Gijzeling di MSAA Masih Kontroversi
Berita

Gijzeling di MSAA Masih Kontroversi

Jakarta, hukumonline Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) bukan hanya mengabaikan kajian hukum MSAA (Master Settlement and Acquisition Agreement), melainkan juga menghindari jalan penyelesaian di pengadilan bagi debitor yang tidak kooperatif. Soal gijzeling (paksa badan) juga masih kontroversi.

Ari/APr
Bacaan 2 Menit
<i>Gijzeling</i> di MSAA Masih Kontroversi
Hukumonline

Cacuk Sudarijanto, Menteri Muda Restukturisasi Ekonomi dan Kepala BPPN mengungkapkan, dirinya tidak bisa berkomentar mengenai perkembangan kasus MSAA. "Tunggu saja tanggal 3 Oktober nanti" cetusnya. Ia diminta komentarnya berkaitan aspek pidana yang seharusnya diterapkan oleh penanda tangan MSAA.

Dalam kesempatan tersebut, Cacuk juga menegaskan bahwa perpanjangan jangka waktu pembayaran hutang oleh para debitor masih dalam rencana dan belum diputuskan. Pemerintah memang memberikan perpanjangan  batas waktu pelunasan bagi penanda tangan MSAA dari 2002 menjadi 2004.

Mengenai masalah pidana, Cacuk berpendapat,  hal itu merupakan urusan dari Kejaksaan Agung dan pihak Kepolisian. Ketika ditanya apakah BPPN pernah menandatangani Surat Kesepakatan Bersama (SKB) dengan Kejaksaan Agung dan Kepolisian untuk menangani kasus MSAA ini, Cacuk mengatakan:  "Belum pernah ada penandatanganan SKB, baik dengan Kejaksaan Agung maupun dengan pihak Kepolisian," katanya tegas.

Berdasar hasil kajian hukum MSAA oleh Kartini Muljadi dan Fred Tumbuan, kedua ahli hukum ini memberikan rekomendasi, antara lain lain sanksi pidana tetap dikenakan bagi debitor MSAA. Bila perlu, debitor yang melakukan pelanggaran BMPK (batas maksimum pemberian kredit) dilakukan "paksa badan" (gijzeling).

Solid legal argument

Sementara itu pada kesempatan sebelumnya, pengamat ekonomi Sri Mulyani  mengomentari hasil penelitian Fred Tumbuan dan Kartini Mulyadi terhadap perjanjian MSAA. Sri Mulyani berpendapat, Rizal Ramli selaku Menteri Koordinator Perekonomian harus mengambil keputusan yang didasarkan pada solid legal argument.

Hal tersebut harus dilakukan, karena menurut Sri Mulyani, selama ini pemerintah sangat lemah dalam pemberian argumen secara legal terhadap para konglomerat. "Untuk memberikan solid legal argument, pemerintah harus mengadaptasi hasil penellitian yang dilakukan oleh Fred Tumbuan dan Kartini Mulyadi terhadap perjanjian MSAA," katanya.

Menurut Sri Mulyani, apabila Menko Perekonomian  mau memakai rekomendasi yang diberikan oleh kedua ahli hukum tersebut, tetapi pihak Kejaksaan Agung tidak mau menjalankan, hal tersebut sama saja bohong.

Halaman Selanjutnya:
Tags: