian, Bali, untuk mendorong pemerintah membuat Rancangan Perpu tentang Terorisme. Langkah sigap atau sekadar tunduk terhadap tekanan asing?

Amr/Nay/APr
Bacaan 2 Menit
<FONT SIZE='1' COLOR='#FF0000'><B>Atasi Pemboman di Bali</B></FONT><BR>Perpu Senjata Pamungkas untuk Perangi Terorisme?
Hukumonline

Sikap tidak sabar menanti pembahasan RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, telah mendorong Menteri Pertahanan Matori Abdul Jalil untuk merencanakan dibentuknya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) mengenai materi yang sama.

Hingga kini, belum jelas apakah rancangan Perpu tersebut akan disadur bulat-bulat dari RUU Terorisme atau dibuat sebuah naskah lain. Namun, satu hal yang cukup terang bahwa langkah tersebut merupakan langkah yang tergesa-gesa dan terkesan sangat reaktif.

Bila Matori mengatakan bahwa pemerintah akan "secepat mungkin" menyiapkan Perpu tersebut, lalu kita bisa menanyakan "apa yang ingin Anda capai dengan target seperti itu?". Jika Matori bermaksud menjadikan Perpu tersebut sebagai perundang-undangan untuk menjerat pelaku terorisme di Legian, apakah ia lupa bahwa adalah pelanggaran HAM andaikata Perpu tersebut dirancang untuk berlaku surut?

Kemudian, kalau jawabannya adalah sebagai landasan hukum bagi tindakan preventif yang akan dilakukan aparat di kemudian hari, lalu apa hebatnya sebuah Perpu, sehingga bisa mengubah intelejen lokal yang loyo menjadi secerdik James Bond atau Ethan Hunt?

Intinya, meskipun niatnya baik, ide pembentukan Perpu tersebut dianggap tidak menyentuh pokok permasalahan yang sesungguhnya terkait dengan pemberantasan terorisme dan jaringannya di dalam negeri. Bahkan, ide tersebut dinilai bisa menjadi kebijakan yang sangat berbahaya bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.

Terutama, ketentuan yang dijagokan Matori, yaitu mengenai laporan intelejen yang dengan ijin ketua pengadilan negeri sudah dapat dijadikan bukti awal untuk menangkap orang yang diduga sebagai pelaku terorisme. Ketentuan ini dicomot dari Pasal 25 RUU Terorisme yang bahkan masih belum disosialisasikan oleh tim perumus RUU tersebut ke masyarakat luas.

Jika intelejen--milik TNI, Polri atau negara-- saja tidak dapat mencegah terjadinya tragedi di Legian yang menewaskan ratusan warga asing tak berdosa tersebut, siapa yang dapat menjamin dengan ketentuan tersebut nantinya laporan intelejen menjadi bermutu dan tidak salah sasaran?

Halaman Selanjutnya:
Tags: