JPU Kasus Soeharto Ajukan Perlawanan
Berita

JPU Kasus Soeharto Ajukan Perlawanan

Jakarta, hukumonline. Jaksa Penuntut Umum (JPU) kasus Soeharto, Muchtar Arifin, SH mengajukan perlawanan atas penetapan majelis hakim ke Pengadilan Tinggi. Muchtar menyatakan, pertimbangan majelis hakim dalam mengeluarkan penetapan pada persidangan tanggal 28 September lalu tak dapat diterima.

Tri/Zae/Rfl
Bacaan 2 Menit
JPU Kasus Soeharto Ajukan Perlawanan
Hukumonline

"Menurut kami, penetapan itu keliru karena tak didasarkan atas pertimbangan hukum yang sempurna dan objektif sebagaimana diwajibkan dan diharuskan dalam hukum," ujar Muchtar. Ia menegaskan, penetapan yang diputuskan majelis hakim yang demikian tak diatur dalam KUHAP. Sebab, KUHAP tak mengenal adanya istilah "penuntutan tidak dapat diterima".

"Yang diatur dalam KUHAP adalah "dakwaan tidak dapat diterima", sesuai Pasal 156 ayat (1) KUHAP. Dakwaan itu sendiri belum dibacakan," tegas Muchtar. Dengan demikian, secara a contrario, JPU menafsirkan bahwa penetapan majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan  untuk kasus Soeharto merupakan penetapan dengan amar yang berbunyi "dakwaan tidak dapat diterima".

Hal ini, menurut Muchtar, sejalan dengan pendapat M Yahya Harahap, mantan hakim agung, dalam bukunya Pembahasan dan Permasalahan KUHAP jilid 2. Dalam buku itu antara lain dikatakan bahwa secara realistis sudah dapat diperkirakan perkataan "yang tidak dapat dihadapkan terdakwanya merupakan alasan yang patut untuk menilai bahwa dakwaan JPU tidak dapat diterima& "

Keberatan dan perlawanan

Karena itu, walaupun UU tak mengatur, dalam praktek peradilan hal itu dapat dibenarkan. Suatu perkara yang tak dapat dihadapkan terdakwanya oleh JPU, cukup alasan untuk memutus perkara tersebut dengan penetapan yang menyatakan bahwa dakwaan PU tak dapat diterima sesuai Pasal 156 KUHAP.

Muchtar berpendapat, berdasarkan Pasal 156, JPU berhak mengajukan keberatan dan perlawanan terhadap penetapan majelis hakim. Lebih lanjut Muchtar menyatakan, keberatannya didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut.

Pertama, berdasarkan Pasal 156. Kedua,  JPU memandang majelis hakim PN Jaksel telah mengeluarkan penetapan yang keliru karena tak sedikit pun mempertimbangkan adanya ketentuan Pasal 23 ayat (1) UU  No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memungkinkan persidangan secara inabsentia.

Dalam Pasal 3 itu dijelaskan bahwa penyidikan dan penuntutan dapat dijalankan menurut ketentuan yang berlaku kecuali tidak ditentukan lain dalam UU itu. Sebagaimana diketahui, UU No. 3/1971 merupakan lex specialis dari ketentuan yang lebih umum (lex generalis), yaitu KUHAP.

Halaman Selanjutnya:
Tags: