PRD Usulkan KKP HAM Penculikan Aktivis
Berita

PRD Usulkan KKP HAM Penculikan Aktivis

Jakarta, Hukumonline. Rombongan Partai Rakyat Demokrat (PRD) yang dipimpin oleh ketuanya, Budiman Sujatmiko, mendatangi kantor Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) pada 14 Juni 2000. Mereka menyampaikan usul kepada Komnas HAM agar Komnas HAM segera membentuk KPP HAM Penculikan Aktivis 1997-1998.

Ari/Apr
Bacaan 2 Menit
PRD Usulkan KKP HAM Penculikan Aktivis
Hukumonline
Dari 23 orang aktivis yang tercatat hilang sejak tahun 1997 sampai pada pertengahan tahun 1998, sampai saat ini 14 orang masih berada dalam pencarian dan belum diketahui nasib dan keberadaanya. Padahal foto sebagian dari aktivis yang hilang itu sudah dipampang di jalan-jalan. Keluarga para korban pun sudah bolak-balik ke Komnas HAM dan instansi terkait untuk menanyakan nasib keluarganya yang hilang.

Budiman Sujatmiko dan kawan-kawan ditemui oleh Asmara Nababan, Sekjen Komnas HAM yang didampingi oleh Erpan Suri. Dalam pertemuan itu, Budiman menyampaikan tuntutannya kepada Komnas HAM agar segera membentuk suatu lembaga independen untuk menyelidiki dan mengungkap kembali kasus penculikan terhadap para aktivis antara 1997-1998. Selain itu, PRD mengusulkan pembentukan Komisi Penyelidik dan Pelanggar HAM (KPP HAM) Penculikan 1997-1998.

Untuk menjaga keindependenannya itu, Budiman menyebutkan beberapa nama sebagai anggota dari KPP HAM Penculikan itu, seperti: Munir, Ifdal Kasim, Hendardi, Nursjahbani Katjasungkana, dan Bambang Widjojanto. PRD juga mengusulkan agar keluarga korban dilibatkan dalam keanggotaan KPP HAM itu, di antaranya Nezar Patria (korban penculikan) dan Utomo (orang tua dari Bimo Petrus).

Menanggapi usulan itu, Asmara Nababan mengemukakan bahwa Komnas HAM sendiri sepakat dengan usulan untuk membentuk KPP HAM Penculikan tersebut. Namun menurut Asmara Nababan, apabila KPP HAM Penculikan itu dibentuk saat ini akan mengalami beberapa kendala. Masalah itu, diantaranya adalah karena belum ada peraturan yang jelas yang dapat mendasari pembentukan KPP HAM tersebut.

Menurut Asmara, pembentukan KPP HAM Penculikan saat ini tampaknya belum efektif. Pasalnya, berdasarkan pengalaman dari KPP yang pernah dibentuk sebelumnya, terbukti hasil kerja dari komisi tersebut diakui oleh Asmara, tidak menyentuh ke persoalan fundamental. Artinya, KPP tidak berhasil menguak skenario apa yang ada di balik suatu kasus pelanggaran HAM ungkap Asmara.

Asmara memberikan contoh pada pembentukan KPP HAM lainnya, dan terutama pada pembentukan Komisi Penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran Hak Azasi Manusia kasus Tanjungpriok (KP3T) dalam rangka pengusutan kasus Tanjung Priok. Terjadi perdebatan mengenai wewenang yang dimiliki oleh KP3T berdasarkan wewenang dari UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dengan wewenang yang dimilikinya berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Hasil penyelidikan KP3T telah disampaikan ke DPR, tapi kemudian diprotes oleh keluarga korban Tanjungpriok karena dianggap tidak obyektif. Kantor Komnas HAM sempat dirusak massa. Bahkan, massa yang tidak puas mengusulkan agar Komnas HAM dibubarkan saja. Tidak heran bila Komnas HAM berhati-hati membentuk komisi penyelidik serupa. Namun Budiman tidak setuju jika Komnas HAM dibubarkan. Justru harus kita sokong agar kinerjanya naik, kata Budiman.

Berdasarkan Pasal 10 Ayat (1) dan (2) Perpu No. 1 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM, pembentukan KPP HAM memang merupakan wewenang dari Komnas HAM. Perpu tersebut juga memberikan kewenangan kepada Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan pro justicia terhadap suatu kasus pelanggaran HAM.

Dalam Pasal 11 Ayat (1) Perpu No. 1 tahun 1999, dinyatakan bahwa hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, diserahkan kepada instansi yang berwenang melakukan penyidikan. Dan dalam Pasal 11 Ayat (2) Perpu No. 1 Tahun 1999, juga ditegaskan kembali bahwa hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Ayat (1) merupakan bukti permulaan yang cukup untuk ditindaklanjuti dengan penyidikan. Namun UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM tidak mengatur secara tegas mengenai kewenangan Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan pro justicia.

Menteri Negara Urusan Hak Asasi Manusia, Hasbalah M. Saad, dalam rapat kerja dengan DPR pada 27 Juni 2000 juga mengakui bahwa dari perspektif HAM, instrumen hukum kita memang tidak memadai untuk dipakai dalam penegakan HAM. Pasalnya, KUHP hanya mengatur mengenai kejahatan biasa (ordinary crime).

Kendati telah ada UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, UU tersebut tidak mengatur mengenai perumusan tindak pelanggaran HAM beserta sanksinya. Sementara itu hingga kini RUU Pengadilan HAM belum disyahkan, sehingga penegakan HAM melalui pengadilan HAM belum dapat dilakukan.

Berangkat dari kondisi itulah, Asmara menilai seharusnya Pemerintahan Gus Dur memliki haluan hukum yang jelas. Apalagi ini merupakan masa transisi, di mana secara hukum harus ada perangkat hukum sesuai dengan keadaan transisinya. Saya pikir untuk menyelesaikan kasus penculikan tersebut haruslah melalui pengadilan transisi. Sayangnya, desain undang undang ke arah sanapun belum terlihat.

Asmara juga berjanji akan membawa usulan pembentukan KPP HAM Penculikan tersebut secara formal ke dalam sidang pleno Komnas HAM, minggu depan. Mengenai keanggotaan apabila KPP tersebut jadi dibentuk, Asmara juga mengatakan bahwa usulan dari PRD akan menjadi masukan dan bahan pertimbangan.
Tags: