Intervensi vs Mentalitas Hakim (Agung)
Rifqi S. Assegaf (*)

Intervensi vs Mentalitas Hakim (Agung)

Dalam sebuah diskusi yang membedah putusan Akbar Tandjung, saya dianggap naif oleh seorang peserta karena saya mengatakan belum bisa melihat adanya intervensi kekuasaan di luar pengadilan terhadap putusan bebas Akbar Tandjung.

Bacaan 2 Menit
Intervensi vs Mentalitas Hakim (Agung)
Hukumonline

Kasus dugaan korupsi Akbar Tandjung ini adalah kasus yang sangat politis dan melibatkan sekian banyak tokoh penting bangsa ini. Menghukum Akbar berarti bukan hanya melawan Akbar Tandjung seorang, namun juga melawan Golkar yang masih sangat kuat secara politik dan massa, ditambah sekian tokoh berkuasa di negara kita, termasuk mantan Presiden Habibie. Ini kasus riil masyarakat versus hegemoni kekuasaan negara yang begitu kuat. Saya juga yakin bahwa setiap orang, bukan hanya Hakim Agung, akan berpikir panjang untuk berani melawan kekuasaan macam itu.

Selain Hakim Agung Muchsin yang berasal dari politik, ketiga hakim agung lain yang membebaskan Akbar Tandjung adalah Hakim Agung yang berasal dari karir. Dalam bukunya The Civil Law Tradition, Merryman, seorang ahli perbandingan hukum, menyatakan bahwa hakim karir (yang lahir dari sistem civil law) cenderung memiliki mentalitas birokrat, kurang memiliki self-confidence dan pemikiran yang mandiri. Hal ini mengakibatkan mereka cenderung ragu dan takut untuk membuat keputusan yang kontroversial dan memiliki dampak politik yang besar. Hal ini berbeda dengan hakim di negara common law yang sebelum menjadi hakim biasanya berprofesi sebagai pengacara, pejabat publik penting atau akademisi.

Walau tidak sedikit hakim karir Indonesia dan hakim di negara penganut sistem civil law lain yang tidak memiliki ciri-ciri di atas, namun teori (generalisasi) ini cukup sahih untuk memetakan ‘mentalitas' sebagian (besar?) hakim di Indonesia mengingat konteks politiknya. 

Perlu diingat, sejak Indonesia merdeka hingga masa reformasi, kekuasaan eksekutif, begitu mendominasi kehidupan negara. Terlebih lagi, pengadilan merupakan salah satu cabang kekuasaan negara yang kerap didelegitimasi dan dilemahkan kekuasaan serta kedaulatannya oleh eksekutif. Zaman Orde Lama, jabatan Ketua Mahkamah Agung dijadikan setingkat menteri. Pada masa Orde Baru, eksekutif kerap mendikte bagaimana hakim harus memutus suatu kasus dimana negara (eksekutif) berkepentingan. Menteri Kehakiman, bahkan Ketua Mahkamah Agung, hanya boleh dijabat oleh mereka yang dianggap bisa ‘kooperatif' dengan kekuasaan Presiden.

Lebih jauh lagi, eksekutif menciptakan kultur organisasi pengadilan dan kultur kerja hakim sedemikian rupa sehingga mereka seperti bagian dari birokrasi eksekutif yang penurut. Penilaian ‘kinerja' hakim –-guna menunjang perkembangan karir-- disamakan dengan Pegawai Negeri Sipil, menggunakan Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3). Faktor utama yang dinilai untuk perkembangan karir hakim adalah kesetiaan, ketaatan, dan pengabdian mereka kepada Pancasila, UUD 1945, serta Negara dan Pemerintah.

Mungkin inilah alasan utama mengapa akhirnya Akbar Tandjung bisa bebas. Bukan (hanya) karena uang ke salah satu hakim agung seperti diduga sebagian pihak. Bahkan, terutama bukan pula lantaran intervensi kekuasaan sesaat seperti diduga banyak orang. Namun, itu lebih merupakan sebuah perjalanan panjang proses penghancuran indentitas dan mentalitas hakim.

Sekarang, untuk sementara, kontrol negatif negara terhadap pengadilan dan hakim sudah jauh berkurang. Beberapa (puluh?) tahun lagi, mungkin kata equality before the law (antara masyarakat biasa dengan penguasa, bukan dengan pengusaha) menjadi lebih bermakna. Hanya masyarakat yang bisa menentukan seberapa cepat atau lambat hal itu terwujud.

Bisa jadi hal itu benar, namun saya ragu. Apalagi banyak orang hanya berteori (atau tepatnya, berasumsi) bahwa pasti ada intervensi dalam kasus ini tanpa mau mempelajari ‘duduk perkaranya' secara lebih wajar. Argumentasi saya sederhana. Pasca rezim Orde Baru, hakim agung bisa dikatakan independen. Kontrol eksekutif terhadap Hakim Agung, yang biasanya dimainkan melalui Ketua Mahkamah Agung, sementara waktu sudah menjadi sejarah. Mereka menjabat sampai pensiun umur 65 tahun. Mereka tidak bisa diberhentikan dengan semena-mena oleh kekuasaan negara lain. Kecuali mereka ingin membangun koneksi karena alasan tertentu, mereka sudah tidak membutuhkan eksekutif atau legislatif.

Memang, Mahkamah Agung banyak bergantung pada eksekutif dan legislatif sehubungan dengan besar kecilnya anggaran dan gaji serta tunjangan yang akan diterima pengadilan dan hakimnya. Namun, saya tidak yakin para hakim agung tersebut berpikir sejauh itu dalam mempertimbangkan putusan Akbar Tandjung ini.

Jika kita lihat track record-nya, memang ada dua hakim  yang sebelum menjadi Hakim Agung berasal dari partai politik, yaitu Muchsin (dari Partai Persatuan Pembangunan) dan Abdul Rahman Saleh (Partai Bulan Bintang). Namun, mengingat Hakim Agung Abdul Rahman Saleh dengan berani mengajukan dissenting opinion-nya, maka hanya Hakim Agung Muchsin yang mungkin ‘mendapat tuduhan' telah diintervensi. Bukankah menurut media massa sebagian dana Bulog yang duga dikorupsi tersebut tidak hanya masuk ke Partai Golkar, namun juga partai lain?

Jika hal ini benar, lalu apa rasionya tiga hakim agung yang lain (mayoritas) membebaskan Akbar Tandjung walau secara hukum putusan tersebut banyak sekali kelemahannya dan sangat mencederai perasaan hukum dan keadilan masyarakat? Kompetensi dan uang? Orang boleh saja berspekulasi. Namun, setidaknya saya sangat yakin satu dari ketiga hakim tersebut jujur dan satu lagi punya track record integritas yang lumayan baik (walau waktu mungkin dapat merubah pendirian seseorang). Selain itu, saya tahu betul bahwa kualitas dua dari tiga hakim tersebut sangat baik untuk konteks hakim Indonesia. Jadi, bagaimana kita harus memaknai kejanggalan putusan Akbar Tandjung ini?

Halaman Selanjutnya:
Tags: