Artis Dangdut Uji UU Perkawinan ke MK
Utama

Artis Dangdut Uji UU Perkawinan ke MK

Pemohon diminta untuk mempertajam dalil permohonannya untuk menyatakan pasal yang diuji bertentangan dengan UUD 1945.

Oleh:
ASh
Bacaan 2 Menit
Artis dangdut uji UU perkawinan ke MK. Foto: Sgp
Artis dangdut uji UU perkawinan ke MK. Foto: Sgp

Setelah mengalami penundaan dua pekan sebelumnya, majelis hakim konstitusi yang diketuai Maria Farida Indrati menggelar sidang panel I pengujian UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pemohonnya adalah Aisyah Mochtar atau yang dikenal Macicha Mochtar, artis dangdut era 1980-an. Ketentuan yang diuji yakni Pasal 2 ayat (2) dan 43 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 yang diminta untuk dibatalkan.

                                             

Kasus ini efek dari perceraian antara Macicha dan mantan suaminya Moerdiono yang juga mantan Mensesneg era (alm) Soeharto pada tahun 1998. Macicha dinikahi Moerdiono secara siri pada tahun 1993 yang dikarunia seorang anak bernama Muhammad Iqbal Ramadhan. Kala itu, Moerdiono masih terikat dengan istrinya. Lantaran UU Perkawinan menganut asas monogami mengakibatkan perkawinan Macicha dan Moerdiono tak bisa dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA).

 

Akibatnya, perkawinan mereka dinyatakan tidak sah menurut hukum dan anaknya dianggap anak luar nikah yang hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Setelah bercerai, Moerdiono tak mengakui Iqbal sebagai anaknya dan tidak pula membiayai hidup Iqbal sejak ia berusia dua tahun. Efeknya, Iqbal kesulitan terutama dalam pembuatan akta kelahiran lantaran tak ada nama ayah biologisnya.   

  

“Dengan berlakunya Pasa 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan itu, klien kami yang telah berupaya untuk mencatatkan perkawinannya, tetapi tak bisa (ada penolakan dari petugas KUA, red) yang mengakibatkan anaknya kesulitan memiliki akta kelahiran. Sebab, akta kelahiran harus diajukan dengan adanya buku/akta nikah,” kata kuasa hukum Macicha, Oktryan Makta di ruang sidang, Senin (26/7).  

 

Pasal 2 ayat (2) UU itu berbunyi, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Sementara, Pasal 43 ayat (1) menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.    

 

Pasal itu dinilai bertentangan dengan hak konstitusional pemohon yang dijamin Pasal 28B ayat (1), (2) UUD 1945 dimana setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Halaman Selanjutnya:
Tags: